A.
PENDAHULUAN
Islam mulai masuk ke wilayah Persia sekitar abad ke tujuh,
yaitu pada masa
Kekhalifahan Umar Bin Khatab. Dengan memperkenalkan Islam, bangsa Arab
mengganti kepercayaan kuno Persia, Zoroaster. Masa kejayaan umat Islam sangat dirasakan pada masa kepemimpinan
Abbasiyah, yang pada saat itu
pusat pemerintahannya di Baghdad. Kaum muslimin kala itu menjadi pemimpin bagi peradaban dunia, terutama dalam hal
perkembangan ilmu pengetahuan
dan arsitektur.
Namun ketika politik umat Islam mulai mengalami kemunduran,
terutama akibat serangan pasukan Mongol di kota Baghdad pada tahun 1258 tidak hanya mengakhiri Khalifah Abbasiyah, namun juga
mengawali masa kemunduran
politik Islam secara drastis. Wilayah kekuasaannya sudah tercabik-cabik dalam kerajaan-kerajaan kecil yang
saling bermusuhan dan saling
memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol
tersebut. Kondisi tesebut jelas
memprihatinkan. Namun kondisi itu berubah dengan munculnya tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Shafawi, kerajaan
Mughal, serta kerajaan Turki Utsmani.
Berdirinya tiga kerajaan besar tersebut merupakan awal kebangkitan politik umat Islam.
Kerajaan Shafawi dipandang sebagai peletak dasar sejarah
kebangsaan Iran.
Kerajaan yang bermula dari gerakan tarekat keagamaan ini, berkonstribusi besar dalam mengisi peradaban Islam di
Persia, baik dalam bidang
politik, ekonomi, sosial-keagamaan, maupun seni dan budaya. Kemajuan-kemajuan
tersebut pada akhirnya mampu menjadikan kerajaan Shafawi sebagai kerajaan Islam yang adikuasa.
B.
PEMBAHASAN
1. Sejarah Ringkas Dinasti Safawiyah
Dinasti
Safawi di Persia berkuasa antara tahun
1520-1722 M, dinasti safawi merupakan Kerajaan Islam di Persia yang cukup
besar.
Awalnya kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil, yang merupakan sebuah kota di Azerbaijan, tarekat
ini dikenal dengan sebutan tarekat Safawi yang diambil dari nama pendirinya yaitu Shafi Ad-Din (1252 – 1334).
Awalnya kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil, yang merupakan sebuah kota di Azerbaijan, tarekat
ini dikenal dengan sebutan tarekat Safawi yang diambil dari nama pendirinya yaitu Shafi Ad-Din (1252 – 1334).
Ada dua
pendapat yang berbeda tentang asal-usul
dari nama Safawi, Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata Shafi yaitu gelar yang diberikan kepada
nenek moyang raja-raja Safawih, yaitu Shafi Ad-Din Ishak Al Ardabily (1225 – 1334), seorang pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah. Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis Eropa selalu menyebut raja-raja Safawiyah dengan gelar Shafi Agung. Adapun
P.M. Holt berpendapat bahwa
Safawiyah berasal dari kata Safi yaitu bagian dari nama Safi Ad-Din Al Ardabily.
Safawiyah berasal dari kata Safi yaitu bagian dari nama Safi Ad-Din Al Ardabily.
Sebelum
menjadi kerajaan, Safawi mengalami dua
fase pertumbuhan, fase pertama, di mana
Safawi bergerak di bidang keagamaan dan
fase kedua bergerak di bidang politik.[1]
Pada fase
pertama gerakan tarekat Safawi tidak
mencampuri masalah politik sehingga dia
berjalan dengan aman dan lancar baik pada masa
Ilkhan maupun pada masa penjarahan
Timur Lenk. Dan dalam fase ini gerakan
Safawi mempunyai dua corak, pertama
bernuansa Sunni yaitu pada masa pimpinan
Safiuddin Ishaq (1301 – 1344) dan anaknya
Sadruddin Musa (1344 – 1399), kedua berubah
menjadi Syiah pada masa Khawaja Ali
(1399 - 1427). Perubahan ini terjadi
karena ada kemungkinan bertambahnya pengikut
Safawi di kalangan Syiah sehingga kepemimpinannya
berusaha menyesuaikan diri dengan aliran
mayoritas pendukungnya.
Nama Safawi
itu terus dipertahankan sampai
tarekat ini menjadi gerakan politik. Kecenderungan memasuki dunia politik secara kongkrit tampak pada masa kepemimpinan Junaidi (1447 – 1460 M.). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasaan kegiatan ini
menimbulkan konflik antara Junaidi dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di
wilayah itu. Dalam konflik tersebut Junaidi kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diar Bakr, Ak. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku
bangsa Turki.
menimbulkan konflik antara Junaidi dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di
wilayah itu. Dalam konflik tersebut Junaidi kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diar Bakr, Ak. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku
bangsa Turki.
Kerajaan
Safawi secara resmi berdiri di Persia pada
1501 M/907, tatkala Syah Ismail memproklamasikan
dirinya sebagai raja atau syah di
Tabriz, dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah sebagai ideologi negara. Namun event sejarah yang penting ini tidaklah berdiri
sendiri. Peristiwa itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang yakni kurang lebih dua abad. Pada tahun 1501 M., pasukan Qizilbasy dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbasy terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya.[2]
sendiri. Peristiwa itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang yakni kurang lebih dua abad. Pada tahun 1501 M., pasukan Qizilbasy dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbasy terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya.[2]
Berikut
urutan penguasa kerajaan Safawi;
Isma'il I (1501 – 1524 M); Tahmasp I (1524 – 1576
M); Isma'il II (1576 – 1577 M); Muhammad
Khudabanda (1577 – 1587 M); Abbas I (1587
– 1628 M.); Safi Mirza (1628 – 1642 M);
Abbas II (1642 – 1667 M); Sulaiman
(1667-1694 M); Husein I (1694 – 1722 M.);
Tahmasp II (1722 - 1732 M); Abbas III
(1732 – 1736 M).
Kerajaan
Safawi mempunyai pola pemerintahan
yang theokratik, sebab para penguasa
bukan saja mengaku sebagai keturunan
Ali, namun juga mengklaim berstatus
sebagai titisan para Imam Syi’ah, bahkan Ismail
I mengaku sebagai penjelmaan Tuhan, sinar
ketuhanan dari imam yang tersembunyi,
dan imam Mahdi. Ia memakai gelar Bayangan Tuhan di Bumi, meniru
gelar yang dipakai oleh raja-raja Persia.
Dengan sistem theokraksi
ala Syi’ah tersebut, kemudian dipadukan
dengan sistem tarekat, kerajaan Safawi
memiliki kemudahan dalam melakukan konsulidasi
pemerintahan. Akan tetapi, dengan sistem itu
pula ia menghadapi persoalan yang cukup
krusial.[3]
Kerajaan
Safawi (1503-1722 M) mengalami penjajahan oleh kerajaan muslim bernama Turki
Usmani. Hal ini terjadi saat Kerajaan Safawi mengalami kemunduran yang
disebabkan oleh : sikap hedonis para penguasa dan pemimpin yang tidak memiliki
kompeten. Kemunduran kerajaan ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Turki
Usmani untuk melakukan penjajahan.[4]
2.
Kemajuan
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Syafawiyah
a.
Bidang
Politik dan Pemerintahan
1)
Terwujudnya
integritas wilayah negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata
yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu
memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
2)
Memiliki
angkatan bersenjata yang kuat, besar, dan modern.
3)
Mampu
mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan
berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada
masa sebelumnya.
b.
Bidang
Ekonomi
Mengalami
kemajuan di bidang industri dan perdagangan, terutama setelah kepulauan Hurmuz
dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Selain itu, Dinasti Syafawi
juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur.
c.
Bidang
Arsitektur Banguan dan Seni
Menjadikan
Isfahan menjadi kota kerajaan yang indah yang memiliki bangunan-bangaunan besar
dan megah, seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zeyandeh Rudd
dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata
yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid,
48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Di
bidang seni, kemajuan yang sangat signifikan bisa disaksikan dalam gaya
arsitektur bangunan-bangunan, seperti pada Masjid Shah yang dibangun tahun 1611
M dan Masjid Syaikh Lutfullah yang dibangun tahun 1603 M.[5]
3. Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada
Masa Dinasti Safawiyah
Sejalan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran Islam ini, doktrin
keagamaan metafisika Syiah dapat dijumpai dalam karya tulis yang disumbangkan
oleh pemikir besar seperti Mir Damad, Baha’ al-Din al-Amili, salah seorang Syi’i
dari Jabal Amil di Lebanon yang dating ke Persia, dan Sadr al-Din al-Syirazi
yang lebih populer dengan nama Mulla Sadra, seorang teosof besar dan filosof muslim
yang telah memadukan konsep antara teori Ibnu Arabi, Al-Suhrawardi, Ibnu Sina, dan
Nashir al-Din al-Thusi ke dalam perspektif Syiah. Dan semenjak itulah
pemikiran-pemikiran Syiah terus berkembang di Persia, Irak, Lebanon dan di
beberapa daerah di India, dan bisa pula ke wilayah yang lebih dari itu. Dalam
kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan ini, kerajaan Syafawiyahlah yang
paling maju dibanding dengan kerajaan-kerajaan lain di masanya.[6]
Sumber lain
menyebutkan bahwa sekolah dan lembaga pendidikan tersebut, sebagian besar
didirikan atas inisiatif (perintah) para kerabat kerajaan. Beberapa di
antaranya adalah Dilaram Khanum (nenek dari Syah Abbas II) yang mendirikan
madrasah yang disebut small grandmother (nenek kecil) pada tahun
1645-1946, dan madrasah (large grandmother) pada tahun 1647-1648. Kedua
madrasah ini diwakafkan sebagai dedikasinya pada dunia pendidikan. Setelah itu
terdapat pula putri Syah Safi, yakni Maryam
Begum yang mendirikan madrasah pada tahun 1703-1704 M. Selanjutnya Shahr
Banu, adik perempuan Syah Husain mendirikan madrasah bagi para pangeran pada
tahun 1694-1722 M.[7]
C. PENUTUP
Lahirnya Dinasti Safawi merupakan kebangkitan dari
kejayaan Islam yang pernah runtuh beberapa abad pada masa khalifah Abbasiyah di
Bagdad. Banyak kemajuan peradaban di berbagai bidang yang telah diraih pada
masa Dinasti Syafawi ini, seperti bidang politik dan pemerintahan, bidang
ekonomi, bidang arsitektur bangunan dan seni, dan bidang ilmu pengetahuan,
filsafat, dan sains. Perkembangan dan pertumbuhan pendidikan pada masa ini di
tandai dengan munculnya ilmuwan yang selalu hadir di majelis istana, seperti :
Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi, dan Muhammad Baqir bin
Muhammad Damad. Selain itu, dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti Syafawi
lebih unggul daripada Kerajaan Mughal dan Turki Utsmani.
[1] Seri Muliyani, Sejarah dan
Peradaban Islam Dinasti Safawi di Persia, AL-MANBA,
Jurnal STAI Al-Ma’arif Buntok Vol.VII-No.13 Januari-Juni 2018, hlm. 93.
[4] Muhammad Amin, Kemunduran dan
Kehancuran Dinasti Abbasiyah serta Dampaknya terhadap Dunia Islam Kontemporer, Jurnal
el-Hekam, Vol. I, No. 1, Januari-Juli 2016, hlm. 97.
[5] Abdul Syukur al-Azizi, Kitab
Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta : Saufa, 2014), hlm. 378-379.
[6] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban
Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 232-233.
[7] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta :
Kencana Prenamedia Group, 2014), hlm. 216.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar