Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA PADA MASA ANAK


PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA PADA MASA ANAK



A.    Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan tidak adanya perhatian terhadap Tuhan, ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.[1]
Menurut Zakiah, masa pertumbuhan pertama (masa anak-anak) terjadi pada usia 0-12 tahun. Bahkan, lebih dari itu menurutnya sejak masa kandunganpun, kondisi dan sikap orang tua telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan anaknya, meskipun sebagian ahli berpendapat bahwa ketika anak dilahirkan, ia bukanlah makhluk yang religius.[2]
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, manusia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat ‘laten’. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini. Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai prinsip yang dimilikinya.

1.    Prinsip biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instingtif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2.    Prinsip Tanpa Daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya.
3.    Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani ataupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaniah baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.
Timbulnya agama pada anak menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, ada pula yang berpendapat sebaliknya,  bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan  pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan. Beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak, antara lain:
1.      Rasa Ketergantungan (Sense of Depend) 
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognation).
2.      Insting Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya  tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting kematangan yang belum sempurna.

B.     Perkembangan Agama pada Anak

Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama) dan semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.[3]
Perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase, yaitu :
1.      The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia (3-6 tahun). Pada tingkatan ini konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
Di masa ini anak belum memiliki objek atas sesuatu agama maupun Tuhan. Namun jiwa agama berkembang dengan simbol berbagai pertanyaan yang diajukannya, mulai dari hal yang konkret hingga yang abstrak. Seperti : siapa yang punya alam ini?[4]
2.      The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar (SD) hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari oramg dewasa lainnya.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan terbagai atas tiga golongan yaitu :
a.    Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh-pengaruh luar.
b.    Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c.    Konsep ketuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam mengahayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.


C.     Sifat-Sifat Agama pada Anak

1.      Unreflective (Tidak Mendalam)
     Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ketuhanan pada diri anak, 73% mereka menganggap tuhan bersifat seperti manusia. dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian tanggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang  mereka terima tidak mendalam, sehingga diterima sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang terkadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu :
a.       Suatu peristiwa, seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa tuhan selalu mengabulkan permintaan dari hamba-Nya. Kebetulan seorang anak lalu didepan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut. Sekembalinya ke rumah, ia langsung berdoa kepada tuhan untuk apa yang diinginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka ia ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tidak boleh seseorang memaksakan tuhan untuk mengabulkan  barang yang diinginkannya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan, “mengapa?”.
b.      Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakkan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud, maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi.
Dua contoh di atas menunjukkan bahwa anak itu sudah menunjukkan pemikiran yang kritis, walaupun bersifat sederhana. Menurut penelitian pikiran kritis baru timbul diusia 12  tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut, bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang korektif. Di sini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat konkret.[5]
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya
3.      Anthromorphis
Anthromorphis pada umumnya, konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
Surga terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai.
4.      Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata, kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan  dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka.
5.      Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru, misalnya berdoa dan salat. Anak melaksanakan hal tersebut karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Sifat peniru ini merupakan modal positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.      Rasa heran/kagum (Numinous)
Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, rasa kagum pada anak belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka cenderung kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah awal bagi kebutuhan anak akan terdorongnya mengenal sesuatu yang baru (New Experience). Rasa kagum anak dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub
7.      Eksperimentasi, Inisiatif, Spontanitas
Anak mulai mendengar nama Tuhan disebut orang tua atau orang lain dalam keluarganya. Kata Tuhan yang pada mulanya mungkin tidak menjadi perhatiannya, tetapi lama kelamaan akan menjadi perhatiannya dan ia akan ikut mengucapkannya setelah ia mendengar kata Tuhan itu berulangkali dalam berbagai keadaan, tempat dan situasi, apalagi ia melihat mimik muka yang membayangkan kesungguh-sungguhan, ketika kata itu diucapkan, maka perhatiannya akan bertambah, yang lama kelamaan menimbulkan pertanyaan dalam hatinya, siapa Tuhan itu? Karena itu maka anak pada umur 3 - 4 tahun telah mulai menanyakan kepada orang tuanya siapa Tuhan itu? Bersamaan dengan dunia anak yang cepat meluas melampaui lingkaran keluarga, unsur-unsur baru yang berkenan dengan masalah perpisahan mulai muncul. Umur 4, 5, dan 6 tahun merupakan tahun kritis berani pergi keluar, mengambil inisiatif menampilkan diri di tempat umum di mana teman sepermainan dan orang-orang dewasa di luar orang tua juga menyatakan atau menganggap sebagai milik.[6]



[1] Ratnawati, Memahami Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak dan Remaja, Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 1, No. 01, 2016, hlm. 22.
[2] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agam ,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 47
[3] Andree Triono Kurniawan, Perkembangan Jiwa Agama pada Anak, PGMI STAIN Jurai Siwo Metro, Vol. I, Edisi 1 Januari 2015, hlm. 73.
[4] Rusmin Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2014),hlm. 88
[5] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGravindo Persada, 2010), hlm. 71.
[6] Andree Triono Kurniawan, Perkembangan Jiwa Agama pada Anak, PGMI STAIN Jurai Siwo Metro, Vol. I, Edisi 1 Januari 2015, hlm. 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar