A. Hakim
1. Pengertian Hakim
Kata hakim
secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Al-Hakim adalah Zat
yang mengeluarkan hukum. Dialah sumber hukum, serta yang menyuruh, melarang,
mewajibkan, mengharamkan dan memberi pahala atau siksa. Dengan
demikian al-Hakim adalah Allah. Tidak ada hukum kecuali apa yang
diputuskan-Nya. Tidak ada syariat kecuali apa yang disyariatkan-Nya.[1]
Dalam istilah
fikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan
yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul Fiqh,kata hakim
berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.[2]
Ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi
sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukkan
oleh Al-Qur’an dalam surat Al-An’am ayat 57:
اِنِالْحُكْمُ
اِلَا َلِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ ؤَهُوَ خَيْرُالْفَاصِلِيْنَ
‘‘Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.’’ (QS.
Al-An’am:57)
Berdasarkan
pernyataan di atas, tidak ada kekuasaan mengeluarkan hukum selain Allah. Tugas rasul
hanya menyampaikan hukum-hukum Allah, Tugas para mujtahid hanya mengetahui
hukum-hukum ini dan mengungkapkannya dengan metode-metode dan kaidah yang
dirumuskan ilmu ushul fikih. Oleh karena itu mereka bersepakat tentang
pengertian hukum syar’i adalah khitab/firman Allah SWT yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukallaf, baik yang bersifat thalabi (tuntutan), takhyiri
(pilihan), maupun wadh’i
(menjadikan).[3]
2. Kemampuan akal mengetahui syariat
Para Ulama terbagi kepada tiga golongan
dalam menentukan
kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syariat:
a.
Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, akal tidak memiliki kemampuan
untuk menentukan hukum, sebelum turunnya syariat. Akal hanya
bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan
Al-Qur’an dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainnya. Menurut Ahli Sunnah wal
Jama’ah akal tidak bisa dijadikan standar untuk menetukan baik buruknya suatu perbuatan.
Dengan demikian maka Allah tidak berkewajiban menetapkan
suatu kebaikan yang dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu
perbuatan yang dipandang buruk menurut akal, karena Allah mempunyai kehendak
yang mutlak. Dan berkuasa untuk menetapkan perbuatan yang tidak bermanfaat
sekalipun. Namun, menurut penelitian semua perintah Allah pasti mengandung
manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemudharatan.
b.
Mu'tazilah, berpendapat akal bisa menentukan baik
buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara'
meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan
oleh zatnya, sehingga akal bisa menentukan syariat. Alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat
yang dikemukakan oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah yaitu dalam surat Al-Isra' ayat
15, hanya mereka mengartikan rasul pada ayat tersebut dengan akal hingga arti
keseluruhan dari ayat tersebut adalah:
“Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan
akal padanya".
Menurut mereka,
sebagian perbuatan dan perkataan itu sudah semestinya dilakukan manusia,
seperti beriman dan berbuat baik. Orang yang melakukannya berhak mendapat pujian, karena
keimanan dan perbuatan baik itu merupakan hal yang baik pada zatnya. Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan yang
buruk pada zatnya, seperti berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu yang tidak benar.
Perbuatan tersebut akan mendapat celaan dari manusia, dan sedikitpun tidak ada
alasan untuk mengerjakannya.
Menurut kaum
Mu'tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik ataupun
buruk adalah akal manusia bukan syara'.Dengan demikian, sebelum datangnya rasul
pun manusia telah dikenakan kewajiban melalui perbuatan yang menurut akai
mereka baik dan untuk itu mereka akan diberi imbalan. Selain itu, mereka pun
dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang jelek menurut akal mereka, dan bila
dikerjakan mereka akan mendapat hukuman.
Golongan Mu'tazilah
juga berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan pada manusia merupakan sesuatu
yang dapat dicapai dengan akal, yakni bisa ditelusuri bahwa didalamnya ada
unsur manfaat atau mudharat. Dengan
demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baiknya menurut syara' dan manusia dituntut untuk
mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek
menurut syara' dan manusia dilarang
mengerjakannya.
c.
Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di
atas. Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan
itu adakalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara'
menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan
melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zatnya. Adapun terhadap
perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya, syara' memiliki wewenang untuk
menetapkannya.
Lebih jauh
Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kebaikan atau kejelekan yang didasarkan
pada akal tidak wajib di kerjakan ataupun ditinggalkan. Seandainya dikerjakanpun
tidak akan mendapat pahala kalau semata-semata hanya berdasarkan pada akal
saja. Begitu pula sebaliknya, bila mengerjakan suatu perbuatan yang dipandang
buruk semata-mata oleh akal, tidak akan mendapat hukuman. Menurut mereka, akal
itu tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan nash. Dengan kata lain,
walaupun akal mampu mengetahui bahwa suatu perbuatan itu baik ataupun buruk,
namun adanya pemberitaan dari kitab samawi atau penerangan dari rasul menetapkan
keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitupun halnya dengan
masalah imbalan dan hukuman.
Maka Allah tidak
wajib memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan perkataan ataupun
perbuatan yang baik menurut akal. Dan sebaliknya, Allah pun tidak wajib
memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal.
Implikasi dari
perbedaan pendapat mengenai peranan akal tersebut, berkaitan pula dengan posisi
akal dalam ijtihad, apakah awal bisa menjadi salah satu sumber hukum Islam? Menurut
Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan Maturidiyah, akal tidak dapat secara berdiri
sendiri menjadi sumber hukum Islam. Namun diakui, bahwa akal berperan penting
dalam menangkap maksud-maksud syara'
untuk menetapkan suatu hukum. Sebagaimana pendapat Abu Zahrah, bahwa seluruh
produk fiqih adalah hasil daya nalar manusia yang tidak habis-habisnya sampai
sekarang. Akan tetapi, daya nalar tersebut tidak terlepas sama sekali, karena
harus bersandar pada nash.
Mu'tazilah dan Syi'ah
Ja'fariyah, berpendapat bahwa akal merupakan sumber hukum ketiga setelah
Al-Qur'an dan As-Sunnah.[4]
B. Mahkum Bih
Dalam istilah ulama ushul fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum
syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu
berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya daging babi. Pada daging
babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum
larangan adalah pada memakan daging babi, yaitu sesuatu kegiatan memakan, bukan
pada zat daging babi itu.
Perbuatan yang menjadi
objek hukum ada dalam dua bentuk, pertama, perbuatan yang berkenaan dengan
fisik jasmani dan kedua, perbuatan berkenaan dengan materi. Yang dimaksud
dengan perbuatan berkenaan dengan jasmani adalah “berbuat” itu sendiri seperti
melakukan shalat. Si pelaku belum bebas dari tuntutan berbuat kecuali melakukan
sendiri perbuatan itu. Perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Yang dimaksud dengan perbuatan yang berkenaan dengan materi adalah “sampainya
materi itu kepada yang dituju”, bukan berbuat itu sendiri. Umpamanya kewajiban
zakat, yang dikehendaki oleh syar’i dalam hal ini adalah sampainya barang zakat
itu kepada yang berhak. Berbuat dalam bentuk ini dapat dilakukan oleh orang
lain.[5]
Hukum syara’ terdiri dari dua macam, yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i. hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf,
sedangkan sebagian hukum wadh’i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan
mukallaf seperti tergelincirnya matahari untuk masuknya kewajiban shalat zuhur.
Tergelincirnya matahari itu (sebagai sebab) adalah hukum wadh’i dan karena ia
tidak termasuk perbuatan mukallaf, maka ia tidak termasuk objek hukum.
Para ahli ushul fiqh
menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu :
1.
Perbuatan
itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang, seperti “mencat
langit”.
2.
Perbuatan
itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta
dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap
perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh seseorang “menggantang angin”.
3.
Perbuatan
itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya
untuk melakukannya.
Berdasarkan syarat
tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan tidak menginginkan manusia dalam kesulitan. Dalam hal ini ulama membagi
kesulitan atau masyaqqah itu pada dua tingkatan :
1.
Masyaqqah
yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya. Umpamanya puasa
dan ibadah haji.
2.
Masyaqqah
yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara berketerusan atau tidak
mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga yang maksimal. Pemaksaan
diri dalam melakukannya akan membawa kerusakan terhadap jiwa atau harta.
Umpamanya berperang dalam jihad di jalan Allah.
Sehubungan dengan
persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang jelas keberadaannya, para
ulama ushul membicangkan kemungkinan berlakunya taklif terhadap sesuatu yang
mustahil adanya. Dalam hal ini ulama ushul membagi mustahil pada lima tingkat :
1.
Mustahil
adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua hal yang
berlawanan secara dhid (kebalikan)
seperti menghimpun antara warna dan putih. Atau secara naqidh (kurang) seperti menyuruh melakukan seuatu perbuatan dalam
waktu dan tempat yang sama.
2.
Mustahil
menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan menurut biasanya,
seperti menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
3.
Mustahil
karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan pada dasarnya dapat
dilakukan tetapi oleh karena suatu sebab, perbuatan itu tidak dapat dilakukan.
Umpamanya menyuruh orang yang diikat kakinya untuk berlari.
4.
Mustahil
karena tidak mampunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat melaksanakan
ada kemungkinan berbuat seperti taklif pada umunya.
5.
Mustahil
karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi sesorang yang jelas
kafirnya.
Perbuatan yang berlaku
padanya taklif ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah dan dengan hamba
terbagi menjadi empat :
1.
Perbuatan
yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tidak ada sedikitpun hak
manusia. Semua perbuatan ibadah mahdhah termasuk dalam bentuk ini.
2.
Perbuatan
yang merupakan hak hamba secara murni, yaitu tindakan yang merupakan pembelaan
terhadap kepentingan pribadi. Semuanya adalah hak manusia secara murni.
Contohnya hak perdata yaitu yang menyangkut harta benda atau hak seperti utang
dan kepemilikan.
3.
Perbuatan
yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah lebih
dominan. Umpamanya pelaksanaan had (hukuman) terhadap penuduh zina (qadzaf).
4.
Perbuatan
yang di dalamnya bergabung padanya hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba
lebih dominan. Umpamanya pelaksaan qishash (balasan) suatu pembunuhan.
Dapat tidaknya taklif itu
dilakukan orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum.
Dalam hal ini objek hukum terbagi menjadi tiga :
1.
Objek
hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif. Umpamanya
shalat dan puasa.
2.
Objek
hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif. Umpamanya
kewajiban zakat.
3.
Objek
hukum yang pelaksanaanya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku taklif.
Umpamanya kewajiban haji.
C. Mahkum Alaih
Mahkum ‘Alaih atau mukallaf, yaitu orang-orang
yang terkena beban taklif atau subjek hukum. Para pelaku setiap pekerjaan yang
telah jelas hukumnya. Pelaku pekerjaan yang wajib, sunnah, haram, makruh, dan
mubah. Dalam hukum islam orang yang terkena beban hukum adalah orang yang telah
baligh dan berakal.[6]
Seseorang baru
dianggap layak dibebani hukum taklifi
bilamana dirinya terdapat beberapa persyaratan:
1.
Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau
dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi
dari ayat atau hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu
disebabkan seseorang itu mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur dengan
pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi
dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun, jika sampai umur lima
belas tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima
belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.
2.
Mempunyai ahliyat
al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban
taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya
diperhitungkan oleh hukum islam, dan ia diperingatkan untuk melaksanakan segala
perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini baru dimiliki seseorang
secara sempurna bilamana ia baligh berakal dan bebas dari segala hal yang
menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur,
lupa, terpaksa, dan lain-lain. Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang baru
dianggap sah disamping sudah baligh berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan untuk mengendalikan
hartanya. Seseorang yang telah mencapai umur baligh berakal tetapi tidak mampu
mengendalikan hartanya, seperti mubazir, tidak dianggap cakap mengendalikan
hartanya, dan oleh karena iu ia perlu dibimbing oleh penanggungjawabnya.[7]
Ada beberapa orang yang tidak layak menjadi mukallaf karena adanya sebab-sebab yang
melekat pada dirinya sehingga menghalangi ia untuk melakukan beban taklif. Sebagaimana terdapat dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan lainnya yang menyebutkan: “Dari Aisyah dan Abi Thalib
r.a. untuk keduanya, Rasulullah SAW. Telah bersabda, Diangkat pembebanan hukum
untuk tiga jenis mukallaf, yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, anak
kecil sehingga berakal atau dewasa, dan orang gila sehingga telah sembuh’.”
(H.R. Imam Bukhari, Imam Tarmidzi, Ibnu Majah, Daruquthni, dan Nasa’i).
Dalam hadits lainnya dikemukakan:
“Diangkat beban hukum atas orang yang salah, lupa, dan
orang yang dalam keadaan terpaksa.” (H.R. Ibnu Madjah dan Thabrani).
Kemudian Allah berfirman dalam Q.S An-Nur aya 59, yang
artinya:
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka
hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta
izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha bijaksana.” (Q.S. An-Nur:59).
Anak kecil yang
telah mumayyiz, artinya telah memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang
buruk, dan dalam transaksi yang biasa, dapat diberi kepercayaan, karena sesuatu
yang dilakukannya dipandang sebagai hal yang tidak memberatkan. Syarat lain
bolehnya mukallaf bertindak secara hukum atau mukallaf yang terkena beban
taklif, adalah karena mukallaf yang bersangkutan telah cakap atau ahli di
bidangnya.
Arti
terminologis dari ahliyyah adalah
suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara’. Dengan
demikian, ahliyyah diartikan sebagai
kecakapan mukallaf secara aqliyah, dan kecakapan dilihat dari usia yang telah
dewasa. Adapun untuk anak yang belum dewasa atau belum baligh tetapi telah
mumayyiz, dipandang cakap karena kebiasaan dan untuk perbuatan yang ringan.[8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar