RAHN, ‘ARIYAH, HIWALAH
A. Rahn (Penggadaian)
1. Pengertian Rahn
Gadai atau al-rahn
(الرهن) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al
stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan. Istilah hukum positif di
indonesia rahn adalah apa yang disebut barang jaminan, agunan,
rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan.
Al-rahn adalah
menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya.
Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak
yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin
dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta
menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn.[1]
2.
Dasar
Hukum Rahn
Akad rahn
diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil Al-Quran ataupun hadits Nabi
SAW. begitu juga dalam ijma’ ulama’. Diantaranya :
firman Allah dalam Qs. Al-baqarah : 283
وَإِن كُنتُمْ
عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ
قَلْبُهُ
ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَعَلِيمٌ
Artinya: "Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya".
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari,
Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ أَنَسٍ – رضى
الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا
لَهُ
بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا
Artinya: "Rasullulah
SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madina,
sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga
itu untuk keluarga beliau".
3.
Rukun
Rahn
Gadai atau
pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara lain :
a. Aqid,
yaitu yang menggadaikan dan yang
menerima gadai.
b. Akad
dan ijab kabul.
c. Aqid,
yaitu yang menggadaikan dan yang
menerima gadai.
d. Barang
yang dijadikan jaminan (borg).
e. Marhun bih (hutang)
4.
Syarat
Rahn
a. Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai
disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan
baligh.
b. Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa
sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan
sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat
tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
c. Barang
yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji hutang harus dibayar.
d. Marhun bih (hutang)
Menyangkut adanya hutang, bahwa hutang
tersebut disyaratkan merupakan hutang yang tetap, dengan kata lain hutang
tersebut bukan merupakan hutang yang bertambah-tambah atau hutang yang
mempunyai bunga, sebab seandainya hutang tersebut merupakan hutang yang
berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung
unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at
Islam.
B. ‘Ariyah (Pinjam
Meminjam)
1.
Pengertian
‘Ariyah
Wahbah Zuhailiyah mengemukakan bahwa lafal ‘ariyah
adalah nama bagi sesuatu yang dipinjam, diambil dari kata ‘ara yang
sinonimnya dzahaba wa ja’a artinya pergi dan datang. Imam Jauhari
yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa kata ‘ariyah
dinisbahkan kepada lafadz ‘ara (malu), karena sesungguhnya dalam mencari
pinjaman tersebut ada rasa malu dan aib. Tetapi pendapat tersebut disanggah,
karena dalam kenyataan Rasulullah pernah melakukannya. Andaikan meminjam adalah
hal yang memalukan dan perbuatan aib maka sudah pasti Rasulullah SAW tidak akan
melakukannya. ‘Ariyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang yang
bisa memanfaatkannya hingga waktu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya.[2]
2. Dasar
Hukum ‘Ariyah
Dalam
kegiatan Pinjam-meminjam atau ‘ariyah dianjurkan atau boleh (mandub). Dalam
praktik ‘ariyah juga mendapatkan pengakuan dari syariah.
a. Al-Quran
Dasar hukum ‘ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup
tolong-menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada
surat al-maidah ayat kedua allah berfirman :
وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ
الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُم
فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
b. Al-Hadits
Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai
pinjam meminjam antara lain:
عَن اَبِي مَسعُودٍ اَنَ النَّبِي ص ل : قَالَ مَامِن مُسلِمٍ يُقْرِضُ مُسلِمًا قَرضًا مَرَّتَينِ اِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَامَرَّة
”Dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad
SAW bersabda: tidak ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali
kecuali yang satunya seperti shodaqoh”.
3.
Rukun ‘Ariyah
Jumhur ulama termasuk
Syafi’iyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu :
a.
Orang yang meminjamkan
(mu’ir).
b.
Orang yang meminjam
(musta’ir).
c.
Barang yang dipinjamkan
(mu’ar).
d.
Sighat (akad).
4. Syarat
‘Ariyah
Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan
rukun yang telah dikemukakan di atas, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang
meminjam, barang yang dipinjamkan dan sighat.
a.
Syarat-syarat orang yang
meminjamkan
Orang yang meminjamkan
disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan tabarru’ (pemberian tanpa
imbalan), yang meliputi : Baligh, berakal, tidak majhur ‘alaih (oros atau
pailit) yaitu orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan
dipinjamkan.
b.
Syarat orang pinjam
Orang yang meminjam harus memiliki memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1)
Orang yang meminjam harus
jelas.
2)
Orang yang meminjam harus
memiliki hak tasharruf (mengelola dan membelanjakan) atau memiliki ahliyatul
ada’ (cakap bertindak hukum).
c.
Syarat-syarat barang yang di
pinjam
Barang
yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1)
Barang tersebut bisa diambil
manfaatnya baik pada masa sekarang maupun nanti.
2)
Barang yang dipinjam harus
berupa barang yang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya
menurut syara’.
3)
Barang yang dipinjamkan
apabila diambil manfaatnya tetap utuh.
d.
Syarat sighat
Sighat ‘ariyah
disyaratkan harus menggunakan lafadz yang berisi pemberian izin kepada peminjam
untuk memanfaatkan barang yang dimiliki oleh orang yang meminjamkan, baik
lafadz tersebut timbul dari peminjam atau dari orang yang meminjamkan. [3]
C. Hiwalah (Pengalihan
Hutang)
1.
Pengertian
dan Dalil Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan pembayaran hutang dari suatu
pihak kepada pihak lain di mana pihak tersebut mempunyai keterkaitan hutang di
antara mereka. Para ulama madhab
memberikan definisi hiwalah
dengan corak yang berbeda antara lain :
Ibn Abidin (Hanafiyah) :
pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada yang berhutang lainnya (al-muhal ‘alaih) sedangkan Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan hiwalah adalah pemindahan atau pengalihan hak untuk
menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak lain. Sedangkan Kamal
bin Humman (Hanafiyah) menjelaskan bahwa hiwalah
adalah : pengalihan kewajiban membayar hutang dari
pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya atas dasar saling
mempercayai.
Dengan pemahaman di atas
dapat dikatakan bahwa hutang dapat dibayarkan oleh orang yang menghutangi atau
boleh orang yang mempunyai kewajiban membayar hutang kepada yang meminjamkan
dan kemudian memberikan hak tersebut untuk dibayarkan kepada orang lain. Konsep
pengalihan seperti ini merupakan sebuah keringanan yang diberikan syariat
karena itu merupakan motivasi untuk membayar kewajiban hutang baik dari segi
pelunasan hutangnya maupun pihak yang diharapkan dapat membantu.[4]
Para ulama sepakat bahwa
dasar hukum bolehnya akad hiwalah
adalah hadits Nabi Saw.
عن أبي هريرة رضي الله
عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مطل الغني ظلم فاذا أتبع احدكم على ملي فليتبع
Barang siapa yang sengaja
menangguhkan pembayaran hutang (padahal ia mampu) merupakan suatu kezaliman,
dan apabila salah seorang kamu dipindahkan kepada
orang kaya maka hendaklah menerimanya.
2.
Rukun
dan Syarat Akad Hiwalah
Rukun dan syarat hiwalah
menurut
jumhur ulama :
a.
Sighat atau akad
Sighat atau akad harus jelas.
b.
Al-Muhil (orang yang brerhutang, pihak pertama)
Al-Muhil haruslah orang yang mempunyai kapasitas
hukum untuk bertindak dan harus ridha untuk dipindahkan hutangnya kepada pihak
lain. Oleh karena itu tidak diperkenankan bagi mereka yang belum baligh, gila
atau disafih (idiot).
c.
Al-Muhil Lah (orang yang dihutangi, pihak kedua)
Al-Muhil Lah harus cakap hukum dan setujui dengan
pemindahan hutang tersebut. Menurut madhab
Hanafi, Syafi’i, dan Maliki diisyaratkan bagi pihak
kedua adanya persetujuan untuk melakukan hiwalah
dengan pihak pertama. Namun madhab Hanbali menyatakan yang diperlukan bukan saja
persetujuan melainkan pemaksaan kepada pihak kedua atau ketiga sekiranya tidak
menyetujui akad hiwalah
yang dimaksud.
d.
Al-Muhil Alaih (orang yang berhutang kepada pihak pertama)
Al-Muhil Alaih harus cakap hukum dan menerima
pengalihan hutang tersebut. Menurut madhab
Hanafi diperlukannya persetujuan untuk sahnya akad.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanafilah menyebutkkan bahwa
pihak ketiga merupakan objek akad, oleh karena itu dengan sendirinya akad itu
terjadi tanpa harus secara formal dilakukan persetujuan dari pihak ketiga
tersebut.
e.
Al-Muhil Bih (hutang itu sendiri)
Al-Muhil Bih dalam bentuk yang jelas dan pasti,
serta diketahui kadar dan jatuh tempo pembayarannya dan kualitas hutang di
antara pihak harus sama.
[1] Dadan Muttaqien, Aspek Legal
Lembaga Keungan Syari’ah, cet 1, (Yogyakarta : Safira Insani Press, 2009),
hlm.106-107.
[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih
Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 447.
[3] Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari,
(Jakarta : PT Gramedia, 2002), hlm.92.
[4] Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah
(Sejarah, Hukum, dan Perkembangannya), (Banda Aceh : Yayasan Pena Banda
Aceh, 2014), hlm. 130-131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar