A. Masa Berdirinya Daulah Bani Umayah di
Damaskus
Daulah Bani
Umayyah berdiri pada tahun 41 H/661 M. Didirikan oleh Mu’awiyyah bin Abi
Sufyan. Ia adalah gubernur Syam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab
dan Utsman bin Affan. Selama ia menjabat gubernur, ia telah membentuk kekuatan
militer yang dapat memperkuat posisinya di masa-masa mendatang. Ia tidak
segan-segan menghamburkan harta kekayaan untuk merekrut tentara bayaran yang
mayoritas adalah keluarganya sendiri. Bahkan pada masa Umar bin Khattab, ia mengusulkan
untuk mendirikan angkatan laut, tetapi Umar menolaknya. Dan angkatan lautnya
berhasil didirikan ketika masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Bani Umayah adalah sebuah nama yang diadopsi dari nama
salah seorang tokoh kabilah Quraisy pada masa jahiliyyah, yaitu Umayyah ibn Abd
Al-Syam ibn Abd Manaf ibn Qusay Al-Quraisyi Al-Amawiy. Dinasti Umayyah dinisbatkan
kepada Mu’awiyah ibn Abi Sofyan ibn Harb ibn Umayyah ibn Abd Al-Syams yang
merupakan pembangun dinasti Umayyah dan juga khalifah pertama yang memindahkan
ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib,
terjadi pertempuran Ali dengan Muawiyah di Shifin. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata tidak
menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan adanya golongan tiga yaitu Khawarij
yang keluar dari barisan Ali Umat Islam menjadi terpecah menjadi tiga golongan
politik yaitu Muawiyah, Syiah dan Khawarij. Pada tahun 660 M Ali terbunuh oleh
salah seorang anggota Khawarij.
Dengan demikian berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin
dan mulai kekuasaan Bani Umayah dalam semangat politik Islam. Kekuasaan Bani
Umayah berbentuk pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun
temurun). Hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya Yazid.
Peristiwa takhim
berdasarkan sejarah yang kita pelajari ialah berlaku perebutan kekuasaan
antara Ali dan Mu’awiyah yang membawa mereka ke meja perundingan. Perundingan antara mereka berdua telah
diwakili oleh Abu Musa al-‘Asyari bagi pihak Ali dan ‘Amr bin al-‘Ash bagi
pihak Mua’wiyah. Kedua- dua perunding telah setuju untuk memecat Ali dan
Mua’wiyah. Menurut sejarah lagi, ‘Amr bin al-‘Ash dengan kelicikannya mampu
memperdayakam Abu Musa yang digambarkan sebagai seorang yang lalai dan mudah
tertipu. Akibatnya, Ali terlepas dari jawatan khalifah.
Latar belakang lahirnya Dinasti Umayyah ialah dalam
kondisi dan situasi di tengah-tengah terjadinya pertentangan politik antara
golongan, yaitu: golongan Syi’ah, golongan Khawarij, golongan Jami’iyah, dan
golongan Zubaer. Dari pertentangan poltik antar golongan itu, kelompok Bani
Umayyah yang dipelopori Mu’awiyyah muncul sebagai pemenangnya yang selanjutnya
berdirilah pemerintah Daulat Bani Umayyah.[1]
Sebagai
khalifah atau raja pertama Dinasti Bani Umayyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(661-680 M) membentuk pemerintahannya sebagaimana sistem kerajaan; kekuasaan
diwariskan secara turun-temurun, dan khalifah-khalifah setelahnya kerap kali
bertindak otoriter. Meski anak dari pasangan Sufyan bin Harb dan Hindun binti
Utbah bin Rabi’ah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sahabat
Rasulullah Saw. Ayahnya adalah salah seorang dari pembesar atau tokoh Quraisy
di zaman jahiliyah, pemimpin yang dihormati dan disegani, serta memiliki harta
yang banyak. Mu’awiyah adalah satu di antara beberapa orang sahabat yang
menjadi penulis wahyu. Bahkan, ia pernah meminta kepada Rasulullah Saw. supaya memperisteri
anak perempuannya, yaitu Azzah binti Abi Sufyan, akan tetapi tidak terjadi.
Ketika daerah Syam bisa ditaklukkan, khalifah Umar menjadikan Mu’awiyah sebagai
walinya (gubernur) untuk kota Damaskus setelah saudaranya Yazid bin Abi Sufyan,
dan tetap diteruskan pada masa Khalifah Usman bin Affan, bahkan daerah kekuasaannya
ditambah. Akhirnya, Mu’awiyah berhasil membangun pusat pemerintahan di kota
Damaskus dan berkuasa selama 40 tahun.[2]
Dinasti
Umayyah yang berada di Damaskus selama pemerintahannya telah terjadi pergantian
sebanyak 14 orang Khalifah. Mereka adalah Muawiya I ibn Abu Sufyan (661 –680),
Yazid I ibn Muawiyah (680 –683), Muawiya II ibn Yazid (683–684), Marwan I ibn
al-Hakam (684–685), Abd al-Malik ibn Marwan (685 –705), al-Walid I ibn Abd
al-Malik (705 –715), Sulayman ibn Abd al-Malik (715 –717), Umar ibn Abd al-Aziz
(717 –720), Yazid II ibn Abd al-Malik (720 –724), Hisham ibn Abd al-Malik (724
–743), al-Walid II ibn Yazid (743 –744), Yazid III ibn al-Walid (744 –744),
Ibrahim ibn al-Walid (744 –744), Marwan II ibn Muhammad (744 –750).[3]
B. Masa Kejayaan Daulah Bani Umayah di
Damaskus
1.
Perkembangan
Wilayah
Ketika
itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Daerah-daerah
ekspansi itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang
disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah. Ekspansi
ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak
lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan yang menakjubkan dari suatu
bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Adapun
faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat adalah:
a. Islam
di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga
agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
b. Dalam
dada para sahabat Nabi tertanam keyakinan tentang kewajiban meneyerukan
ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia.
c. Byzantium
dan Persia pada saat itu telah mengalami kemunduran dan kelemahan karena sering
terjadi perang.
d. Pertentangan
aliran agama di wilayah Byzantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama
bagi rakyat.
e. Islam
datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan simpatik dan toleran.
f. Bangsa
Sami di Syiria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab
lebih dekat kepada mereka.
g. Mesir,
Syria, dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya.[4]
2.
Sisitem
Pemerintahan
Berkuasanya
Muawiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang
menyimpangkan negara Islam atau Daulah Islamiyah dari sistem Khilafah ke sistem
kerajaan. Abu Musa al Asyari menjelaskan mengenai pandangan sahabat Nabi SAW
mengenai perbedaan Antara kekhalifahan dan kerajaan yang menunjukkan pendirian
mereka secara lebih jelas, dengan kata-katanya “Kepemimpinan yang benar adalah
berdasarkan musyawarah. Adapun kerajaan adalah yang dimenangkan dengan kekuatan
pedang”.
Berdirinya
pemerintahan Dinasti Umayah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun
peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya perubahan prinsip
dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi Imperium dan perkembangan
umat Islam. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayah yang berkuasa kelak
menunjuk penggantinya dan para pemuka agama menyatakan sumpah setia di hadapan
raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip
dasar dan ajaran permusyawaratan.[5]
3.
Perkembangan
Ekonomi
Pemikiran
serius terhadap penerbitan dan pengaturan uang dalam masyarakat islam muncul di
masa Abdul Malik bin Marwan, beliau mengubah mata uang Bizantium dan Persia
dibeberapa daerah yang dikuasai islam, hal ini didasarkan pemikiran bahwa mata
uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan dinasti
Islam.40 Selain itu khalifah Abdul Malik dalam hal pajak dan zakat memberikan
kebijakan dengan memberlakukan kewajiban bagi umat islam untuk membayar zakat
dan bebas dari pajak lainnya. Hal inilah yang mendorong orang non-Muslim
memeluk agama Islam, namun hal ini menimbulkan masalah bagi perekonomian
negara, karena disatu sisi perpindahan agama mengakibatkan berkurangnya sumber
pendapatan negara dari sektor pajak.
Masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz diterapkannya kembali ajaran islam secara utuh dan
menyeluruh, mengumumkan dan menyerahkan seluruh harta kekayaan diri dan
keluarganya yang tidak wajar kepada kaum muslimin melalui baitul Maal,
sebelumnya pada jaman khalifah Muawiyah bin abu sufyan memberlakukan baitul
maal sebagai harta kekayaan pribadi yang boleh dipergunakan untuk apa saja oleh
sang penguasa Bani umayyah. Khalifah Umar berupaya membersihkan baitul maal dari
pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang
berhak menerimanya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melindungi dan meningkatkan
kemakmuran taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi beban pajak
dari kaum nasrani dari 2000 keping menjadi 200 keping, menghapus pajak terhadap
kaum Muslim, membuat takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa dan
lainlain. Berbagai kebijakan berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat
secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat.
Namun
kondisi baitul Maal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada
posisi yang sebenarnya tidak dapat bertahan lama. Keserakahan penguasa telah
meruntuhkan sendi-sendi Baitul Maal dan keadaan demikian berkepanjangan sampai
masa kekhalifahan Bani Abbasyiah.[6]
4.
Perkembangan
Politik dan Administrasi Pemerintahan
Pada
masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul persoalan-persoalan yang cenderung membawa
ketidakstabilan dan perpecahan umat, seperti hancurnya teokrasi yang telah mempersatukan
kekhalifahan yang lebih dulu, munculnya anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum
nomad. Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut di atas mengakibatkan terjadinya
perkembangan administrasi pemerintahan sesuai dengan perkembangan wilayah dan
perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin kompleks.
Di
dalam tubuh pemerintahan Bani Umayyah terdapat beberapa diwan atau departeman
yaitu:
a)
Diwan al-Rasail,
departemen yang mengurus surat-surat Negara dari khalifah kepada gubernur atau
menerima surat-surat dari gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat,
untuk pusat menggunakan bahasa Arab, dan daerah menggunakan Bahasa Yunani dan
bahasa Persia.
b)
Diwan al-Khatim,
departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah
atau pereturan-peraturan pemerintah untuk dikirim pada pemerintah daerah.
c)
Diwan al-Kharaj,
departemen pendapatan negara yang diperoleh dari kharaj, zakat, ghanimah, dan
sumber-sumber lain. Semua pemasukan dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal.
d)
Diwan al-Barid,
departemen pelayanan pos, bertugas malayani informasi tentang berita-berita
penting dari daerah kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Pelayanan ini sudah
diperkenalkan pada masa Mu’awiyah.
e)
Diwan al-Jund,
departemen pertahanan yang bertugas mengorganisir militer.
Berangkat
dari uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan administrasi pada masa Dinasti
Bani Umayyah sudah semakin kompleks, mengingat munculnya berbagai persoalan
yang crusial yang menuntut adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan. Namun secara
prinsip kebijaksanaan yang dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan pengembangan
dan penyempurnaan dari administrasi yang pernah diciptakan oleh Khalifah Umar
ibn Khattab.[7]
5.
Perkembanga
Keilmuwan
Kota Makkah dan
Madinah menjadi tempat berkembangnya musik, lagu, dan puisi, sementara di Irak
(Bashrahdan Kufah) berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia
Islam. Sedangkan di Marbad, kota satelit di Damaskus, berkumpul para pujangga,
filsuf, ulama, dan cendekiawan lainnya. Beberapa ilmu yang berkembang pesat
seperti:
a) Pengembangan
Bahasa Arab
Pada
Dinasti Umayyah, Bahasa Arab dijadikan Bahasa resmi dalam tata usaha negara dan
pemerintahan sehingga pembukuan dan surat-menyurat menggunakan Bahasa Arab.
b) Ilmu
Qiraat
Ilmu
seni membaca al-Quran yang merupakan syariat tertua yang mulai dikembangkan
pada masa khulafaur Rasyidin. Pada dinasti ini lahir para ahli qiraat ternama
seperti Abdullah bin Qusair.
c) Ilmu
Tafsir
Salah
satu bukti perkembangan ilmu tafsir masa itu adalah dibukukannya ilmu tafsir
oleh mujahid.
d) Ilmu
Hadits
Pada
masa ini, hadits-hadits Nabi berupaya untuk dikumpulkan, kemudian di teliti
asal-usulnya, hingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang
dinamakan ilmu hadits. Di antara ahli hadits yang terkenal pada masa ini adalah
Al-Auzi Abdurrahman bin Amru, Hasan Basri, Ibnu Abu Malikah, Asya’bi Abu Amru
Amir bin Syurahbil.
e) Ilmu
Fiqh
Pada
awal mulanya perkembangan ilmu fiqh didasari pada dibutuhkannya adanya
peraturan-peraturan sebagi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Al-Quran dan hasits dijadikan sebagai dasar fiqh Islam. Di antara ahli fiqh
yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurahman, Qasim
Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
f) Ilmu Nahwu
Dengan meluasnya wilayah Islam dan
didukung dengan adanya upaya Arabisasi maka ilmu tata bahasa Arab sangat
dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu nahwu dan menjadi salah satu ilmu yang
penting untuk dipelajari. Salah satu tokoh yang legendaris adalah Abu al- Aswad
al-Du’ali yang berasal dari Baghdad. Salah satu jasa dari Al- Du’ail adalah
menyusun gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang
semula tidak ada.
g) Ilmu
Geografi dan Tarikh
Geografi dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu
tersendiri. Dalam melalui ilmu tarikh mereka mengumpulkan kisah tentang Nabi
dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-buku
tentang penaklukan (maghazi) dan biograf (sirah). Munculnya ilmu
geografi dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas
dan jauh.
h) Usaha Penterjemahan
Pada
masa ini di mulai usaha penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari
bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Ini merupakan rintisan pertama dalam
penerjemahan buku yang kemudian dilanjutkan dan berkembang pesat pada masa Dinasti
Abbasiyah. Buku-buku yang diterjemahkan pada masa ini meliputi buku-buku
tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, ilmu kedokteran,
dan lain-lain.
6.
Perkembangan
Seni dan Budaya
Pada masa bani umayyah
ini berkembang seni arsitektur terutama setelah ditaklukannya Spanyol oleh
Thariq bin Ziyat. Ekspresi seni ini diwujudkan pada bangunan-bangunan masjid
yang didirikan pada masa ini. Arsitektur bangunannya memadukan antara budaya
Islam dengan budaya sekitar.[8]
7.
Konsolidasi
dan Pembaharuan Politik pada Masa Umar Ibn Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz dianggap seorang
khalifah dari para khalifah Bani Umayah yang paling baik sejarah kehidupan,
paling bersih kepribadian, paling suci tangan, paling terjaga lidahnya, paling
giat menyebarkan Islam dan menegakkan agama.
Namun di atas semua itu, Umar masih saja
tampak bangga dengan kebesaran dan kemuliaan asal-usul dirinya, sehingga ia
dalam sebahagian sikapnya sebagai orang yang masih muda usia tampak berlebihan
dalam kemewahan dan membusungkan dada dalam berjalan. Bisa jadi hal itu,
terpulang pada faktor usia yang masih muda tetapi saat usianya bertambah dan
urusan pemerintahan menuntut tanggung jawab ia juga berubah sikap menjadi orang
zuhud terhadap dunia dengan segala hiasannya.[9]
Dalam melakukan penataan administrasi
pemerintahan, kebijakan Umar II dikelompokkan sebagai berikut:
a)
Umar II memberikan
jaminan keamanan agar tercipta ketenangan dan keamanan, kebijakan-kebijakan
para pendahulu yang hanya tertuju pada perluasan dan penguasaan negara ia
tinggalkan.
b)
Pemberlakuan
kebijakan tidak membedakan atas golongan, ras, dan suku.
Kebijakan Umar II yang diterapkan pada
masa pemerintahannya adalah sebagai berikut:
a)
Pengaturan
terhadap pejabat daerah.
b)
Penegakan hukum
tidak pernah pandang bulu.
c)
Satu-satunya
khalifah yang mampu meredam konflik yang terjadi antara golongan dan sekte.
d)
Hanya pada masa
kepemimpinan Umar II, rakyat merasakan keadilan.
Hal-hal yang dilakukan oleh Umar II dalam
membuat perubahan kinerja pemerintahan maupun pemberlakuan kebijakan yang
menyangkut keadilan rakyatnya sebagai berikut:
a)
Umar II tidak
setuju apabila kerabat istana digaji dalam jumlah besar yang berasal dari
anggaran negara karena sebagain dari mereka tidak bekerja.
b)
Pengangkatan
kepala daerah Umar II meminta pendapat terhadap rakyatnya.
c)
Karena sifat zuhud
dan wara yang dimilikinya, Umar II menyerahkan seluruh
hartanya ke bait al-mal untuk kepentingan rakyat.
d)
Umar II mengeluarkan
dekrit yang isinya kekayaan yang dihasilkan atas penderitaan rakyat serta
siksaan rakyat harus dikembalikan ke negara.
e)
Membebaskan pajak,
dengan alasan bahwa Nabi diutus bukan untuk memungut pajak atau mencari
kekayaan melainkan hanya untuk mengislamkannya.
f)
Melarang jual beli
tanah, untuk menghindari kebangkrutan negaranya, karena banyak orang non-muslim
masuk Islam hanya untuk menhindari pajak.
g)
Mengirimkan
da’i-da’i Islam ke penjuru negara umtuk mengislamkannya.
h)
Sangat menjunjung
tinggi keadilan, sehingga Umar II melaramg keras untuk menghukum mati terhadap
seseorang yang belum terbukti bersalah.
i)
Menghapus
pemberian laknat yang diterapkan oleh khalifah Muawiyah dalam khutbah jumat
terhadap Ali bin Abi Thalib dan keluarga.
j)
Memberhentikan
ekspansi, karena Umar II lebih fokus pada mengislamkan rakyat yang ada secara kaffah.
k)
Mengembalikan
gereja saint Thomas di Damaskus yang dijadikan masjid pada masa al-Walid I
kepada umat Kristen, dan melarang perusakan terhadap gereja sekaligus
membebaskan praktek kegamaan lain.[10]
C. Masa Keruntuhan Daulah Bani Umayah di
Damaskus
Saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak dan
bersahabat, baik Khawarij maupun Syi’ah tidak ada yang memusuhinya karena
kesalehan dan keadilan yang diterapkan Umar II. Kelonggaran bijakan politik
Umar II ini dimanfaatkan oleh Bani Abbas, mereka keluar dari bawah tanah dan
mudah berkomunikasi sesama anggota gerakan Abbasiyah maupun dengan Syi’ah dan
Khawarij yang sejak kelahiran Umayah tidak pernah mengakui sebagai khalifah
atau kekuatan politik yang sah dan Islami. Setelah Umar II wafat, mereka segera
melancarkan permusuhan dengan dinasti Umayah. Telah disebutkan, bahwa saat
gubernur Khurasan, Nasar ibn Sayyar semasa Marwan II yang memperbaharui ekonomi
dengan tujuan untuk membendung gerakan anti umayah melaluinya yang menerapkan
Kharaj bagi semua rakyat dengan ukuran yang sama yakni baik muslim Arab, Mawali
ataupun Non Muslim, mereka harus bayar pajak bumi yang sama (50%). Walaupun
kebijakan Nasar itu baik, namun waktunya sudah tidak memungkinkan lagi, bagikan
nasi sudah menjadi bubur. Akhirnya, gerakan Abbasiyah bersama-sama kelompok aliran-aliran
yang lain bahu-membahu melawan tentara Umayah di tepi sungai Dzab pada 749 M.
Khalifah Marwan II kalah perang dan lari Syam terus ke palestina akhirnya ia
ditangkap di mesir dan di bunuh (750 M).
Abbasiyyah terus melancarkan serangannya hingga
membunuh banyak sekali penduduk Bani Umawiyah. Tidak ada keluarga Bani Umawiyah
kecuali dibunuh oleh Abbasiyyin kecuali satu orang saja yang mampu melarikan
diri ke Andalusia, yang kemudian mendirikan Negara Umawi di sana.[11]
Di
antara sebab-sebab yang mengakibatkan Dinasti Bani Umayyah mengalami kemunduran
dan membawanya kepada kehancuran, adalah sebagai berikut:
1. Munculnya
kelompok-kelompok yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan Bani Umayyah,
seperti kelompok Khawarij, Syiah, dan kelompok Muslim non-Arab (mawali).
2. Tidak
adanya ketentuan yang jelas dan tegas tentang sistem pergantian khalifah,
ketiadaan ketentuan menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di
kalangan anggota keluarga khalifah.
3. Ketidakmampuan
dari para penguasa Bani Umayyah untuk menggalang persatuan dan kesatuan dari
pertentangan yang semakin lama semakin meruncing antara etnis suku Arabiah
Utara (Bani Qais) dengan suku Arabiah Selatan (Bani Kalb), yang sudah ada sejak
sebelum Islam.
4. Sangat
kurangnya perhatian para khalifah Bani Umayyah terhadap perkembangan agama,
sehingga pemuka agama banyak yang kecewa.
5. Sikap
hidup yang bermewah-mewahan dalam lingkungan keluarga khalifah, sehingga mereka
yang memegang kekhalifahan berikutnya tidak mampu memikul beban kenegaraan yang
berat.
6. Terbunuhnya
Khalifah Marwan bin Muhammad oleh tentara Abbasiyah di kampung Busir daerah
Bani Suweif.[12]
[1] Fuji Rahmadi P, Dinasti Umayyah
(kajian sejarah dan kemajuan), Jurnal Al-Hadi, Vol. III No. 2, 2018, hlm. 669-672.
[2] Munawir
Haristasamuh, Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah,
Jurnal Studi Islam, Volume 10, Nomor 2, September 2018, hlm. 395.
[3] Hatmansyah, Sejarah Dakwah pada
Masa Bani Umayyah, Jurnal Alhadharah, Vol. 17, No. 33 Januari – Juni
2018, hlm. 98.
[5]
Henny Yusalia, Daulah Umayyah, Ekspansi dan Sistem Pemerintahan
Monarchiheridetis, Wardah: No. 25, Th. Xxiv, Desember 2012, hlm. 139-140.
[6] Hatmansyah, Sejarah
Dakwah pada Masa Bani Umayyah, Jurnal Alhadharah, Vol. 17, No. 33, Januari
– Juni 2018, hlm. 105-107.
[7]
Naila
Farah, Perkembangan
Ekonomi dan Administrasi pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah,
hlm. 33-37.
[8] Taufik Rachman, Bani Umayyah dilihat dari Tiga Fase (Fase Terbentuk,
Kejayaan dan Kemunduran), Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Vol.2 No.1 Tahun
2018, hlm. 94-95.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hlm. 92-93.
[10] Al Haq Kamal, Sejarah Kebijakan
Ekonomi Politik Dinasti Umayah, Rasail, Vol. III, No. 1, Januari-Juni 2016,
hlm. 4-9.
[11] Latifa Annum
Dalimunthe, Kemunduran dan Keruntuhan Daulah Bani Umawiyah di Damaskus dan
Andalusia (Studi Pustaka), Anterior Jurnal, Volume 13, Nomor 2, Juni 2014,
hlm. 233.
[12] Muh. Jabir, Dinasti
Bani Umayyah di Suriah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemundurannya), Jurnal
Hunafa, Vol. 4, No. 3, September 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar