Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF


KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF




A.    Pengertian Hadits Dha’if

Secara bahasa dha’if merupakan lawan dari kata qawi (kuat). Sedangkan secara istilah hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat maqbul, atau hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih ataupun hadits hasan.[1] Ada juga yang mengartikan hadits dhaif (lemah) ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mua’allaq, mudallas, munqati’, atau mu’zhal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.[2] 
Adapun menurut Abu Syuhbah mengatakan bahwa jika suatu hadits yang tidak memenuhi di dalamnya syarat-syarat hadits shahih dan hasan yang enam, maka dikategorikan sebagai hadits dlaif. Sedang syarat-syarat tersebut adalah: (1) Bersambungnya sanad, (2) adil-nya perawi, (3) selamat dari banyak salah dan lupa (dlabith), (4) selamat dari syadz, (5) selamat dari illat, dan (6) dari arah lain jika suatu hadits yang sanad nya mastur, maka hadits tersebut tidak buruk, tidak banyak salah dan tidak palsu.[3]

B.     Pembagian Hadits Dha’if

Hadis dha’if bermacam-macam, dan kedha’ifannya bertingkat-tingkat, bergantung pada jumlah yang menggugurkan syarat hadis shahih atau hadis hasan, baik mengenai rawi, sanad, maupun matan.[4] Menurut Muhammad Ibn Hibban mengatakan bahwa hadits dhai’if terdapat tiga ratus delapan puluh satu macam bentuk. Adapun jika ditinjau dari kenyataannya ada empat puluh Sembilan macam, hanya saja pembagian tersebut tidak diberi istilah-istilah secara khusus.
Adapun Ajaj al-Khatib membagi jenis-jenis hadits dha’if dalam dua kategori yaitu : (1) hadits dha’if disebabkan karena ketidak-muttashilan sanad dan (2) hadits dha’if karena selain ketidak-muttashilan sanad.
Hadits dha’if yang disebabkan karena ketidak muttashilan sanad adalah: Pertama, hadits mursal. Menurut Jumhur Muhaditsin, hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in baik dia besar atau kecil dari Rasûlullah saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan maupun taqrir-nya. Akan tetapi sebagian ahli hadits mengatakan bahwa hadits mursal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in besar saja dari Rasulullah saw, sedangkan yang dari thabi’in kecil dikategorikan sebagai hadits munqathi’.

قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشا هد
Di sini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara nabi dan bapaknya.
Kedua, hadits munqathi’. Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan hadits mursal, hanya saja kalau hadits mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat. Sementara hadits munqathi’ tidak ada batasan gugurnya perawi pada tingkatan ke berapa, baik gugurnya di awal, di tengah atau di akhir tetap disebut hadits munqathi’. Dengan demikian hadits mursal dapat dimasukkan ke dalam hadits munqathi’ sebab gugurnya pada posisi di awal yakni pada tingkatan sahabat.

ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حديفه مرفوعا إن وليتمو ها أبا بكر فقوى أمين                                             
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah Al Jundi bukan dari Syauri sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishaq, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits munqathi'.
Ketiga, hadits mu’dal. Hadits mu’dal adalah hadits yang sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Hadits ini sama bahkan lebih rendah dari hadits munqathi’. Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila ke munqathi’an-nya lebih dari satu tempat. Adapun perbedaan antara mu’dal dengan munqathi’ adalah kalau mu’dal sanadnya gugur dua atau lebih secara berurutan, sedangkan pada munqathi’ sanadnya yang gugur satu atau lebih tidak secara berurutan. Ibnu Shalah mengatakan bahwa setiap hadits mu’dal itu termasuk munqathi’, akan tetapi tidak setiap munqathi’ itu mu’dal.

يقال للر جل يوم القيا مة عملت كذا وكذا فيقول لا فيحتم على فيه             
Hadits ini berasal dari Al Sakbi dari Anas dari Nabi, di sini Akmas tidak menyebutkan Anas dan Nabi.
Keempat, hadits mudallas. Secara etimologi kata tadlis berasal dari akar kata al-dalas yang berarti al-dzulmah (kedzaliman). Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya. Tadlis terdiri dari dua jenis yaitu:



1.    Tadlis al-Isnad
Tadlis al-Isnad adalah seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu dari orang semasanya yang tidak pernah bertemu dengan orang lain, atau pernah bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak pernah didengar dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung. Misalnya dengan menyatakan: “Fulan berkata”, dari Fulan”, “Sesungguhnya Fulan melakukan begini-begini” atau yang sejenis. Jenis tadlis al-isnad yang lebih buruk lagi adalah jika ada seorang perawi mengugurkan gurunya atau guru dari gurunya ataupun yang lain, dengan alasan ke-dha’if-an mereka atau karena masih kecil atau karena alasan lain. Kemudian ia menggunakan kata yang mengandung kemungkinan mendengar langsung dari gurunya untuk memperindah kualitas haditsnya, dengan meratakan sanadnya. Sehingga seolah-olah ia bertemu langsung dengan para perawi yang tsiqah. Jenis yang demikian ini disebut tadlis al-taswiyah. Dan ini merupakan jenis tadlis yang terburuk karena mengandung pengelabuhan yang sangat keterlaluan. Conthnya perawi mengatakan "Telah berkata kepadaku", kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan "al-Amasi..." umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenranya tidak.
2. Tadlis al-Syuyukh
Jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad, karena perawinya tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad, dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawinya hanya menyebut gurunya, memberi kunyah, nisbat ataupun sifat yang tidak lazim dikenal. Contohnya seseorang mengatakan "Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafalannya berkata kepadaku."
Kelima, hadits Mu’allal, yakni hadits yang tersingkap di dalamnya illat qadihah, meski lahiriyahnya tampak terbebas darinya. Artinya seolah-olah hadits tersebut tergolong bebas dari cacat tetapi setelah diteliti secara mendalam ternyata terdapat kecacatan pada sanadnya. Ajaj al-Khatib memasukkan hadits dalam kategori ini ke dalam hadits dha’if dari segi kemuttashilan sanad, karena kecacatan hadits bisa dari sanad, kadang pada matan, dan kadang juga pada sanad dan matan sekaligus.

مثاله مارواه بقية عن يونس عن الزهريعن سالم عن إبن عمر عن النبي صلى الله عليه وسالم قال من أدرك ركعة من صلاة الجمعة فقد أدرك                   
Artinya : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari sholat jumat maka ia mendapatkan sholatbitu secara sempurna."
Abu Hatim Ar Razy berkata "Hadits ini terdapat kekwliruan dalam matan dan sanadnya, sesungguhnya Az Zuhry menerima hadits itu dari Abi Salmah dari Abu Hurairah daru Nabi Saw.

من أدرك ركعة من صلاة الجمعة فقد أدركها                                                
Adapun perkataannya dari "jumu'ati" setelah perkataan "min shalatin" maka ini bukanlah termasuk hadits.
Adapun hadits dha’if yang karena sebab lain dari ketidak muttashil-an sanad atau hal lain ada enam jenis kategori, yaitu: Pertama, hadîts mudla’af, yakni hadits yang tidak disepakati ke-dha’if-annya. Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedlaifan, baik dari segi sanadnya maupun matannya, dan sebagian ahli lain menilainya sebagi hadits yang kuat. Dengan demikian yang tergolong hadits ini tidak ada kesepakatan atas ke-dla’if-annya dan sebagian ahli hadits mengkategorikan sebagai hadits dha’if yang derajatnya paling tinggi. Contohnya "Asal setiap penyakit adalah dingin" riwayat Anas dengan sanad yang lemah.
Kedua, hadits Mudltharib, yakni hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin di-tarjih-kan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Bila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satunya yang lain dengan alasan tarjih, misalnya perawinya lebih hafid atau lebih sering bergaul dengan perawi sebelumnya (gurunya), maka penilaiannya diberikan kepada yang rajih itu. Dalam kondisi yang demikian tidak lagi dimasukkan dalam kategori yang mudltharib, baik untuk yang rajih maupun yang marjuh. Kadang-kadang ke-mudltharib-an terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi, kadang juga pada sanad, kadang pada matan dan kadang juga pada keduanya. Ke-mudltharib-an mengakibatkan suatu hadits menjadi dha’if, karena menunjukkan ketidak dhabit-an adalah syarat ke-shahîh-an dan ke-hasan-an hadits.
Misalnya hadits Abu bakr radhiyallahu 'anhu, ia berkata pada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah, saya melihat Anda telah beruban" kemudian Rasulullah berkata "Surat Hud dan saudari-saudarinya telah membuat saya beruban." (HR. At-Tirmidzi). Ad-Daraquthni berkata tentang hadits ini : "Hadits ini mudhtharub, karena ia hanya diriwayatkan melalui jalur Abi Ishaq. Terjadi perselisihan terhadap riwayatnya hingga mencapai sepuluh sisi perbedaaan. Ada meriwayatkannya secara mursal ada juga yang meriwayatkannya secara mausul (tersambung). Ada yang menjadikannya dari musnad Abu Bakr ada yang menjadikannya dari musna Sa'ad ada yang menjafikannya dari musnad Aisyah dll. Para periwayat hadits-hadits tersebut tsiqoh, tidak mungkin mentarjih salah satunya. Memgkompromikannyapum.tidak memungkinkan.
Ketiga, hadits Maqlub, yakni hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya. Pemutarbalikan itu adakalanya pada matannya, adakalanya pada sanadnya yaitu terbaliknya nama perawi, kadang pula ada hadits yang diriwayatkan melalui jalur perawi yang telah dikenal atau sanadnya telah populer kemudian tertukar dengan perawi lain pada tingkatannya atau dengan sanad lain yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hammad bin Amr An-Nasibi (seoramg pendusta), dari Al-A'masy, dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu' :

فإذا لقيتم المشر كين في الطريق فلا تبد ءوهم بالسلام      
"Jika kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di suatu jalan maka janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada mereka"
Hadits ini adalah hadits maqlub karena Hammad membaliknya di mana dia menjadikan hadits ini diriwayatkan dari Al-A'masy. Padahal sudah diketahui bersama bahwa hadits ini ditiwayatkan dari Suhail bin Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Seperti inilah Imam Muslim meriwayatkannya dalam kitabnya. Beliau meriwayatkannya dari Syu'bah, Ats-Tsauri, Jarir bin Abdul Hamid, dan Abdul 'Aziz Ad-Daruwardi; kesemuanya dari Suhail. Pelaku perbuatan ini jika melakukannya dengan sengaja, maka ia dijuluki "pencuri hadits". Perbuatan ini terkadang dilakukan oleh perawi yang terpercaya karena keliru, bukan karena kesengajaan sebagaimana yang dilakukan oleh perawi pendusta.
Keempat, hadits Syadz. Sebagaimana kata Imam al-Syafi’i sang ulama’ yang memperkenalkan hadits syadz bahwa, hadits syadz tidaklah merupakan hadits yang perawinya tsiqah meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain, tetapi hadits syadz adalah bila di antara sekian perawi tsiqah ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya. Selanjutnya pengikut Imam al-Syafi’i sepakat dengan pengertian tersebut. Dengan demikian kriteria syadz adalah tafarrud (kesendirian perawinya) dan mukhalafah (penyimpangan). Seandainya ada perawi yang berkualitas tsiqah melakukan penyendirian dalam periwayatan suatu hadits tanpa melakukan penyimpangan dari yang lainnya, maka haditsnya shahih bukan syadz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena hafalannya atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz, sedang yang marjuh disebut syadz.
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, An Nasa'i dan Ibnu Majah dari jalur Ibn Uyainah, dari Amr Ibnu Binar, dari Ausajah, dari Ibn Abbas "Ada seseorang meninggal pada zaman Rasulullah Saw. dan tidak meninggalkan warisan kecuali satu budaknya yang telah ia merdekakan."
Ibnu Juraij dan yang lainnya juga meriwayatkan hadits ini secara mausul (tersambung). Adapun Hammad bin Zaid meriwayatkan hadits ini dengan menyelisihi mereka, dia meriwayatkan dari Amr bin Dinar dari Ausaja, dan tidak menyebutkan Ibnu Abbas. Oleh karena itu, Abu Hatim menjelaskan "yang mahfuzh adalah hadits Ibnu Uyainah". Hammad bin Zaid termasuk orang yang adil dan dhabit, namun walaupun begitu Abu Hatim lebih menguatkan riwayat yang disebutkan oleh rawi yang lain yang jumlahnya lebih banyak.
Kelima, hadits Munkar, yakni hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang berbeda dengan perawi-perawi lainnya yang tsiqah. Oleh karena itu kriteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah. Seandainya ada seorang perawi dha’if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits, tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsiqah, maka haditsnya tidak munkar, akan tetapi dla’if. Bila haditssnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqah, maka yang rajih disebut ma’ruf dan yang marjuh disebut munkar. Dalam hal ini Ibnu Shalah menggolongkan hadits munkar ke dalam hadits syadz, karena memiliki kesamaan kriteria, yakni tafarrud dan mukhalafah.
Hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan Ibnu Majah, dari riwayat Abi Zukai Yahya bin Muhammad bin Qai'z, dari Hisyam.bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra. secara marfu'. "Makanlah balah (kurma mentah) dengan tamr (kurma matang) karena syaitan akan marah jika anak adam memakannya." An-Nasa'i berkata "Ini hadits munkar Abu Zukaireriwayatkannya secara sendirian. Dia seorang syaikh yang shalih. Imam Muslim meriwayatkannya srbagai mutaba'at hanya saja ia tidak sampai pada derajat rawi yang dapat meriwayatkan hadits secara sendirian.
Keenam, hadits Matruk dan Matruh. hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang muttaham bi al-kidzbi (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun perkataannya, ataupun yang sering sekali salah dan lupa. Dan hadits ini adalah tingkat hadits dha’if yang terendah derajatnya. Misalnya hadits Sidqah al-Daqiqi dari Farqad dari Murrah dari Abi Bakr, dan hadits Amr ibn Shamr dari Jabir al-Ja’fî dari Harits dan Ali. Sedangkan dalam hal hadits matruh, al-Hafidz al-Dzahabi memasukkan sebagai suatu hadits tersendiri. Dengan mengambil istilah tersebut dari term ulama’ Fulan Matruh al- hadits (seseorang yang terlempar haditsnya). Ia mengatakan “seseorang yang demikian termasuk dalam daftar hadits perawi dha’if lagi tertinggal haditsnya. Akan tetapi al-Jazayri berpendapat bahwa yang demikian itu tidak lain adalah hadits matruk, yakni yang diriwayatkan dengan menyendiri oleh perawi yang tertuduh dusta dalam hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta selain dalam hadits.[5]
Hadits tentang qadha' al hajat yang diruwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir Ibn Sa'id al Asdi dari dhohak dari Ibn 'Abbas.

قال النبي عليكم با صطنا ع المعروف فانه يمنع مصارع السوء   الخ      
Menurut an Nada'i dan Duruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap haditsnya.

C.     Kehujjahan Hadits Dha’if

Telah diketahui bahwa hadîts semasa sebelum al-Tirmidzi dibagi dalam dua kategori yakni: (1) hadits shahih yang di dalamnya terkumpul syarat-syarat hadits shahih, dan (2) hadits dha’if yang di dalamnya tidak terkumpul syarat-syarat hadits shahih, termasuk di dalamnya hadits hasan atau hadits dha’if yang derajatnya naik menjadi hadits hasan karena aspek banyaknya jumlah sanad dan jalan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang mengenalkan pembagian hadits ke dalam shahih, hasan dan dha’if adalah al-Tirmidzi, serta tidak dikenal pembagian semacam ini sebelumnya. Telah diketahui kalau Imam Ahmad bin Hanbal sesunguhnya menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah setelah fatwa sahabat. Imam Ahmad bin Hanbal sesungguhnya menerima riwayat dha’if jika tidak diketahui kebohongan perawi dan tidak masyhur dhabith-nya tetapi mereka dikenal kebaikannya seperti Ibn luhai’ah dan lainnya. Dengan demikian dha’if dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal ini adalah hadits hasan atau hadits dha’if yang naik derajatnya menjadi hadits hasan.
Adapun menurut Ibnu Taymiyah dalam Minhaj al-Sunnah mengatakan “Jika aku mengatakan hadits dha’if lebih baik dari pada pendapatku berarti yang dimaksud adalah bukan hadits matruk (hadits yang salah satu rawimya tertuduh berdusta) tetapi hadits hasan. Sebagaimana haditsnya Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.”
Adapun kehujjahan hadits dha’if ada tiga pendapat yaitu: Pertama, pendapat para ahli hadits yang besar seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak. Baik dalam masalah fadla’il al-a’mal (keutamaan amal), ahkam (hukum), al-I’tibar (pengibaratan) maupun masalah mawa’idz (agama). Perkara-perkara agama tidak dapat didasarkan kecuali pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw yang shahih. Adapun hadits dha’if adalah hadits yang bukan shahih. Pengambilan hadits dha’if dalam masalah agama berarti menambah masalah-masalah syari’at yang tidak diketahui dasar ilmunya. Padahal ada larangan dari Allah swt. yang tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak didasarkan atas ilmunya (wala takfu ma laysa laka bihi ilm).
Kedua, hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Sebagaimana Imam al-Suyuthi mengatakan bahwa Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad, keduanya berpendapat kalau hadits dha’if lebih kuat dari pada ra’y (sumber) perorangan.
Ketiga, hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadla’il, mawa’idz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mensyaratkan hadits dha’if yang dapat diamalkan adalah: (1) ke-dha’if-annya tidak terlalu, sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering melakukan kesalahan; (2) hadits dha’if tersebut masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan dan tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam; (3) ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa hadits itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati; (4) fadla’il dan yang sejenis seperti mawadz, al-targhib wa al-tarhib bukan dalam masalah aqidah dan hukum.[6]
Adapun hadis dhaif, ada dua pendapat tentang boleh atau tidaknya diamalkan, atau dijadikan hujjah, ialah, Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar ibnul Araby, menyatakan hadis dhaif sama sekali tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk keutamaan amal. Pendapat lainnya yang dipelopori oleh Imam Ahmad bin Hambal, Abd Rahman bin Mahdi, Ibnu Hajar Al-Asqalany, menyatakan bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah (diamalkan), hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’il amal), dengan syarat, para perawi yang meriwayatkan hadis itu tidak terlalu lemah. Masalah yang dikemukakan hadis itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis shahih. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Menurut Prof. T.M. Hasbi yang mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan fadlai’iliul amal atau keutamaan amal dalam hal ini, bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hukum sunat, tetapi dimaksudkan dalam arti untuk menjelaskan tentang faedah atau kegunaan dari sesuatu amal. Adapun yang berhubungan dengan penetapan hukum, para ulama hadis sepakat tidak membolehkan menggunakan hadis dhaif sebagai hujjah atau dalilnya. Jadi memang sangat perlu untuk mengetahui kualitas suatu hadis, agar terhindar dari pengamalan agama atau pengungkapan dalil agama yang berdasar pada hadis dhaif.[7]



[1] Moh. Nasrudin, Pengantar Ilmu Hadits, (Pekalongan : PT. Nasya Expanding Management, 2019), hlm. 57.
[2] Abdul Wahid dan Muhammad Zaini, Pengantar Ulumul Qur’an & Ulumul Hadis, (Banda Aceh : Yayasan Pena Banda Aceh), hlm. 144.
[3] Abdul Rokhim, Hadits Dha’if dan Kehujjahannya, Telaah terhadap Kontroversi Penerapan Ulama’ sebagai Sumber Hukum, Vol . IV. No. 2 Desember 2009, hlm. 188.
[4] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 124.

[6] Abdul Rokhim, Hadits Dha’if dan Kehujjahannya, Telaah terhadap Kontroversi Penerapan Ulama’ sebagai Sumber Hukum, Vol . IV No. 2 Desember 2009, hlm. 193-195.
[7] Syamsuez Salihima, Historiografi Hadis Hasan Dan Dhaif, Jurnal Adabiyah Vol. X. Nomor 2/2010, hlm. 217-218.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar