A. Timbulnya
Jiwa Keagamaan
pada Anak
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui
bahasa dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya
diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan tidak adanya perhatian
terhadap Tuhan, ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan
membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan.
Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang di sekelilingnya yang disertai
oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah
perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.[1]
Menurut Zakiah,
masa pertumbuhan pertama (masa anak-anak) terjadi pada usia 0-12 tahun. Bahkan,
lebih dari itu menurutnya sejak masa kandunganpun, kondisi dan sikap orang tua
telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan anaknya, meskipun
sebagian ahli berpendapat bahwa ketika anak dilahirkan, ia bukanlah makhluk
yang religius.[2]
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam
keadaan yang demikian, manusia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat
‘laten’. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan
pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini. Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya,
seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai prinsip yang
dimilikinya.
1. Prinsip
biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan
lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa
sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat
berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instingtif. Keadaan tubuhnya
belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2. Prinsip
Tanpa Daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan
psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu
mengharapkan bantuan dari orang tuanya.
3. Prinsip
Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi
manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani ataupun rohani memerlukan
pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaniah baru akan berfungsi
secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun
baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta
bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.
Timbulnya agama pada anak menurut beberapa ahli, anak
dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan
lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat
kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, ada pula yang
berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak
dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian
hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap
sebagai manusia dipandang dari
segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh
dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya.
Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral
dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan. Beberapa teori mengenai pertumbuhan
agama pada anak, antara lain:
1. Rasa
Ketergantungan (Sense of Depend)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four
Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan
yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru
(new experience), keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response), dan
keinginan untuk dikenal (recognation).
2. Insting
Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki
beberapa insting diantaranya
insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada
diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya
insting kematangan yang belum sempurna.
B.
Perkembangan Agama pada Anak
Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak
kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin
banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama) dan semakin
banyak unsur agama maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup
akan sesuai dengan ajaran agama.[3]
Perkembangan
agama anak-anak itu melalui beberapa fase, yaitu :
1.
The Fairy Tale
Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang
berusia (3-6 tahun). Pada tingkatan ini konsep mengenai tuhan lebih banyak
dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak
menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
Di
masa ini anak belum memiliki objek atas sesuatu agama maupun Tuhan. Namun jiwa
agama berkembang dengan simbol berbagai pertanyaan yang diajukannya, mulai dari
hal yang konkret hingga yang abstrak. Seperti : siapa yang punya alam ini?[4]
2. The
Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk
Sekolah Dasar (SD) hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul
melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari oramg dewasa
lainnya.
3.
The Individual Stage (Tingkat
Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki
kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.
Konsep keagamaan terbagai atas tiga golongan yaitu :
a. Konsep
ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil
fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh-pengaruh luar.
b. Konsep
ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
personal (perorangan).
c. Konsep
ketuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri
mereka dalam mengahayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan
dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern
berupa pengaruh luar yang dialaminya.
C.
Sifat-Sifat Agama pada Anak
1. Unreflective (Tidak
Mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah
konsep ketuhanan pada diri anak, 73% mereka menganggap tuhan bersifat seperti
manusia. dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk
membuat bantal. Dengan demikian tanggapan mereka terhadap ajaran agama dapat
saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak mendalam, sehingga
diterima sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang
terkadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki
ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian
Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu :
a. Suatu
peristiwa, seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa tuhan selalu
mengabulkan permintaan dari hamba-Nya. Kebetulan seorang anak lalu didepan
sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut.
Sekembalinya ke rumah, ia langsung berdoa kepada tuhan untuk apa yang
diinginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka ia ditegur.
Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tidak boleh seseorang memaksakan tuhan untuk
mengabulkan barang yang diinginkannya
itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan,
“mengapa?”.
b. Seorang
anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakkan sebuah gunung.
Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa
selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan
gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu
tidak terwujud, maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi.
Dua
contoh di atas menunjukkan bahwa anak itu sudah menunjukkan pemikiran yang
kritis, walaupun bersifat sederhana. Menurut penelitian pikiran kritis baru
timbul diusia 12 tahun sejalan dengan
pertumbuhan moral. Di usia tersebut, bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan
pemikiran yang korektif. Di sini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran
ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat konkret.[5]
2. Egosentris
Anak memiliki
kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan
berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan
diri itu mulai subur pada diri anak maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya.
Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu
maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan
telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya
3.
Anthromorphis
Anthromorphis pada
umumnya, konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya
di kala ia berhubungan dengan orang lain. Melalui konsep yang terbentuk dalam
pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia.
pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu
berada dalam tempat yang gelap.
Surga terletak di langit
dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat
segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang
mengintai.
4. Verbalis
dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata, kehidupan agama
pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka
menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka.
5. Imitatif
Dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh
anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru, misalnya berdoa dan salat. Anak
melaksanakan hal tersebut karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik
berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Sifat peniru ini merupakan
modal positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6. Rasa
heran/kagum (Numinous)
Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, rasa kagum pada
anak belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka cenderung kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal
ini merupakan langkah awal bagi kebutuhan anak akan terdorongnya mengenal
sesuatu yang baru (New Experience). Rasa
kagum anak dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub
7. Eksperimentasi,
Inisiatif, Spontanitas
Anak mulai mendengar nama Tuhan disebut orang tua atau orang lain dalam keluarganya.
Kata Tuhan yang pada mulanya mungkin tidak menjadi perhatiannya, tetapi lama
kelamaan akan menjadi perhatiannya dan ia akan ikut mengucapkannya setelah ia
mendengar kata Tuhan
itu berulangkali dalam berbagai keadaan, tempat dan situasi, apalagi ia melihat
mimik muka yang membayangkan kesungguh-sungguhan, ketika kata itu diucapkan,
maka perhatiannya akan bertambah, yang lama kelamaan menimbulkan pertanyaan
dalam hatinya, siapa Tuhan itu? Karena itu maka anak pada umur 3 - 4 tahun
telah mulai menanyakan kepada orang tuanya siapa Tuhan itu? Bersamaan dengan
dunia anak yang cepat meluas melampaui lingkaran keluarga, unsur-unsur baru
yang berkenan dengan masalah perpisahan mulai muncul.
Umur 4, 5, dan 6 tahun merupakan tahun kritis berani pergi keluar, mengambil
inisiatif menampilkan diri di tempat umum di mana
teman sepermainan dan orang-orang dewasa di luar orang tua juga menyatakan atau
menganggap sebagai milik.[6]
[1] Ratnawati, Memahami Perkembangan Jiwa Keagamaan pada
Anak dan Remaja, Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 1, No. 01, 2016, hlm. 22.
[2]
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agam ,(Bandung:
CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 47
[3] Andree Triono
Kurniawan, Perkembangan Jiwa Agama pada
Anak, PGMI STAIN
Jurai Siwo Metro, Vol.
I, Edisi 1 Januari
2015, hlm. 73.
[6] Andree Triono
Kurniawan, Perkembangan Jiwa Agama pada
Anak, PGMI STAIN
Jurai Siwo Metro, Vol.
I, Edisi 1 Januari
2015, hlm. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar