Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

PERADABAN ISLAM MASA DAULAH BANI UMAYAH DI DAMASKUS


PERADABAN ISLAM MASA DAULAH BANI UMAYAH DI DAMASKUS


A.    Masa Berdirinya Daulah Bani Umayah di Damaskus

Daulah Bani Umayyah berdiri pada tahun 41 H/661 M. Didirikan oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Ia adalah gubernur Syam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Selama ia menjabat gubernur, ia telah membentuk kekuatan militer yang dapat memperkuat posisinya di masa-masa mendatang. Ia tidak segan-segan menghamburkan harta kekayaan untuk merekrut tentara bayaran yang mayoritas adalah keluarganya sendiri. Bahkan pada masa Umar bin Khattab, ia mengusulkan untuk mendirikan angkatan laut, tetapi Umar menolaknya. Dan angkatan lautnya berhasil didirikan ketika masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Bani Umayah adalah sebuah nama yang diadopsi dari nama salah seorang tokoh kabilah Quraisy pada masa jahiliyyah, yaitu Umayyah ibn Abd Al-Syam ibn Abd Manaf ibn Qusay Al-Quraisyi Al-Amawiy. Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Mu’awiyah ibn Abi Sofyan ibn Harb ibn Umayyah ibn Abd Al-Syams yang merupakan pembangun dinasti Umayyah dan juga khalifah pertama yang memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, terjadi pertempuran Ali dengan Muawiyah di Shifin. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata tidak menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan adanya golongan tiga yaitu Khawarij yang keluar dari barisan Ali Umat Islam menjadi terpecah menjadi tiga golongan politik yaitu Muawiyah, Syiah dan Khawarij. Pada tahun 660 M Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Dengan demikian berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan mulai kekuasaan Bani Umayah dalam semangat politik Islam. Kekuasaan Bani Umayah berbentuk pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid.
Peristiwa takhim berdasarkan sejarah yang kita pelajari ialah berlaku perebutan kekuasaan antara Ali dan Mu’awiyah yang membawa mereka ke meja perundingan. Perundingan antara mereka berdua telah diwakili oleh Abu Musa al-‘Asyari bagi pihak Ali dan ‘Amr bin al-‘Ash bagi pihak Mua’wiyah. Kedua- dua perunding telah setuju untuk memecat Ali dan Mua’wiyah. Menurut sejarah lagi, ‘Amr bin al-‘Ash dengan kelicikannya mampu memperdayakam Abu Musa yang digambarkan sebagai seorang yang lalai dan mudah tertipu. Akibatnya, Ali terlepas dari jawatan khalifah.
Latar belakang lahirnya Dinasti Umayyah ialah dalam kondisi dan situasi di tengah-tengah terjadinya pertentangan politik antara golongan, yaitu: golongan Syi’ah, golongan Khawarij, golongan Jami’iyah, dan golongan Zubaer. Dari pertentangan poltik antar golongan itu, kelompok Bani Umayyah yang dipelopori Mu’awiyyah muncul sebagai pemenangnya yang selanjutnya berdirilah pemerintah Daulat Bani Umayyah.[1]
Sebagai khalifah atau raja pertama Dinasti Bani Umayyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (661-680 M) membentuk pemerintahannya sebagaimana sistem kerajaan; kekuasaan diwariskan secara turun-temurun, dan khalifah-khalifah setelahnya kerap kali bertindak otoriter. Meski anak dari pasangan Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah bin Rabi’ah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Ayahnya adalah salah seorang dari pembesar atau tokoh Quraisy di zaman jahiliyah, pemimpin yang dihormati dan disegani, serta memiliki harta yang banyak. Mu’awiyah adalah satu di antara beberapa orang sahabat yang menjadi penulis wahyu. Bahkan, ia pernah meminta kepada Rasulullah Saw. supaya memperisteri anak perempuannya, yaitu Azzah binti Abi Sufyan, akan tetapi tidak terjadi. Ketika daerah Syam bisa ditaklukkan, khalifah Umar menjadikan Mu’awiyah sebagai walinya (gubernur) untuk kota Damaskus setelah saudaranya Yazid bin Abi Sufyan, dan tetap diteruskan pada masa Khalifah Usman bin Affan, bahkan daerah kekuasaannya ditambah. Akhirnya, Mu’awiyah berhasil membangun pusat pemerintahan di kota Damaskus dan berkuasa selama 40 tahun.[2]
Dinasti Umayyah yang berada di Damaskus selama pemerintahannya telah terjadi pergantian sebanyak 14 orang Khalifah. Mereka adalah Muawiya I ibn Abu Sufyan (661 –680), Yazid I ibn Muawiyah (680 –683), Muawiya II ibn Yazid (683–684), Marwan I ibn al-Hakam (684–685), Abd al-Malik ibn Marwan (685 –705), al-Walid I ibn Abd al-Malik (705 –715), Sulayman ibn Abd al-Malik (715 –717), Umar ibn Abd al-Aziz (717 –720), Yazid II ibn Abd al-Malik (720 –724), Hisham ibn Abd al-Malik (724 –743), al-Walid II ibn Yazid (743 –744), Yazid III ibn al-Walid (744 –744), Ibrahim ibn al-Walid (744 –744), Marwan II ibn Muhammad (744 –750).[3]

B.     Masa Kejayaan Daulah Bani Umayah di Damaskus

1.      Perkembangan Wilayah

Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Daerah-daerah ekspansi itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan yang menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Adapun faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat adalah:
a.       Islam di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
b.      Dalam dada para sahabat Nabi tertanam keyakinan tentang kewajiban meneyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia.
c.       Byzantium dan Persia pada saat itu telah mengalami kemunduran dan kelemahan karena sering terjadi perang.
d.      Pertentangan aliran agama di wilayah Byzantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
e.       Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan simpatik dan toleran.
f.       Bangsa Sami di Syiria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka.
g.      Mesir, Syria, dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya.[4]

2.      Sisitem Pemerintahan

Berkuasanya Muawiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan negara Islam atau Daulah Islamiyah dari sistem Khilafah ke sistem kerajaan. Abu Musa al Asyari menjelaskan mengenai pandangan sahabat Nabi SAW mengenai perbedaan Antara kekhalifahan dan kerajaan yang menunjukkan pendirian mereka secara lebih jelas, dengan kata-katanya “Kepemimpinan yang benar adalah berdasarkan musyawarah. Adapun kerajaan adalah yang dimenangkan dengan kekuatan pedang”.
Berdirinya pemerintahan Dinasti Umayah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi Imperium dan perkembangan umat Islam. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan.[5]

3.      Perkembangan Ekonomi

Pemikiran serius terhadap penerbitan dan pengaturan uang dalam masyarakat islam muncul di masa Abdul Malik bin Marwan, beliau mengubah mata uang Bizantium dan Persia dibeberapa daerah yang dikuasai islam, hal ini didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan kedaulatan dinasti Islam.40 Selain itu khalifah Abdul Malik dalam hal pajak dan zakat memberikan kebijakan dengan memberlakukan kewajiban bagi umat islam untuk membayar zakat dan bebas dari pajak lainnya. Hal inilah yang mendorong orang non-Muslim memeluk agama Islam, namun hal ini menimbulkan masalah bagi perekonomian negara, karena disatu sisi perpindahan agama mengakibatkan berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor pajak.
Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz diterapkannya kembali ajaran islam secara utuh dan menyeluruh, mengumumkan dan menyerahkan seluruh harta kekayaan diri dan keluarganya yang tidak wajar kepada kaum muslimin melalui baitul Maal, sebelumnya pada jaman khalifah Muawiyah bin abu sufyan memberlakukan baitul maal sebagai harta kekayaan pribadi yang boleh dipergunakan untuk apa saja oleh sang penguasa Bani umayyah. Khalifah Umar berupaya membersihkan baitul maal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melindungi dan meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi beban pajak dari kaum nasrani dari 2000 keping menjadi 200 keping, menghapus pajak terhadap kaum Muslim, membuat takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa dan lainlain. Berbagai kebijakan berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat.
Namun kondisi baitul Maal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya tidak dapat bertahan lama. Keserakahan penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Maal dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa kekhalifahan Bani Abbasyiah.[6]

4.      Perkembangan Politik dan Administrasi Pemerintahan

Pada masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul persoalan-persoalan yang cenderung membawa ketidakstabilan dan perpecahan umat, seperti hancurnya teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, munculnya anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum nomad. Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut di atas mengakibatkan terjadinya perkembangan administrasi pemerintahan sesuai dengan perkembangan wilayah dan perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin kompleks.
Di dalam tubuh pemerintahan Bani Umayyah terdapat beberapa diwan atau departeman yaitu:
a)      Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat Negara dari khalifah kepada gubernur atau menerima surat-surat dari gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunakan bahasa Arab, dan daerah menggunakan Bahasa Yunani dan bahasa Persia.
b)      Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau pereturan-peraturan pemerintah untuk dikirim pada pemerintah daerah.
c)      Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang diperoleh dari kharaj, zakat, ghanimah, dan sumber-sumber lain. Semua pemasukan dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal.
d)     Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas malayani informasi tentang berita-berita penting dari daerah kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Pelayanan ini sudah diperkenalkan pada masa Mu’awiyah.
e)      Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas mengorganisir militer.
Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan administrasi pada masa Dinasti Bani Umayyah sudah semakin kompleks, mengingat munculnya berbagai persoalan yang crusial yang menuntut adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan. Namun secara prinsip kebijaksanaan yang dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari administrasi yang pernah diciptakan oleh Khalifah Umar ibn Khattab.[7]

5.      Perkembanga Keilmuwan

Kota Makkah dan Madinah menjadi tempat berkembangnya musik, lagu, dan puisi, sementara di Irak (Bashrahdan Kufah) berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Sedangkan di Marbad, kota satelit di Damaskus, berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, dan cendekiawan lainnya. Beberapa ilmu yang berkembang pesat seperti:
a)      Pengembangan Bahasa Arab
Pada Dinasti Umayyah, Bahasa Arab dijadikan Bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat-menyurat menggunakan Bahasa Arab.
b)      Ilmu Qiraat
Ilmu seni membaca al-Quran yang merupakan syariat tertua yang mulai dikembangkan pada masa khulafaur Rasyidin. Pada dinasti ini lahir para ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair.
c)      Ilmu Tafsir
Salah satu bukti perkembangan ilmu tafsir masa itu adalah dibukukannya ilmu tafsir oleh mujahid.
d)     Ilmu Hadits
Pada masa ini, hadits-hadits Nabi berupaya untuk dikumpulkan, kemudian di teliti asal-usulnya, hingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadits. Di antara ahli hadits yang terkenal pada masa ini adalah Al-Auzi Abdurrahman bin Amru, Hasan Basri, Ibnu Abu Malikah, Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil.
e)      Ilmu Fiqh
Pada awal mulanya perkembangan ilmu fiqh didasari pada dibutuhkannya adanya peraturan-peraturan sebagi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Al-Quran dan hasits dijadikan sebagai dasar fiqh Islam. Di antara ahli fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
f)       Ilmu Nahwu
Dengan meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya upaya Arabisasi maka ilmu tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu nahwu dan menjadi salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari. Salah satu tokoh yang legendaris adalah Abu al- Aswad al-Du’ali yang berasal dari Baghdad. Salah satu jasa dari Al- Du’ail adalah menyusun gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak ada.
g)      Ilmu Geografi dan Tarikh
Geografi dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu tersendiri. Dalam melalui ilmu tarikh mereka mengumpulkan kisah tentang Nabi dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-buku tentang penaklukan (maghazi) dan biograf (sirah). Munculnya ilmu geografi dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh.
h)      Usaha Penterjemahan
Pada masa ini di mulai usaha penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Ini merupakan rintisan pertama dalam penerjemahan buku yang kemudian dilanjutkan dan berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Buku-buku yang diterjemahkan pada masa ini meliputi buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, ilmu kedokteran, dan lain-lain.

6.      Perkembangan Seni dan Budaya

Pada masa bani umayyah ini berkembang seni arsitektur terutama setelah ditaklukannya Spanyol oleh Thariq bin Ziyat. Ekspresi seni ini diwujudkan pada bangunan-bangunan masjid yang didirikan pada masa ini. Arsitektur bangunannya memadukan antara budaya Islam dengan budaya sekitar.[8]

7.      Konsolidasi dan Pembaharuan Politik pada Masa Umar Ibn Abdul Aziz

      Umar bin Abdul Aziz dianggap seorang khalifah dari para khalifah Bani Umayah yang paling baik sejarah kehidupan, paling bersih kepribadian, paling suci tangan, paling terjaga lidahnya, paling giat menyebarkan Islam dan menegakkan agama.
      Namun di atas semua itu, Umar masih saja tampak bangga dengan kebesaran dan kemuliaan asal-usul dirinya, sehingga ia dalam sebahagian sikapnya sebagai orang yang masih muda usia tampak berlebihan dalam kemewahan dan membusungkan dada dalam berjalan. Bisa jadi hal itu, terpulang pada faktor usia yang masih muda tetapi saat usianya bertambah dan urusan pemerintahan menuntut tanggung jawab ia juga berubah sikap menjadi orang zuhud terhadap dunia dengan segala hiasannya.[9]  
      Dalam melakukan penataan administrasi pemerintahan, kebijakan Umar II dikelompokkan sebagai berikut:
a)      Umar II memberikan jaminan keamanan agar tercipta ketenangan dan keamanan, kebijakan-kebijakan para pendahulu yang hanya tertuju pada perluasan dan penguasaan negara ia tinggalkan.
b)      Pemberlakuan kebijakan tidak membedakan atas golongan, ras, dan suku.
      Kebijakan Umar II yang diterapkan pada masa pemerintahannya adalah sebagai berikut:
a)      Pengaturan terhadap pejabat daerah.
b)      Penegakan hukum tidak pernah pandang bulu.
c)      Satu-satunya khalifah yang mampu meredam konflik yang terjadi antara golongan dan sekte.
d)     Hanya pada masa kepemimpinan Umar II, rakyat merasakan keadilan.
      Hal-hal yang dilakukan oleh Umar II dalam membuat perubahan kinerja pemerintahan maupun pemberlakuan kebijakan yang menyangkut keadilan rakyatnya sebagai berikut:
a)      Umar II tidak setuju apabila kerabat istana digaji dalam jumlah besar yang berasal dari anggaran negara karena sebagain dari mereka tidak bekerja.
b)      Pengangkatan kepala daerah Umar II meminta pendapat terhadap rakyatnya.
c)      Karena sifat zuhud dan wara yang dimilikinya, Umar II menyerahkan seluruh hartanya ke bait al-mal untuk kepentingan rakyat.
d)     Umar II mengeluarkan dekrit yang isinya kekayaan yang dihasilkan atas penderitaan rakyat serta siksaan rakyat harus dikembalikan ke negara.
e)      Membebaskan pajak, dengan alasan bahwa Nabi diutus bukan untuk memungut pajak atau mencari kekayaan melainkan hanya untuk mengislamkannya.
f)       Melarang jual beli tanah, untuk menghindari kebangkrutan negaranya, karena banyak orang non-muslim masuk Islam hanya untuk menhindari pajak.
g)      Mengirimkan da’i-da’i Islam ke penjuru negara umtuk mengislamkannya.
h)      Sangat menjunjung tinggi keadilan, sehingga Umar II melaramg keras untuk menghukum mati terhadap seseorang yang belum terbukti bersalah.
i)        Menghapus pemberian laknat yang diterapkan oleh khalifah Muawiyah dalam khutbah jumat terhadap Ali bin Abi Thalib dan keluarga.
j)        Memberhentikan ekspansi, karena Umar II lebih fokus pada mengislamkan rakyat yang ada secara kaffah.
k)      Mengembalikan gereja saint Thomas di Damaskus yang dijadikan masjid pada masa al-Walid I kepada umat Kristen, dan melarang perusakan terhadap gereja sekaligus membebaskan praktek kegamaan lain.[10]

C.     Masa Keruntuhan Daulah Bani Umayah di Damaskus

Saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak dan bersahabat, baik Khawarij maupun Syi’ah tidak ada yang memusuhinya karena kesalehan dan keadilan yang diterapkan Umar II. Kelonggaran bijakan politik Umar II ini dimanfaatkan oleh Bani Abbas, mereka keluar dari bawah tanah dan mudah berkomunikasi sesama anggota gerakan Abbasiyah maupun dengan Syi’ah dan Khawarij yang sejak kelahiran Umayah tidak pernah mengakui sebagai khalifah atau kekuatan politik yang sah dan Islami. Setelah Umar II wafat, mereka segera melancarkan permusuhan dengan dinasti Umayah. Telah disebutkan, bahwa saat gubernur Khurasan, Nasar ibn Sayyar semasa Marwan II yang memperbaharui ekonomi dengan tujuan untuk membendung gerakan anti umayah melaluinya yang menerapkan Kharaj bagi semua rakyat dengan ukuran yang sama yakni baik muslim Arab, Mawali ataupun Non Muslim, mereka harus bayar pajak bumi yang sama (50%). Walaupun kebijakan Nasar itu baik, namun waktunya sudah tidak memungkinkan lagi, bagikan nasi sudah menjadi bubur. Akhirnya, gerakan Abbasiyah bersama-sama kelompok aliran-aliran yang lain bahu-membahu melawan tentara Umayah di tepi sungai Dzab pada 749 M. Khalifah Marwan II kalah perang dan lari Syam terus ke palestina akhirnya ia ditangkap di mesir dan di bunuh (750 M).
Abbasiyyah terus melancarkan serangannya hingga membunuh banyak sekali penduduk Bani Umawiyah. Tidak ada keluarga Bani Umawiyah kecuali dibunuh oleh Abbasiyyin kecuali satu orang saja yang mampu melarikan diri ke Andalusia, yang kemudian mendirikan Negara Umawi di sana.[11]
Di antara sebab-sebab yang mengakibatkan Dinasti Bani Umayyah mengalami kemunduran dan membawanya kepada kehancuran, adalah sebagai berikut:
1.    Munculnya kelompok-kelompok yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan Bani Umayyah, seperti kelompok Khawarij, Syiah, dan kelompok Muslim non-Arab (mawali).
2.    Tidak adanya ketentuan yang jelas dan tegas tentang sistem pergantian khalifah, ketiadaan ketentuan menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga khalifah.
3.    Ketidakmampuan dari para penguasa Bani Umayyah untuk menggalang persatuan dan kesatuan dari pertentangan yang semakin lama semakin meruncing antara etnis suku Arabiah Utara (Bani Qais) dengan suku Arabiah Selatan (Bani Kalb), yang sudah ada sejak sebelum Islam.
4.    Sangat kurangnya perhatian para khalifah Bani Umayyah terhadap perkembangan agama, sehingga pemuka agama banyak yang kecewa.
5.    Sikap hidup yang bermewah-mewahan dalam lingkungan keluarga khalifah, sehingga mereka yang memegang kekhalifahan berikutnya tidak mampu memikul beban kenegaraan yang berat.
6.    Terbunuhnya Khalifah Marwan bin Muhammad oleh tentara Abbasiyah di kampung Busir daerah Bani Suweif.[12]



[1] Fuji Rahmadi P, Dinasti Umayyah (kajian sejarah dan kemajuan), Jurnal Al-Hadi, Vol. III No. 2, 2018, hlm. 669-672.
[2] Munawir Haristasamuh, Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Jurnal Studi Islam, Volume 10, Nomor 2, September 2018, hlm. 395.
[3] Hatmansyah, Sejarah Dakwah pada Masa Bani Umayyah, Jurnal Alhadharah, Vol. 17, No. 33 Januari – Juni 2018, hlm. 98.
[4] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2017), hlm.70.
[5] Henny Yusalia, Daulah Umayyah, Ekspansi dan Sistem Pemerintahan Monarchiheridetis, Wardah: No. 25, Th. Xxiv, Desember 2012, hlm. 139-140.

[6] Hatmansyah, Sejarah Dakwah pada Masa Bani Umayyah, Jurnal Alhadharah, Vol. 17, No. 33, Januari – Juni 2018, hlm. 105-107.

[7] Naila Farah, Perkembangan Ekonomi dan Administrasi pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, hlm. 33-37.

[8] Taufik Rachman, Bani Umayyah dilihat dari Tiga Fase (Fase Terbentuk, Kejayaan dan Kemunduran), Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Vol.2 No.1 Tahun 2018, hlm. 94-95.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), hlm. 92-93.
[10] Al Haq Kamal, Sejarah Kebijakan Ekonomi Politik Dinasti Umayah, Rasail, Vol. III, No. 1, Januari-Juni 2016, hlm. 4-9.
[11] Latifa Annum Dalimunthe, Kemunduran dan Keruntuhan Daulah Bani Umawiyah di Damaskus dan Andalusia (Studi Pustaka), Anterior Jurnal, Volume 13, Nomor 2, Juni 2014, hlm. 233.
[12] Muh. Jabir, Dinasti Bani Umayyah di Suriah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemundurannya), Jurnal Hunafa, Vol. 4, No. 3, September 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar