A. Pengertian
Hadits Dha’if
Secara bahasa dha’if
merupakan lawan dari kata qawi (kuat).
Sedangkan secara istilah hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat maqbul, atau hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih ataupun hadits hasan.[1]
Ada juga yang mengartikan hadits dhaif (lemah) ialah hadits yang sanadnya tidak
bersambung (dapat berupa mursal, mua’allaq,
mudallas, munqati’, atau mu’zhal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil
atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.[2]
Adapun menurut
Abu Syuhbah mengatakan bahwa jika suatu hadits yang tidak memenuhi di dalamnya
syarat-syarat hadits shahih dan hasan yang enam, maka
dikategorikan sebagai hadits dlaif. Sedang syarat-syarat tersebut
adalah: (1) Bersambungnya sanad, (2) adil-nya perawi, (3) selamat
dari banyak salah dan lupa (dlabith), (4) selamat dari syadz,
(5) selamat dari illat, dan (6) dari arah lain jika suatu hadits yang sanad
nya mastur, maka hadits tersebut tidak buruk, tidak banyak salah dan
tidak palsu.[3]
B.
Pembagian Hadits Dha’if
Hadis dha’if
bermacam-macam, dan kedha’ifannya bertingkat-tingkat, bergantung pada jumlah
yang menggugurkan syarat hadis shahih atau hadis hasan, baik mengenai rawi,
sanad, maupun matan.[4] Menurut
Muhammad Ibn Hibban mengatakan bahwa hadits dhai’if terdapat tiga ratus delapan
puluh satu macam bentuk. Adapun jika ditinjau dari kenyataannya ada empat puluh
Sembilan macam, hanya saja pembagian tersebut tidak diberi istilah-istilah
secara khusus.
Adapun Ajaj al-Khatib
membagi jenis-jenis hadits dha’if dalam
dua kategori yaitu : (1) hadits dha’if
disebabkan karena ketidak-muttashilan sanad
dan (2) hadits dha’if karena selain
ketidak-muttashilan sanad.
Hadits dha’if
yang disebabkan karena ketidak muttashilan
sanad adalah: Pertama, hadits mursal.
Menurut Jumhur Muhaditsin, hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan
oleh seorang tabi’in baik dia besar atau kecil dari Rasûlullah saw, baik berupa
perkataan, perbuatan dan maupun taqrir-nya. Akan tetapi sebagian ahli hadits
mengatakan bahwa hadits mursal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang
tabi’in besar saja dari Rasulullah saw, sedangkan yang dari thabi’in kecil
dikategorikan sebagai hadits munqathi’.
قال مالك عن جعفر بن محمد عن
أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشا هد
Di sini Muhammad bin Ali Zainul Abidin
tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara nabi dan bapaknya.
Kedua, hadits
munqathi’. Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam
sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau di dalamnya
disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang
perawi, ia sama dengan hadits mursal, hanya saja kalau hadits mursal
gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat. Sementara hadits munqathi’
tidak ada batasan gugurnya perawi pada tingkatan ke berapa, baik gugurnya di
awal, di tengah atau di akhir tetap disebut hadits munqathi’. Dengan
demikian hadits mursal dapat dimasukkan ke dalam hadits munqathi’
sebab gugurnya pada posisi di awal yakni pada tingkatan sahabat.
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى
عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حديفه مرفوعا إن وليتمو ها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang
sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah Al
Jundi bukan dari Syauri sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi
Ishaq, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits
munqathi'.
Ketiga, hadits
mu’dal. Hadits mu’dal adalah hadits yang sanadnya
gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Hadits ini sama bahkan
lebih rendah dari hadits munqathi’. Sama dari segi keburukan
kualitasnya, bila ke munqathi’an-nya lebih dari satu tempat. Adapun perbedaan
antara mu’dal dengan munqathi’ adalah kalau mu’dal sanadnya gugur
dua atau lebih secara berurutan, sedangkan pada munqathi’ sanadnya yang
gugur satu atau lebih tidak secara berurutan. Ibnu Shalah mengatakan bahwa
setiap hadits mu’dal itu termasuk munqathi’, akan tetapi tidak
setiap munqathi’ itu mu’dal.
يقال للر جل يوم القيا مة
عملت كذا وكذا فيقول لا فيحتم على فيه
Hadits ini
berasal dari Al Sakbi dari Anas dari Nabi, di sini Akmas tidak menyebutkan Anas
dan Nabi.
Keempat,
hadits mudallas. Secara etimologi kata tadlis berasal dari
akar kata al-dalas yang berarti al-dzulmah (kedzaliman). Tadlis
dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah
diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena memiliki kesamaan alasan,
yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya. Tadlis
terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Tadlis
al-Isnad
Tadlis al-Isnad
adalah seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan
sesuatu dari orang semasanya yang tidak pernah bertemu dengan orang lain, atau
pernah bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak pernah didengar dari orang
tersebut, dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung. Misalnya
dengan menyatakan: “Fulan berkata”, dari Fulan”, “Sesungguhnya Fulan melakukan
begini-begini” atau yang sejenis. Jenis tadlis al-isnad yang lebih buruk
lagi adalah jika ada seorang perawi mengugurkan gurunya atau guru dari gurunya
ataupun yang lain, dengan alasan ke-dha’if-an mereka atau karena masih
kecil atau karena alasan lain. Kemudian ia menggunakan kata yang mengandung
kemungkinan mendengar langsung dari gurunya untuk memperindah kualitas haditsnya,
dengan meratakan sanadnya. Sehingga seolah-olah ia bertemu langsung dengan para
perawi yang tsiqah. Jenis yang demikian ini disebut tadlis
al-taswiyah. Dan ini merupakan jenis tadlis yang terburuk karena
mengandung pengelabuhan yang sangat keterlaluan. Conthnya perawi mengatakan
"Telah berkata kepadaku", kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan
"al-Amasi..." umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia
mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenranya tidak.
2. Tadlis al-Syuyukh
Jenis ini lebih
ringan dari pada tadlis al-isnad, karena perawinya tidak sengaja
menggugurkan salah seorang dari sanad, dan tidak sengaja pula menyamarkan dan
tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung.
Perawinya hanya menyebut gurunya, memberi kunyah, nisbat ataupun sifat
yang tidak lazim dikenal. Contohnya seseorang mengatakan "Orang yang
sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat
hafalannya berkata kepadaku."
Kelima, hadits
Mu’allal, yakni hadits yang tersingkap di dalamnya illat
qadihah, meski lahiriyahnya tampak terbebas darinya. Artinya seolah-olah hadits
tersebut tergolong bebas dari cacat tetapi setelah diteliti secara mendalam
ternyata terdapat kecacatan pada sanadnya. Ajaj al-Khatib memasukkan hadits
dalam kategori ini ke dalam hadits dha’if dari segi kemuttashilan sanad,
karena kecacatan hadits bisa dari sanad, kadang pada matan, dan kadang juga
pada sanad dan matan sekaligus.
مثاله مارواه بقية عن يونس عن
الزهريعن سالم عن إبن عمر عن النبي صلى الله عليه وسالم قال من أدرك ركعة من صلاة
الجمعة فقد أدرك
Artinya
: "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari sholat jumat maka ia
mendapatkan sholatbitu secara sempurna."
Abu
Hatim Ar Razy berkata "Hadits ini terdapat kekwliruan dalam matan dan
sanadnya, sesungguhnya Az Zuhry menerima hadits itu dari Abi Salmah dari Abu
Hurairah daru Nabi Saw.
من أدرك ركعة من صلاة الجمعة
فقد أدركها
Adapun perkataannya dari "jumu'ati" setelah
perkataan "min shalatin" maka ini bukanlah termasuk hadits.
Adapun hadits dha’if
yang karena sebab lain dari ketidak muttashil-an sanad atau hal lain ada enam
jenis kategori, yaitu: Pertama, hadîts mudla’af, yakni hadits yang tidak
disepakati ke-dha’if-annya. Sebagian ahli hadits menilainya
mengandung kedlaifan, baik dari segi sanadnya maupun matannya, dan
sebagian ahli lain menilainya sebagi hadits yang kuat. Dengan demikian yang
tergolong hadits ini tidak ada kesepakatan atas ke-dla’if-annya dan
sebagian ahli hadits mengkategorikan sebagai hadits dha’if
yang derajatnya paling tinggi. Contohnya "Asal setiap penyakit adalah
dingin" riwayat Anas dengan sanad yang lemah.
Kedua, hadits
Mudltharib, yakni hadits yang diriwayatkan dengan beberapa
bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin di-tarjih-kan sebagiannya
atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Bila salah satunya
bisa ditarjihkan dengan salah satunya yang lain dengan alasan tarjih,
misalnya perawinya lebih hafid atau lebih sering bergaul dengan perawi
sebelumnya (gurunya), maka penilaiannya diberikan kepada yang rajih itu.
Dalam kondisi yang demikian tidak lagi dimasukkan dalam kategori yang mudltharib,
baik untuk yang rajih maupun yang marjuh. Kadang-kadang ke-mudltharib-an
terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi, kadang juga pada
sanad, kadang pada
matan dan kadang juga pada keduanya. Ke-mudltharib-an mengakibatkan
suatu hadits menjadi dha’if, karena menunjukkan ketidak dhabit-an adalah
syarat ke-shahîh-an dan ke-hasan-an
hadits.
Misalnya hadits
Abu bakr radhiyallahu 'anhu, ia berkata pada Rasulullah Saw, "Wahai
Rasulullah, saya melihat Anda telah beruban" kemudian Rasulullah berkata
"Surat Hud dan saudari-saudarinya telah membuat saya beruban." (HR.
At-Tirmidzi). Ad-Daraquthni berkata tentang hadits ini : "Hadits ini
mudhtharub, karena ia hanya diriwayatkan melalui jalur Abi Ishaq. Terjadi
perselisihan terhadap riwayatnya hingga mencapai sepuluh sisi perbedaaan. Ada
meriwayatkannya secara mursal ada juga yang meriwayatkannya secara mausul
(tersambung). Ada yang menjadikannya dari musnad Abu Bakr ada yang
menjadikannya dari musna Sa'ad ada yang menjafikannya dari musnad Aisyah dll.
Para periwayat hadits-hadits tersebut tsiqoh, tidak mungkin mentarjih salah
satunya. Memgkompromikannyapum.tidak memungkinkan.
Ketiga, hadits
Maqlub, yakni hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri
perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad
untuk matan lainnya. Pemutarbalikan itu adakalanya pada matannya, adakalanya
pada sanadnya yaitu terbaliknya nama perawi, kadang pula ada hadits yang
diriwayatkan melalui jalur perawi yang telah dikenal atau sanadnya telah
populer kemudian tertukar dengan perawi lain pada tingkatannya atau dengan
sanad lain yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Hammad bin Amr An-Nasibi (seoramg pendusta), dari
Al-A'masy, dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu' :
فإذا لقيتم المشر كين في
الطريق فلا تبد ءوهم بالسلام
"Jika
kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di suatu jalan maka janganlah kalian
memulai mengucapkan salam kepada mereka"
Hadits
ini adalah hadits maqlub karena Hammad membaliknya di mana dia menjadikan
hadits ini diriwayatkan dari Al-A'masy. Padahal sudah diketahui bersama bahwa
hadits ini ditiwayatkan dari Suhail bin Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu. Seperti inilah Imam Muslim meriwayatkannya dalam kitabnya.
Beliau meriwayatkannya dari Syu'bah, Ats-Tsauri, Jarir bin Abdul Hamid, dan
Abdul 'Aziz Ad-Daruwardi; kesemuanya dari Suhail. Pelaku perbuatan ini jika
melakukannya dengan sengaja, maka ia dijuluki "pencuri hadits".
Perbuatan ini terkadang dilakukan oleh perawi yang terpercaya karena keliru,
bukan karena kesengajaan sebagaimana yang dilakukan oleh perawi pendusta.
Keempat,
hadits Syadz. Sebagaimana kata Imam al-Syafi’i sang ulama’
yang memperkenalkan hadits syadz bahwa, hadits syadz tidaklah
merupakan hadits yang perawinya tsiqah meriwayatkan hadits yang
sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain, tetapi hadits syadz
adalah bila di antara sekian perawi tsiqah ada diantara mereka yang
menyimpang dari lainnya. Selanjutnya pengikut Imam al-Syafi’i sepakat dengan pengertian
tersebut. Dengan demikian kriteria syadz adalah tafarrud
(kesendirian perawinya) dan mukhalafah (penyimpangan). Seandainya ada
perawi yang berkualitas tsiqah melakukan penyendirian dalam periwayatan
suatu hadits tanpa melakukan penyimpangan dari yang lainnya, maka haditsnya shahih
bukan syadz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena
hafalannya atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjih
lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz, sedang yang marjuh
disebut syadz.
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, An Nasa'i
dan Ibnu Majah dari jalur Ibn Uyainah, dari Amr Ibnu Binar, dari Ausajah, dari
Ibn Abbas "Ada seseorang meninggal pada zaman Rasulullah Saw. dan tidak
meninggalkan warisan kecuali satu budaknya yang telah ia merdekakan."
Ibnu
Juraij dan yang lainnya juga meriwayatkan hadits ini secara mausul
(tersambung). Adapun Hammad bin Zaid meriwayatkan hadits ini dengan menyelisihi
mereka, dia meriwayatkan dari Amr bin Dinar dari Ausaja, dan tidak menyebutkan
Ibnu Abbas. Oleh karena itu, Abu Hatim menjelaskan "yang mahfuzh adalah
hadits Ibnu Uyainah". Hammad bin Zaid termasuk orang yang adil dan dhabit,
namun walaupun begitu Abu Hatim lebih menguatkan riwayat yang disebutkan oleh
rawi yang lain yang jumlahnya lebih banyak.
Kelima, hadits
Munkar, yakni hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if
yang berbeda dengan perawi-perawi lainnya yang tsiqah. Oleh karena itu
kriteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.
Seandainya ada seorang perawi dha’if melakukan penyendirian dalam
meriwayatkan suatu hadits, tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsiqah,
maka haditsnya tidak munkar, akan tetapi dla’if. Bila haditssnya
ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqah, maka yang rajih disebut
ma’ruf dan yang marjuh disebut munkar. Dalam hal ini
Ibnu Shalah menggolongkan hadits munkar ke dalam hadits syadz,
karena memiliki kesamaan kriteria, yakni tafarrud dan mukhalafah.
Hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan Ibnu
Majah, dari riwayat Abi Zukai Yahya bin Muhammad bin Qai'z, dari Hisyam.bin
Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra. secara marfu'. "Makanlah balah (kurma
mentah) dengan tamr (kurma matang) karena syaitan akan marah jika anak adam
memakannya." An-Nasa'i berkata "Ini hadits munkar Abu Zukaireriwayatkannya
secara sendirian. Dia seorang syaikh yang shalih. Imam Muslim meriwayatkannya
srbagai mutaba'at hanya saja ia tidak sampai pada derajat rawi yang dapat
meriwayatkan hadits secara sendirian.
Keenam, hadits
Matruk dan Matruh. hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang muttaham bi al-kidzbi (yang
tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawi, atau sering
berdusta dalam pembicaraannya, atau terlihat kefasikannya melalui perbuatan
maupun perkataannya, ataupun yang sering sekali salah dan lupa. Dan hadits ini
adalah tingkat hadits dha’if yang terendah derajatnya. Misalnya hadits
Sidqah al-Daqiqi dari Farqad dari Murrah dari Abi Bakr, dan hadits Amr ibn
Shamr dari Jabir al-Ja’fî dari Harits dan Ali. Sedangkan dalam hal hadits matruh,
al-Hafidz al-Dzahabi memasukkan sebagai suatu hadits tersendiri. Dengan
mengambil istilah tersebut dari term ulama’ Fulan Matruh al- hadits (seseorang
yang terlempar haditsnya). Ia mengatakan “seseorang yang demikian termasuk
dalam daftar hadits perawi dha’if lagi tertinggal haditsnya. Akan tetapi
al-Jazayri berpendapat bahwa yang demikian itu tidak lain adalah hadits matruk,
yakni yang diriwayatkan dengan menyendiri oleh perawi yang tertuduh dusta dalam
hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta selain dalam hadits.[5]
Hadits tentang
qadha' al hajat yang diruwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir Ibn Sa'id al
Asdi dari dhohak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم با صطنا ع
المعروف فانه يمنع مصارع السوء الخ
Menurut an Nada'i dan Duruqutni,
Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap haditsnya.
C.
Kehujjahan Hadits Dha’if
Telah diketahui bahwa hadîts semasa sebelum al-Tirmidzi
dibagi dalam dua kategori yakni: (1) hadits shahih yang di dalamnya
terkumpul syarat-syarat hadits shahih, dan (2) hadits dha’if yang
di dalamnya tidak terkumpul syarat-syarat hadits shahih, termasuk di
dalamnya hadits hasan atau hadits dha’if yang derajatnya naik
menjadi hadits hasan karena aspek banyaknya jumlah sanad dan jalan.
Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa yang mengenalkan pembagian hadits ke dalam shahih, hasan
dan dha’if adalah al-Tirmidzi, serta tidak dikenal pembagian semacam ini
sebelumnya. Telah diketahui kalau Imam Ahmad bin Hanbal sesunguhnya menggunakan
hadits dha’if sebagai hujjah setelah fatwa sahabat. Imam Ahmad
bin Hanbal sesungguhnya menerima riwayat dha’if jika tidak diketahui
kebohongan perawi dan tidak masyhur dhabith-nya tetapi mereka dikenal
kebaikannya seperti Ibn luhai’ah dan lainnya. Dengan demikian dha’if
dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal ini adalah hadits hasan atau hadits
dha’if yang naik derajatnya menjadi hadits hasan.
Adapun menurut
Ibnu Taymiyah dalam Minhaj al-Sunnah mengatakan “Jika aku mengatakan hadits
dha’if lebih baik dari pada pendapatku berarti yang dimaksud adalah bukan
hadits matruk (hadits yang salah satu rawimya tertuduh berdusta) tetapi hadits hasan.
Sebagaimana haditsnya Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.”
Adapun
kehujjahan hadits dha’if ada tiga pendapat yaitu: Pertama,
pendapat para ahli hadits yang besar seperti Imam Bukhari dan Imam
Muslim, yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara
mutlak. Baik dalam masalah fadla’il al-a’mal (keutamaan amal), ahkam (hukum), al-I’tibar (pengibaratan) maupun masalah
mawa’idz (agama). Perkara-perkara
agama tidak dapat didasarkan kecuali pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
saw yang shahih. Adapun hadits dha’if adalah hadits yang bukan shahih.
Pengambilan hadits dha’if dalam masalah agama berarti menambah
masalah-masalah syari’at yang tidak diketahui dasar ilmunya. Padahal ada
larangan dari Allah swt. yang tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak
didasarkan atas ilmunya (wala takfu ma laysa laka bihi ilm).
Kedua, hadits
dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Sebagaimana Imam al-Suyuthi
mengatakan bahwa Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad, keduanya berpendapat kalau hadits
dha’if lebih kuat dari pada ra’y (sumber) perorangan.
Ketiga, hadits
dha’if bisa digunakan dalam masalah fadla’il, mawa’idz atau yang
sejenis bila memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mensyaratkan hadits dha’if
yang dapat diamalkan adalah: (1) ke-dha’if-annya tidak terlalu, sehingga
tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta yang
melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering melakukan kesalahan; (2)
hadits dha’if tersebut masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa
diamalkan dan tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam; (3) ketika mengamalkannya
tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati;
(4) fadla’il dan yang sejenis seperti mawadz, al-targhib wa
al-tarhib bukan dalam masalah aqidah dan hukum.[6]
Adapun hadis dhaif, ada dua pendapat tentang boleh atau tidaknya
diamalkan, atau dijadikan hujjah, ialah, Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan
Abu Bakar ibnul Araby, menyatakan hadis dhaif sama sekali tidak boleh diamalkan
atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun
untuk keutamaan amal. Pendapat lainnya yang dipelopori oleh Imam Ahmad bin
Hambal, Abd Rahman bin Mahdi, Ibnu Hajar Al-Asqalany, menyatakan bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah (diamalkan), hanya untuk dasar
keutamaan amal (fadla’il amal), dengan syarat, para perawi yang meriwayatkan hadis itu tidak terlalu lemah. Masalah yang dikemukakan
hadis itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan
hadis shahih. Tidak bertentangan
dengan dalil yang lebih kuat.
Menurut Prof. T.M. Hasbi
yang mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan fadlai’iliul amal atau keutamaan amal dalam hal ini, bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hukum sunat, tetapi
dimaksudkan dalam arti untuk menjelaskan tentang faedah atau kegunaan dari
sesuatu amal. Adapun yang berhubungan dengan penetapan hukum, para ulama hadis
sepakat tidak membolehkan menggunakan hadis dhaif sebagai hujjah atau dalilnya.
Jadi memang sangat perlu untuk mengetahui kualitas suatu hadis, agar terhindar
dari pengamalan agama atau pengungkapan dalil agama yang berdasar pada hadis
dhaif.[7]
[1] Moh. Nasrudin, Pengantar Ilmu Hadits, (Pekalongan : PT.
Nasya Expanding Management, 2019), hlm. 57.
[2] Abdul Wahid dan Muhammad Zaini, Pengantar Ulumul Qur’an & Ulumul Hadis, (Banda
Aceh : Yayasan Pena Banda Aceh), hlm. 144.
[3] Abdul Rokhim, Hadits Dha’if dan Kehujjahannya, Telaah terhadap Kontroversi Penerapan Ulama’ sebagai Sumber Hukum, Vol . IV. No. 2 Desember 2009, hlm. 188.
[4] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2010), hlm. 124.
[6] Abdul Rokhim, Hadits Dha’if dan Kehujjahannya, Telaah terhadap Kontroversi Penerapan Ulama’ sebagai Sumber Hukum, Vol
. IV No. 2 Desember 2009, hlm. 193-195.
[7] Syamsuez Salihima, Historiografi Hadis Hasan Dan Dhaif, Jurnal Adabiyah Vol. X. Nomor 2/2010,
hlm. 217-218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar