Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DINASTI SAFAWIYAH


SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DINASTI SAFAWIYAH



A.    PENDAHULUAN
Islam mulai masuk ke wilayah Persia sekitar abad ke tujuh, yaitu pada masa Kekhalifahan Umar Bin Khatab. Dengan memperkenalkan Islam, bangsa Arab mengganti kepercayaan kuno Persia, Zoroaster. Masa kejayaan umat Islam sangat dirasakan pada masa kepemimpinan Abbasiyah, yang pada saat itu pusat pemerintahannya di Baghdad. Kaum muslimin kala itu menjadi pemimpin bagi peradaban dunia, terutama dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan arsitektur.
Namun ketika politik umat Islam mulai mengalami kemunduran, terutama akibat serangan pasukan Mongol di kota Baghdad pada tahun 1258 tidak hanya mengakhiri Khalifah Abbasiyah, namun juga mengawali masa kemunduran politik Islam secara drastis. Wilayah kekuasaannya sudah tercabik-cabik dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol tersebut. Kondisi tesebut jelas memprihatinkan. Namun kondisi itu berubah dengan munculnya tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Shafawi, kerajaan Mughal, serta kerajaan Turki Utsmani. Berdirinya tiga kerajaan besar tersebut merupakan awal kebangkitan politik umat Islam.
Kerajaan Shafawi dipandang sebagai peletak dasar sejarah kebangsaan Iran. Kerajaan yang bermula dari gerakan tarekat keagamaan ini, berkonstribusi besar dalam mengisi peradaban Islam di Persia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-keagamaan, maupun seni dan budaya. Kemajuan-kemajuan tersebut pada akhirnya mampu menjadikan kerajaan Shafawi sebagai kerajaan Islam yang adikuasa.






B.     PEMBAHASAN
1.      Sejarah Ringkas Dinasti Safawiyah
Dinasti Safawi di Persia berkuasa antara tahun 1520-1722 M, dinasti safawi merupakan Kerajaan Islam di Persia yang cukup besar.
Awalnya kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil, yang merupakan sebuah kota di Azerbaijan, tarekat
ini dikenal dengan sebutan tarekat Safawi yang diambil dari nama pendirinya yaitu Shafi Ad-Din (1252 – 1334).
Ada dua pendapat yang berbeda tentang asal-usul dari nama Safawi, Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata Shafi yaitu gelar yang diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawih, yaitu Shafi Ad-Din Ishak Al Ardabily (1225 – 1334), seorang pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah. Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis Eropa selalu menyebut raja-raja Safawiyah dengan gelar Shafi Agung. Adapun P.M. Holt berpendapat bahwa
Safawiyah berasal dari kata Safi yaitu bagian dari nama Safi Ad-Din Al Ardabily.
Sebelum menjadi kerajaan, Safawi mengalami dua fase pertumbuhan, fase pertama, di mana Safawi bergerak di bidang keagamaan dan fase kedua bergerak di bidang politik.[1]
Pada fase pertama gerakan tarekat Safawi tidak mencampuri masalah politik sehingga dia berjalan dengan aman dan lancar baik pada masa Ilkhan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk. Dan dalam fase ini gerakan Safawi mempunyai dua corak, pertama bernuansa Sunni yaitu pada masa pimpinan Safiuddin Ishaq (1301 – 1344) dan anaknya Sadruddin Musa (1344 – 1399), kedua berubah menjadi Syiah pada masa Khawaja Ali (1399 - 1427). Perubahan ini terjadi karena ada kemungkinan bertambahnya pengikut Safawi di kalangan Syiah sehingga kepemimpinannya berusaha menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas pendukungnya.
Nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Kecenderungan memasuki dunia politik secara kongkrit tampak pada masa kepemimpinan Junaidi (1447 – 1460 M.). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasaan kegiatan ini
menimbulkan konflik antara Junaidi dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di
wilayah itu. Dalam konflik tersebut Junaidi kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diar Bakr, Ak. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku
bangsa Turki.
Kerajaan Safawi secara resmi berdiri di Persia pada 1501 M/907, tatkala Syah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja atau syah di Tabriz, dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah sebagai ideologi negara. Namun event sejarah yang penting ini tidaklah berdiri
sendiri. Peristiwa itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang yakni kurang lebih dua abad. Pada tahun 1501 M., pasukan Qizilbasy dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbasy terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya.[2]
Berikut urutan penguasa kerajaan Safawi; Isma'il I (1501 – 1524 M); Tahmasp I (1524 – 1576 M); Isma'il II (1576 – 1577 M); Muhammad Khudabanda (1577 – 1587 M); Abbas I (1587 – 1628 M.); Safi Mirza (1628 – 1642 M); Abbas II (1642 – 1667 M); Sulaiman (1667-1694 M); Husein I (1694 – 1722 M.); Tahmasp II (1722 - 1732 M); Abbas III (1732 – 1736 M).
Kerajaan Safawi mempunyai pola pemerintahan yang theokratik, sebab para penguasa bukan saja mengaku sebagai keturunan Ali, namun juga mengklaim berstatus sebagai titisan para Imam Syi’ah, bahkan Ismail I mengaku sebagai penjelmaan Tuhan, sinar ketuhanan dari imam yang tersembunyi, dan imam Mahdi. Ia memakai gelar Bayangan Tuhan di Bumi, meniru gelar yang dipakai oleh raja-raja Persia. Dengan sistem theokraksi ala Syi’ah tersebut, kemudian dipadukan dengan sistem tarekat, kerajaan Safawi memiliki kemudahan dalam melakukan konsulidasi pemerintahan. Akan tetapi, dengan sistem itu pula ia menghadapi persoalan yang cukup krusial.[3]
Kerajaan Safawi (1503-1722 M) mengalami penjajahan oleh kerajaan muslim bernama Turki Usmani. Hal ini terjadi saat Kerajaan Safawi mengalami kemunduran yang disebabkan oleh : sikap hedonis para penguasa dan pemimpin yang tidak memiliki kompeten. Kemunduran kerajaan ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Turki Usmani untuk melakukan penjajahan.[4]
2.      Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Dinasti Syafawiyah
a.       Bidang Politik dan Pemerintahan
1)      Terwujudnya integritas wilayah negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
2)      Memiliki angkatan bersenjata yang kuat, besar, dan modern.
3)      Mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
b.      Bidang Ekonomi
Mengalami kemajuan di bidang industri dan perdagangan, terutama setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Selain itu, Dinasti Syafawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur.

c.       Bidang Arsitektur Banguan dan Seni
Menjadikan Isfahan menjadi kota kerajaan yang indah yang memiliki bangunan-bangaunan besar dan megah, seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zeyandeh Rudd dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
            Di bidang seni, kemajuan yang sangat signifikan bisa disaksikan dalam gaya arsitektur bangunan-bangunan, seperti pada Masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan Masjid Syaikh Lutfullah yang dibangun tahun 1603 M.[5]
3.      Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Safawiyah
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran Islam ini, doktrin keagamaan metafisika Syiah dapat dijumpai dalam karya tulis yang disumbangkan oleh pemikir besar seperti Mir Damad, Baha’ al-Din al-Amili, salah seorang Syi’i dari Jabal Amil di Lebanon yang dating ke Persia, dan Sadr al-Din al-Syirazi yang lebih populer dengan nama Mulla Sadra, seorang teosof besar dan filosof muslim yang telah memadukan konsep antara teori Ibnu Arabi, Al-Suhrawardi, Ibnu Sina, dan Nashir al-Din al-Thusi ke dalam perspektif Syiah. Dan semenjak itulah pemikiran-pemikiran Syiah terus berkembang di Persia, Irak, Lebanon dan di beberapa daerah di India, dan bisa pula ke wilayah yang lebih dari itu. Dalam kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan ini, kerajaan Syafawiyahlah yang paling maju dibanding dengan kerajaan-kerajaan lain di masanya.[6]
Sumber lain menyebutkan bahwa sekolah dan lembaga pendidikan tersebut, sebagian besar didirikan atas inisiatif (perintah) para kerabat kerajaan. Beberapa di antaranya adalah Dilaram Khanum (nenek dari Syah Abbas II) yang mendirikan madrasah yang disebut small grandmother (nenek kecil) pada tahun 1645-1946, dan madrasah (large grandmother) pada tahun 1647-1648. Kedua madrasah ini diwakafkan sebagai dedikasinya pada dunia pendidikan. Setelah itu terdapat pula putri Syah Safi, yakni Maryam  Begum yang mendirikan madrasah pada tahun 1703-1704 M. Selanjutnya Shahr Banu, adik perempuan Syah Husain mendirikan madrasah bagi para pangeran pada tahun 1694-1722 M.[7] 



C.    PENUTUP

Lahirnya Dinasti Safawi merupakan kebangkitan dari kejayaan Islam yang pernah runtuh beberapa abad pada masa khalifah Abbasiyah di Bagdad. Banyak kemajuan peradaban di berbagai bidang yang telah diraih pada masa Dinasti Syafawi ini, seperti bidang politik dan pemerintahan, bidang ekonomi, bidang arsitektur bangunan dan seni, dan bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan sains. Perkembangan dan pertumbuhan pendidikan pada masa ini di tandai dengan munculnya ilmuwan yang selalu hadir di majelis istana, seperti : Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi, dan Muhammad Baqir bin Muhammad Damad. Selain itu, dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti Syafawi lebih unggul daripada Kerajaan Mughal dan Turki Utsmani.



[1] Seri Muliyani, Sejarah dan Peradaban Islam Dinasti Safawi di Persia, AL-MANBA, Jurnal STAI Al-Ma’arif Buntok Vol.VII-No.13 Januari-Juni 2018,  hlm. 93.
[2] Seri Muliyani, Ibid. hlm. 94.
[3] Seri Muliyani, Ibid. hlm. 95.
[4] Muhammad Amin, Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah serta Dampaknya terhadap Dunia Islam Kontemporer, Jurnal el-Hekam, Vol. I, No. 1, Januari-Juli 2016, hlm. 97.
[5] Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta : Saufa, 2014), hlm. 378-379.
[6] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 232-233.
[7] Abuddin Nata,  Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenamedia Group, 2014), hlm. 216.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar