Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

HAKIM, MAHKUM BIH, DAN MAHKUM ALAIH


HAKIM, MAHKUM BIH, DAN MAHKUM ALAIH




A.    Hakim

1.      Pengertian Hakim

     Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Al-Hakim adalah Zat yang mengeluarkan hukum. Dialah sumber hukum, serta yang menyuruh, melarang, mewajibkan, mengharamkan dan memberi pahala atau siksa. Dengan demikian al-Hakim adalah Allah. Tidak ada hukum kecuali apa yang diputuskan-Nya. Tidak ada syariat kecuali apa yang disyariatkan-Nya.[1]
     Dalam istilah fikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul Fiqh,kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.[2]
     Ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalam surat Al-An’am ayat 57:

اِنِالْحُكْمُ اِلَا َلِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ ؤَهُوَ خَيْرُالْفَاصِلِيْنَ

‘‘Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.’’ (QS. Al-An’am:57)
Berdasarkan pernyataan di atas, tidak ada kekuasaan mengeluarkan hukum selain Allah. Tugas rasul hanya menyampaikan hukum-hukum Allah, Tugas para mujtahid hanya mengetahui hukum-hukum ini dan mengungkapkannya dengan metode-metode dan kaidah yang dirumuskan ilmu ushul fikih. Oleh karena itu mereka bersepakat tentang pengertian hukum syar’i adalah khitab/firman Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik yang bersifat thalabi (tuntutan), takhyiri (pilihan), maupun wadh’i (menjadikan).[3]

2.      Kemampuan akal mengetahui syariat

     Para Ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syariat:
a.    Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum turunnya syariat. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan Al-Qur’an dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainnya. Menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah akal tidak bisa dijadikan standar untuk menetukan baik buruknya suatu perbuatan.
Dengan demikian maka Allah tidak berkewajiban menetapkan suatu kebaikan yang dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu perbuatan yang dipandang buruk menurut akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak. Dan berkuasa untuk menetapkan perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian semua perintah Allah pasti mengandung manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemudharatan.
b.      Mu'tazilah, berpendapat akal bisa menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara' meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehingga akal bisa menentukan syariat.  Alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang dikemukakan oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah yaitu dalam surat Al-Isra' ayat 15, hanya mereka mengartikan rasul pada ayat tersebut dengan akal hingga arti keseluruhan dari ayat tersebut adalah:
Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal padanya".
Menurut mereka, sebagian perbuatan dan perkataan itu sudah semestinya dilakukan manusia, seperti beriman dan berbuat baik. Orang yang melakukannya berhak mendapat pujian, karena keimanan dan perbuatan baik itu merupakan hal yang baik pada zatnya.  Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan yang buruk pada zatnya, seperti berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu yang tidak benar. Perbuatan tersebut akan mendapat celaan dari manusia, dan sedikitpun tidak ada alasan untuk mengerjakannya.
Menurut kaum Mu'tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik ataupun buruk adalah akal manusia bukan syara'.Dengan demikian, sebelum datangnya rasul pun manusia telah dikenakan kewajiban melalui perbuatan yang menurut akai mereka baik dan untuk itu mereka akan diberi imbalan. Selain itu, mereka pun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang jelek menurut akal mereka, dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman.
Golongan Mu'tazilah juga berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan pada manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai dengan akal, yakni bisa ditelusuri bahwa didalamnya ada unsur manfaat atau mudharat.  Dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baiknya menurut syara' dan manusia dituntut untuk mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek menurut syara' dan manusia dilarang mengerjakannya.
c.    Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas. Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara' menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zatnya. Adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya, syara' memiliki wewenang untuk menetapkannya.
Lebih jauh Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kebaikan atau kejelekan yang didasarkan pada akal tidak wajib di kerjakan ataupun ditinggalkan. Seandainya dikerjakanpun tidak akan mendapat pahala kalau semata-semata hanya berdasarkan pada akal saja. Begitu pula sebaliknya, bila mengerjakan suatu perbuatan yang dipandang buruk semata-mata oleh akal, tidak akan mendapat hukuman. Menurut mereka, akal itu tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan nash. Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui bahwa suatu perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya pemberitaan dari kitab samawi atau penerangan dari rasul menetapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitupun halnya dengan masalah imbalan dan hukuman.
Maka Allah tidak wajib memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baik menurut akal. Dan sebaliknya, Allah pun tidak wajib memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal.
Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal tersebut, berkaitan pula dengan posisi akal dalam ijtihad, apakah awal bisa menjadi salah satu sumber hukum Islam? Menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan Maturidiyah, akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum Islam. Namun diakui, bahwa akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara' untuk menetapkan suatu hukum. Sebagaimana pendapat Abu Zahrah, bahwa seluruh produk fiqih adalah hasil daya nalar manusia yang tidak habis-habisnya sampai sekarang. Akan tetapi, daya nalar tersebut tidak terlepas sama sekali, karena harus bersandar pada nash.
Mu'tazilah dan Syi'ah Ja'fariyah, berpendapat bahwa akal merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah.[4]

B.     Mahkum Bih

Dalam istilah ulama ushul fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya daging babi. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada memakan daging babi, yaitu sesuatu kegiatan memakan, bukan pada zat daging babi itu. 
Perbuatan yang menjadi objek hukum ada dalam dua bentuk, pertama, perbuatan yang berkenaan dengan fisik jasmani dan kedua, perbuatan berkenaan dengan materi. Yang dimaksud dengan perbuatan berkenaan dengan jasmani adalah “berbuat” itu sendiri seperti melakukan shalat. Si pelaku belum bebas dari tuntutan berbuat kecuali melakukan sendiri perbuatan itu. Perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Yang dimaksud dengan perbuatan yang berkenaan dengan materi adalah “sampainya materi itu kepada yang dituju”, bukan berbuat itu sendiri. Umpamanya kewajiban zakat, yang dikehendaki oleh syar’i dalam hal ini adalah sampainya barang zakat itu kepada yang berhak. Berbuat dalam bentuk ini dapat dilakukan oleh orang lain.[5] 
Hukum syara’ terdiri dari dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf, sedangkan sebagian hukum wadh’i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti tergelincirnya matahari untuk masuknya kewajiban shalat zuhur. Tergelincirnya matahari itu (sebagai sebab) adalah hukum wadh’i dan karena ia tidak termasuk perbuatan mukallaf, maka ia tidak termasuk objek hukum.
Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu :
1.      Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang, seperti “mencat langit”.
2.      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh seseorang “menggantang angin”.
3.      Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
Berdasarkan syarat tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan tidak menginginkan manusia  dalam kesulitan. Dalam hal ini ulama membagi kesulitan atau masyaqqah itu pada dua tingkatan :
1.      Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya. Umpamanya puasa dan ibadah haji.
2.      Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara berketerusan atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga yang maksimal. Pemaksaan diri dalam melakukannya akan membawa kerusakan terhadap jiwa atau harta. Umpamanya berperang dalam jihad di jalan Allah.
Sehubungan dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang jelas keberadaannya, para ulama ushul membicangkan kemungkinan berlakunya taklif terhadap sesuatu yang mustahil adanya. Dalam hal ini ulama ushul membagi mustahil pada lima tingkat :
1.      Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua hal yang berlawanan secara dhid (kebalikan) seperti menghimpun antara warna dan putih. Atau secara naqidh (kurang) seperti menyuruh melakukan seuatu perbuatan dalam waktu dan tempat yang sama.
2.      Mustahil menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan menurut biasanya, seperti menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
3.      Mustahil karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan pada dasarnya dapat dilakukan tetapi oleh karena suatu sebab, perbuatan itu tidak dapat dilakukan. Umpamanya menyuruh orang yang diikat kakinya untuk berlari.
4.      Mustahil karena tidak mampunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat melaksanakan ada kemungkinan berbuat seperti taklif pada umunya.
5.      Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi sesorang yang jelas kafirnya.
Perbuatan yang berlaku padanya taklif ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah dan dengan hamba terbagi menjadi empat :
1.      Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tidak ada sedikitpun hak manusia. Semua perbuatan ibadah mahdhah termasuk dalam bentuk ini.
2.      Perbuatan yang merupakan hak hamba secara murni, yaitu tindakan yang merupakan pembelaan terhadap kepentingan pribadi. Semuanya adalah hak manusia secara murni. Contohnya hak perdata yaitu yang menyangkut harta benda atau hak seperti utang dan kepemilikan.
3.      Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan had (hukuman) terhadap penuduh zina (qadzaf).
4.      Perbuatan yang di dalamnya bergabung padanya hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan. Umpamanya pelaksaan qishash (balasan) suatu pembunuhan.
Dapat tidaknya taklif itu dilakukan orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum terbagi menjadi tiga :
1.      Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif. Umpamanya shalat dan puasa.
2.      Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif. Umpamanya kewajiban zakat.
3.      Objek hukum yang pelaksanaanya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku taklif. Umpamanya kewajiban haji.

C.     Mahkum Alaih

Mahkum ‘Alaih atau mukallaf, yaitu orang-orang yang terkena beban taklif atau subjek hukum. Para pelaku setiap pekerjaan yang telah jelas hukumnya. Pelaku pekerjaan yang wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Dalam hukum islam orang yang terkena beban hukum adalah orang yang telah baligh dan berakal.[6]
Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana dirinya terdapat beberapa persyaratan:
1.    Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu disebabkan seseorang itu mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun, jika sampai umur lima belas tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.
2.    Mempunyai ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum islam, dan ia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini baru dimiliki seseorang secara sempurna bilamana ia baligh berakal dan bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan lain-lain. Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang baru dianggap sah disamping sudah baligh berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan untuk mengendalikan hartanya. Seseorang yang telah mencapai umur baligh berakal tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubazir, tidak dianggap cakap mengendalikan hartanya, dan oleh karena iu ia perlu dibimbing oleh penanggungjawabnya.[7]
Ada beberapa orang yang tidak layak menjadi mukallaf karena adanya sebab-sebab yang melekat pada dirinya sehingga menghalangi ia untuk melakukan beban taklif. Sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan lainnya yang menyebutkan:                     “Dari Aisyah dan Abi Thalib r.a. untuk keduanya, Rasulullah SAW. Telah bersabda, Diangkat pembebanan hukum untuk tiga jenis mukallaf, yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, anak kecil sehingga berakal atau dewasa, dan orang gila sehingga telah sembuh’.” (H.R. Imam Bukhari, Imam Tarmidzi, Ibnu Majah, Daruquthni, dan Nasa’i).
Dalam hadits lainnya dikemukakan:                                 
“Diangkat beban hukum atas orang yang salah, lupa, dan orang yang dalam keadaan terpaksa.” (H.R. Ibnu Madjah dan Thabrani).
Kemudian Allah berfirman dalam Q.S An-Nur aya 59, yang artinya:
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (Q.S. An-Nur:59).
Anak kecil yang telah mumayyiz, artinya telah memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, dan dalam transaksi yang biasa, dapat diberi kepercayaan, karena sesuatu yang dilakukannya dipandang sebagai hal yang tidak memberatkan. Syarat lain bolehnya mukallaf bertindak secara hukum atau mukallaf yang terkena beban taklif, adalah karena mukallaf yang bersangkutan telah cakap atau ahli di bidangnya.
Arti terminologis dari ahliyyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. Dengan demikian, ahliyyah diartikan sebagai kecakapan mukallaf secara aqliyah, dan kecakapan dilihat dari usia yang telah dewasa. Adapun untuk anak yang belum dewasa atau belum baligh tetapi telah mumayyiz, dipandang cakap karena kebiasaan dan untuk perbuatan yang ringan.[8]



[1] Suratno & Anang Zamroni, Mendalami Ushul Fikih (Surakarta: Aqila, 2006), hlm. 175.
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 68.
[3] Ibid, hlm. 175.
[4] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm 350-353
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenadamedia, 2008), hlm. 137.
[6] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 229.
[7] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 75-76.
[8] Beni Ahmad Saebani, Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 229-231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar