Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Selasa, 03 Desember 2019

PENGERTIAN PENDIDIKAN DAN ILMU PENDIDIKAN, FAKTOR, DAN JENIS-JENIS PENDIDIKAn



PENGERTIAN PENDIDIKAN DAN ILMU PENDIDIKAN, FAKTOR, DAN JENIS-JENIS PENDIDIKAN

A.    Pengertian Pendidikan
Secara etimologis kata “pendidikan” berasal dari kata dasar “didik” yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran pe-an. Kata “pendidikan” berubah manjadi kata kerja “mendidik” yang berarti membantu anak untuk menguasai aneka pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakatnya. Istilah ini pertama kali muncul dengan bahasa Yunani yaitu “paedagogiek” yang berarti ilmu menuntun anak, dan “paedagogia” adalah pergaulan dengan anak-anak, sedangkan orangnya yang menuntun/mendidik anak adalah “paedagog”. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa ketika dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan potensi anak. Dalam bahasa Inggris dikenal education (kata benda) dan educate (kata kerja) yang berarti mendidik.
Dalam kamus bahasa Inggris, Oxford Learner’s Pocket Dictionary kata pendidikan diartikan sebagai pelatihan dan pembelajaran. (Education is training and instruction). Sedangkan dalam KBBI, pendidikan diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan. Sedangkan dalam terminologi jawa dikenal dengan istilah “penggulawentah” yang berarti pengolahan, penjagaan, dan pengasuhan baik fisik maupun kejiwaan anak. [1] Pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang utama. [2]
Dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserra didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa ,dan negara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi individu demi tercapainya kesejahteraan pribadi, masyarakat dan negara. [3]
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam makna yang lebih luas, ungkapan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan juga dapat di definisikan sebagai penuntun, pembimbing, dan petunjuk arah bagi para peserta didik agar mereka dapat tumbuh menjadi dewasa sesuai dengan potensi dan konsep diri yang tertanam dalam diri sebenarnya.[4]
B.     Pengertian Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan atau paedagogiek, berasal dari Kata bahasa Yunani pedagogues, dan dalam bahasa Latin paedagogus, yang berarti pemuda yang bertugas mengantar anak ke sekolah serta menjaga anak itu untuk bertingkah laku susila dan berdisiplin. Istilah itu lalu digunakan untuk pendidik (pedagog) dan kemudian berkembang menjadi pedagogi perbuatan mendidik, paedagogiek untuk i1mu pendidikan. Ada beberapa definisi tentang i1mu pendidikan:
1.      Prof. DR. M.J. Langeveld: Pedagogik atau i1mu pendidikan ialah suatu i1mu yang bukan saja menelaah obyeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki obyek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak (Langeveld, 1971: pasal 1).
2.      Prof. Brodjonegoro dan Drs. Soetedjo: Ilmu pendidikan atau pedagogik adalah teorI pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti yang luas pedagogik adalah i1mu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktek pendidikan.
3.      DR. Sutari Imam Barnadib: "ilmu pendidikan mempelajari suasana dan proses-proses pendidikan".
4.      Prof. DR. N. Driyarkara: "ilmu pendidikan adaIah pemikiran tentang iImiah realitas yang kita sebut pendidikan (mendidik dan dididik)".
Melihat dari beberapa definisi di atas, jelaslah bahwa iImu pendidikan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dad makna pendidikan. Oleh karena itu pula, ilmu pendidikan dapat diartikan sebagai ilmu tentang pendidikan. Langeveld misalnya menyebur iImu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang praktis karena ilmu itu membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia secara khusus, yaitu perbuatan mendidik, meskipun di dalamnya terdapat banyak pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat teoretis.
Pedagogik Teoretis dan Pedagogik Praktis
Ilmu pendidikan (pedagogik) merupakan ilmu pengetahuan terapan (praktis) mengenai perbuatan manusia, mendidik dan dididik, dan mempunyai dua segi: teoretis dan praktis Oleh karena itu, dibedakan menjadi pedagogik teoretis dan pedagogik praktis. Pedagodik teoretis tertuju pada penyusunan persoalan dan pengetahuan sekitar pendidikan secara ilmiah, bergerak dari praktek ke penyusunan teod dan penyusunan sistem pendidikan; dalam hal ini latar belakang filsafat pun termasuk dalam pendidikan teoretis. Pedagogik teoretis mendorong orang untuk melakukan perbuatan mendidik sebaik mungkin, demi keberhasilan dan kemajuan pendidikan. 
Dengan demikian, antara pendidik dan peserta didik harus aktif belajar; yaitu menyadari benar segala perbuatannya, mengetahui dengan tepat apa yang diinginkan, dan tujuan apa yang mau dicapai dengan pendidikan serta kegiatan belajar mengajar.
Langeveld menyebut iImu· mendidik teoretis sebagai iImu pengetahuan praktis normatif. Sebab, pada pedagogic teoretis momen-momen normatif dan nilai etis tidak bisa dilepaskan dari momen praktis. Jadi, ada pengerahan pada tujuan-tujuan yang etis, bagaimana pendidikan itu seharusnya dilakukan, dan apa yang ingin dicapainya.
Berkaitan dengan uraian di a tas, pengertian manusia sebagai animal educandum itu mencakup perbuatan humanisasi, yakni. upaya menjadikan anak didik manusia, paripuma dan berbudaya. Oleh sebab itulah, maka perbuatan mendidik dan pedagogik teoretis itu sifatnya kreatif dan normatif.
Karena menyangkut upaya membangun pribadi anak manusia sesuai dengan norma dan ideal tertentu, maka. Pedagogic teoretis juga disebut sebagai antropologi praktis nbrmatif; yakni ajaran mengenai manusia yang secara rasional dan sistematis memberikan wawasan mengenai perilaku pendidikan dan anak didik dalam proses pendidikan; dan bagaimana seharusnya pendidikan itu dilakukan, mengikuti norma-norma tertentu.
Pedagogik praktis tertuju pada cara-cara bertindak, bergerak dalam situasi pendidikan tertuju pada pelaksanaan realisasi cita-cita (ideal) yang telah tersusun dalam pedagogic teoretis. Dalam hal ini teori mendahului praktek.
Ilmu pendidikan tidaklah hanya tertuju pada kajian teoretis, atau hanya melakukan kegiatan ilmiah teoretis, tetapi juga berupaya melakukan perbaikan dan pengembangan praktek-praktek pendidikan, terutama yang berkenaan dengan praktek-praktek pendidikan formal, yaitu praktek-praktek pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah. Praktek-praktek pendidikan dan pengajaran mencakup perencanaan, pelaksanaan kurikulum, supervisi dan evaluasi, selanjutnya pengembangan kurikulum tentulah tid'ak lepas dari konsep-konsep mendasar mengenai apa pendidikan itu. Proses berlangsungnya belajar mengajar, tentu tidak dapat mengabaikan konsepkonsep dasar pendidikan. Semua kegiatan dari perencanaan program sampai pada evaluasi kemajuan dan hasil belajar siswa serta pengembangan kurikulum dan program, merupakan lapangan "kajian pedagogik praktis.
Sebagai ilmu mumi, ilmu pendidikan adalah teoretis, yang mengandungkonsep-konsep proposional yang harus selalu diuji pada kenyataan-kenyataan yang empirik, atau melalui praktek-praktek pendidikan, yang kemudian secara sistematis disusun teod yang baru, baik teori penemuan baru ataupun pengembangan dari teori yang sudah ada. Kegiatan tersebut menghasilkan pedagogik sistematis.[5]
C.     Pentingnya Pendidikan dan Ilmu Pendidikan
1.      Mengembalikan Peran Sentral Manusia
Manusia dibedakan dari hewan karena kapasitasnya untuk melakukan refleksi dari kesadaran yang ia miliki, yang menjadikannya makhluk yang berelasi, dan kapasitasnya untuk menyempurnakan dunia. Tidak seperti hewan, kesadaran dan tidakan manusia memiliki nilai historis yang cukup kuat, sedangkan hewan hanya berada secara partisipatoris tanpa diimbangi dengan daya refleksi terhadap realitas yang mengelilinginya. Oleh karena itu, keberadaan hewan tidak terlalu berpengaruh terhadap segala peradaban dunia, sebaliknya manusia memiliki dimensi sejarah dengan dunia karena manusia menciptakan sejarah, begitu juga sebaliknya ia juga diciptakana oleh sejarah.
Dengan demikian, untuk menjadi manusiawi, manusia harus bisa mendayagunakan kesadaran yang ia miliki untuk mengenli realitas dunia dan isinya. Kesadaran tersebut tidak hadir secara instan dan ada dengan sendirinya. Artinya, dituntut sebuah refleksi terhadap potensi kesadaran yang dimiliki agar bisa menjadi sarana efektif dalam upaya mentransformasikan gagagsan intelektualnya untuk menciptakan peradaban baru.
Paulo Freire dalam dimensi pendidikan mengarahkan setiap konsep yang ia munculkan untuk bisa mengembalikan peran sentral manusia, yakni sebagai makhluk yang bebas dan merdeka. Hanya dengan kebebasanlah manusia melalui sarana pendidikan bisa mengenali realitasnya dan menciptakan suatu peradaban pendidikan baru sesuai potensi yang ia miliki.
2.      Menyadarkan Manusia terhadap Diri Sendiri dan Realitas di Sekitarnya (Kritis-Transformatif)
Manusia memahmi realitas kehidupan dengan kesadaran kritis. Hal ini yang membedakannya dengan hewan karena hewan tidak mempunyai potensi refleksi dengan sebuah kesadaran. Refleksi yang dilakukan manusia terhadap realitas dunia menjadi sarana pembeda yang utama akan eksistensinya dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Refleksi kritis dipahami sebagai suatu upaya untuk melihat dunia secara mendalam, komprehensif, dan menggunakan daya nalar yang kuat.
Dalam konteks pendidikan, kesadaran kritis diarahkan pada upaya membentuk peserta didik agar bisa melakukan analisi-reflektif terhadap realitas di luar maupun di dalam lingkungan sekolah. Hasil dari refleksi tersebut kemudian dapat dijadikan bahan bagi terjadinya suatu proses dialogis antara peserta didik dan pendidik. Proses dialogis ini dimaksudkan untuk memunculkan refleksi alternatif terhadap realitas yang dialami peserta didik dengan refleksi yang dimunculkan oleh pendidik.[6]
D.    Faktor Pendidikan
Faktor adalah hal (keadaan, peristiwa) yg ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia), jadi faktor pendidikan  secara sederhana  adalah semua hal yang mempengaruhi proses pendidikan.Faktor pendidikan dibagi menjadi lima, yaitu :
1.    Faktor Tujuan Pendidikan
Tujuan  pendidikan  adalah  sebagai  batas  atau  ukuran  apakah tujuan itu sudah tercapai atau belum. Tujuan pendidikan juga mengarahkan aktivitas  pendidikan,  sehingga  tidak  salah  arah.  Tujuan  pendidikan  harus ditetapkan  secara  berjenjang,  sehingga  mudah diukur,  Dalam  aktivitas pendidikan ditetapkan tujuan-tujuan antara yang diarahkan   untuk mencapai tujuan  akhir  dari  pendidikan.  Di  akhir   akvitas  pendidikan  itu  dapat dilakukan  penilaian,  apakah  pendidikan  itu  berhasil  atau  gagal  mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan  pendidikan  adalah  perubahan  yang  dikehendaki  atau  ingin diwujudkan  melalui  aktivitas  pendidikan.  Tujuan  pendidikan  merupakan puncak  dari  segala  usaha  yang  berhubungan  dengan  aktivitas  pendidikan, karena semua  komponen pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Secara hierarki,  tujuan  pendidikan  (pembelajaran)  itu  seperti  anak tangga  yang  bersusun  ke  atas.  Untuk  mencapai  tujuan  berikutnya,  terlebih dahulu   harus  mencapai  di  bawahnya.  Apabila  tujuan  di  bawahnya  belum tercapai,  maka  tujuan  yang  lebih  tinggi  tidak  mungkin  tercapai
a.       Faktor Pendidik
Pendidik  adalah  orang  yang  diserahi  tugas  atau  amanah  untuk mendidik. Pendidikan  itu  sendiri  dapat  berarti  memelihara,  membina, membimbing,  mengarahkan,  menumbuhkan.  Dalam  Undang-Undang  Nomor  20  tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  pada  Bab  XI pasal  39  tentang  Pendidik  dan  Tenaga  Kependidikan  dinyatakan  bahwa pendidik  merupakan  tenaga  professional  yang  bertugas  merencanakan  dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan  dan  pelatihan,  serta  melakukan  penelitian  dan  pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.
Dengan demikian,  pendidik adalah orang yang diberi amanah untuk tidak  saja  membuat  perencanaan,  melaksanakan  pembelajaran,  menilai, membimbing,  tetapi  juga  melakukan  penelitian  dan  pengabdian  kepada masyarakat.   Hal  ini  berarti  bahwa  seorang  pendidik  tidak  hanya  bertugas untuk  mentranfer  ilmu,  melainkan  harus  selalu  mengadakan  penelitian dalam  rangka  menyesuaikan  pengetahuannya  dengan  perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat. Dalam UU RI. Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen  pada Bab  III  pasal  7  ayat  (1)  dinyatakan  bahwa  profesi  guru  dan  profesi  dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1)   Memiliki bakat, minat, penggilan jiwa dan idealism.
2)   Memiliki  komitmen  untuk  meningkatkan  mutu  pendidikan,  keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
3)   Memiliki  kualifikasi  akademik  dan  latar  belakang  pendidikan  sesuai dengan bidang tugasnya.
4)   Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
5)   Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
6)   Memperoleh penghsilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7)   Memiliki  kesempatan  untuk  mengembangkan  keprofesionalan  secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
8)   Memiliki  jaminan  perlindungan  hukum  dalam  melaksanakan  tugas keprofesionalan.
9)   Memiliki organisasi profesi yang mempunyia kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.[7]
Demikian  beberapa  syarat  yang  sebaiknya  dimiliki  oleh  seorang guru,  karena  selain  dia  mengajar  untuk  pengembangan  peserta  didik,  baik secara  kognitif,  afektif,  dan  psikomotorik,  juga  dia  sebagai  pendidik  yang bertangggung  jawab  membina  keperiadian  anak  didiknya,  dan    harus menjadi teladan bagi anak didiknya.
2.     Faktor anak didik
Anak didik atau peserta didik konotasinya adalah pada orang-orang yang sedang belajar. Anak didik lebih dititik beratkan  kepada  anak-anak yang  masih  dalam  tarap  perkembangan,  baik  fisik  maupun  psikis,  belum dewasa, dan masih membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang-orang dewasa  di  sekitarnya.  Istilah  peserta  didik  mengandung  makna  yang  lebih luas,  mencakup  anak  yang  belum  dewasa,  dan  juga  orang  yang  sudah dewasa,  tetapi  masih  dalam  tarap  mencari  atau  menuntut  ilmu  dan
keterampilan., Anak  didik  atau  peserta  didik  semuanya  menjadi  salah  satu  sub sistem  dalam  sistem  pendidikan.  Keberadaan  peserta  didik  dalam  sistem pendidikan  merupakan  hal  yang  mutlak  untuk berlangsungnya  aktivitas pendidikan. Tanpa peserta didik, pendidikan tidak mungkin berjalan, sebab tidak ada gunanya guru tanpa anak didik. Peserta didik, selain sebagai objekpendidikan, juga sebagai subjek pendidikan. Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil, melainkan suatu peribadi yang memiliki karakteristik secara individual, yang berbeda dengan orang lain.  Oleh karena  itu,  setiap  anak  mempunyai  kebutuhan  sendirisendiri, dan membutuhkan perhatian dari pendidiknya. Dalam  proses  pembelajaran, peserta  didik  harus  menyadari  hal-hal sebagai berikut :
a)    Belajar merupakan proses jiwa.
b)   Belajar menuntut konsentrasi.
c)    Belajar harus didasari sikap tawadhu’.
d)   Belajar  bertukar  pendapat  hendaklah  setelah  mantap  pengetahuan dasarnya.
e)    Belajar  harus  mengetahui  nilai  dan  tujuan  ilmu  pengetahuan  yang dipelajari.
f)     Belajar secara bertahap.
g)    Tujuan belajar adalah untuk berakhlak al-karimah.
3.    Faktor Alat Pendidikan
Alat  pendidikan  adalah segala  sesuatu  atau  apa  saja  yang dipergunakan dalam usaha  mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagi usaha, juga merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi alat pendidikan dapat alat dari suatu alat, yaitu alat pendidikan. Segala perlengkapan yang dipakai dalam usaha pendidikan disebut dengan alat pendidikan. Kalau ditinjau dari sudut pandang yang  lebih dinamis, maka alat itu di  samping   sebagai  perlengkapan,  juga  merupakan  pembantu  untuk mempermudah  pencapaian  tujuan  pendidikan.  Dalam pelaksanaan pendidikan, perlengkapan yang akan digunakan harus benar-benar diseleksi, jangan sampai justru menjadi penghambat tercapainya tujuan. Jika dilihat dari segi fungsinya, alat pendidikan dapat dibagi atas:
a.    Alat sebagai perlengkapan
b.    Alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan
c.    Alat sebagai tujuan.
Jika dilihat dari segi penggunaannya, alat dapat dibagi atas:
1)   Alat  langsung,  yaitu  alat  yang  bersifat  menganjurkan  sejalan  dengan maksud  usaha. Misalnya segala anjuran, perintah, keharusan dengan segala akibat-akibatnya.
2)   Alat  tidak  langsung,  yaitu  alat  bersifat  pencegahan  hal-hal  yang bertentang  dengan  maksud  usaha,  meliputi   segala  larangan,  peringatan dan jenisnya dengan segala akibat-akibatnya.
Alat  pendidikan  memiliki  persamaan  dengan  media  pendidikan,tetapi  juga  terdapat  perbedaan .  Kalau  alat  pendidikan   merupakan  segala sesuatu  atau  apa  saja  yang  digunakan  untuk  mencapai  tujuan  pendidikan yang telah ditentukan. Alat lebih mengarah pada  apa  saja, termasuk segala yang digunakan, baik benda, aktivitas, metode, anjuran, larangan,  hukuman,dan  semacamnya  yang digunakan  untuk  mencapai  tujuan  pendidikan. Sedangkan media mencakup sesuatu yang digunakan untuk mengantar atau menjadi perantara pesan kepada penerima pesan.Jadi  media pendidikan adalah apa  yang digunakan sebagai perantara  antara peserta didik  dengan pengetahuan  atau  bahan  ajar  yang  ada  dalam  buku-buku  atau  mengantar peserta didik  memahami  apa  yang diajarkan,  baik bersifat perangkat keras (hard ware), maupun perangkat lunak (soft ware).
Kalau  hal  itu  diakui,  maka  alat  pendidikan  lebih  luas  cakupannya dibandingkan  dengan  media  pendidikan.  Suatu  alat  yang  digunakan  untuk mengantar  pesan-pesan  pendidikan  atau  bahan  ajar  agar  peserta  didik sebagai  penerima  pesan   cepat  memahami  pesan  itu,  maka  ia  berfungsi sebagai  media. Tetapi jika alat hanya digunakan sebagai alat dalam proses pembelajaran, maka itu hanya sebagai alat.
4.    Faktor Lingkungan Sekitar
Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta didik. Lingkungan dapat berupa lingkungan sosial, lingkungan nonsosial.  Lingkungan  sosial  berupa  lingkungan  yang  terdiri  atas  manusia yang ada di  sekitar anak yang dapat memberi  pengaruh terhadap anak, baik sikap,  perasaan,  atau  bahkan  keyakinan  agamanya,  misalnya  lingkungan pergaulan. Lingkungan nonsosial adalah lingkungan alam sekitar berupa. benda atau situasi, misalnya keadaan ruangan, peralatan belajar, cuaca, dan sebagainya, yang dapat memberikan pengaruh pada peserta didik.
Zakiah  Daradjat  mengatakan  bahwa  lingkungan  dalam  arti  luas mencakup  iklim  dan  geografis,  tempat  tinggal,  adat  istiadat,  pengetahuan, pendidikan dan alam. Lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang, baik manusia maupun benda buatan manusia atau alam yang bergerak dan tidak bergerak, kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang. Keadaan itu bisa memberi pengaruh yang bernilai positif bagi perkembangn seseorang, tetapi juga bisa merusakkan perkembangnnya.Di antara lingkungan yang banyak memengaruhi peserta didik adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (tripusat pendidikan). Ketiga lingkungan ini, baik sebagai lingkungan sosial atau manusia, maupun nonsosial  berupa  benda-benda,  situasi,  iklim  kehidupan,  semuanya  dapat membentuk  watak,  sikap,  prilaku,  keperibadian,  kebiasaan  peserta  didik.Oleh  karena  itu,  ketiga  lingkungan  tersebut  harus  ditata  sebaik  mungkin sehingga  dapat  memberikan  pengaruh  yang  positif  bagi  perkembangan peserta didik. Hal ini telah disinggung secara singkat dalam uraian terdahulu tentang pendidik. Ketiga lingkungan ini harus bersinergi dalam pendidikan.Keluarga  merupakan  lingkungan  alamiah  tempat  berlangsungnya pergaulan  yang  khas  di  antara  sesama   anggotanya. 
Pergaulan  yang berlangsung  dalam  keluarga  memberikan  pengaruh  terhadap  anak  yang dapat  dilihat  dalam  pergaulan  di  luar  keluarga.  Anak merupakan cermin mini dari sebuah keluarga. Misalnya anak  yang  nakal  di  sekolah  pada umumnya  di  rumah/keluarga  ia  mendapat  didikan  yang  kasar  atau  kurang kasih sayang. Di sekolah ia nakal untuk  mencari perhatian dari gurunya dan teman-temannya.Selain  keluarga,  sekolah  merupakan  lingkungan  pendidikan  yang banyak  berpengaruh  terhadap  peserta  didik.  Lingkungan keluarga berbeda dengan lingkungan sekolah, baik suasana, tanggung jawab, kebebasan, dan pergaulan. Pada dasarnya  sekolah  harus  merupakan  suatu  lembaga  atau lingkungan  yang  membantu tercapainya cita-cita  keluarga dan  masyarakat.
Di  sekolah  para  peserta  didik  mempelajari  apa  yang  tidak  dapat  diajarkan orang  tua  di  rumah,  berupa  pengetahuan  dan  keterampilan.  Di  sini  anakanak diajarkan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan dan diterapkan secara  ketat  disertai  dengan  sanksi  terhadap  setiap  pelanggaran  yang dilakukan,  penanaman  disiplin,  waktu  belajar  diatur  secara  terjadwal.  Hal seperti  ini  jarang  atau  bahkan  tidak  ditemukan  di  dalam  keluarga.    Ini menyebabkan banyak anak di awal tahun pertama masuk sekolah kaget dan stress,  karena  suasana  sekolah  sangat  berbeda  dengan  suasana  di  dalam keluarga. Kenyataan ini menyebabkan perlunya hubungan antara keluarga dan sekolah sebagai lingkungan dan lembaga pendidikan perlu menjalin hubungan, kemitraan. Orang tua harus mengenal  anaknya, sekolahnya, dan guru anaknya, Keadaan ini biasanya diketahui orang tua dari ; (a) daftar nilai, (b) surat peringatan, (c) kunjungan kepada guru  di  sekolah, (d) pertemuan dengan orang tua murid, dan (e) guru memahami murid-murid.
        Lingkungan masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Pendidikan dalam masyarakat boleh dikatakan pendidikan secara tidak langsung, pendidikan yang dilaksanakan secara tidak sadar oleh masyarakat.  Anak  didik  sendiri  secara  sadar  atau tidak  mendidik  dirinya  sendiri,  mencari  pengetahuan  atau  pengalaman sendiri.  Ahmad D. Marimba  mengatakan bahwa sebagian dari pengalaman yang  diperoleh  di  masyarakat  tidak  dapat  dimasukkan  ke  dalam  kategori pendidikan, hanya dapat dimasukkan ke dalam kategori pergaulan.Hal ini dapat  dipahami,  jika  pendidikan  diartikan  sebagai  usaha  sadar.  Pengaruh dalam  masyarakat,  kadang  dialami  secara  tidak  sadar,  dan  berlangsung tanpa perencanaan dan tujuan yang jelas.
Kalau  dilihat  secara  saksama,  memang  ada  aktivitas  dalam masyarakat  yang  direncakan,  berupa  pendidikan  luar  sekolah  (nonformal), dikelola  secara  professional  dengan  tujuan  yang  jelas,  tetapi    ada  yang hanya sebatas pergaulan dalam masyarakat  yang berlangsung spontan tanpa disadari.  Namun demikian, apakah itu pendidikan yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat ataukah itu hanya dalam bentuk pergaulan, semuanya bisa memberikan dampak bagi perkembangan anak didik.[8]
E.     Jenis-Jenis Pendidikan
1.   Pendidikan Informal
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. No. 20 Tahun 2003. Bab I pasal 1 ayat 13 bahwa pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Dari pengertian tersebut ada dua hal yang menjadi sentranya pendidikan informal, pertama keluarga, kedua lingkungan.
a)      Keluarga
Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa pusat pendidikan tertua dalam Islam adalah pendidikan dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Bagaimana kita melihat keluarga manusia pertama nabi Adam, Hawa mendidik anak-anak mereka berpusat pada pendidikan keluarga. Demikian pula pendidikan yang dilakukan Luqman kepada anaknya juga berlangsung dalam lingkungan pendidikan keluarga demikian pula nabi Ibrahim, nabi Ya’kub dan lain-lain. Itulah sebabnya Soejono mengatakan bahwa keluarga merupakan pusat dan lingkungan pendidikan yang pertama.
Keluarga merupakan salah satu pusat pendidikan yang memiliki peran penting dalam membentuk seseorang. Dalam keluarga seseorang pertama kali berinteraksi dengan orang lain dan dengan dunia luarnya. Interaksi itu sendiri sangat berperan dalam menumbuh-kembangkan potensi fitrah yang ada dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Siddik bahwa pendidikan Islam mengkonsepsikan keluarga sebagai sekolah pertama.
b)      Lingkungan
Lingkungan sangat erat kaitannya dengan lingkungan alamiah dan sosial seseorang. John Locke sebagai salah satu tokoh empirismeSalah satu faktor yang membentuk kepribadian seseorang adalah lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga salah satu teori pendidikan menganut dan meyakini secara mutlak akan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Oleh S. Nasution dijelaskan bahwa lingkungan ada dua macam, pertama lingkungan alamiah, kedua lingkungan sosial budaya.
Kemudian dengan kesimpulan yang menarik dari S. Nasution dikatakan bahwa anak yang baru lahir tidak dapat hidup tanpa bantuan orang dewasa dan lingkungannya. Seluruh pendidikan berlangsung melalui interaksi sosial.
2.      Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Oleh Abu Ahmadi dijelaskan lembaga pendidikan nonformal adalah semua bentuk pendidikan yang dilaksanakan dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga sekolah.
Khusus untuk pendidikan agama dan keagamaan telah diatur dalam peraturan pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan. Untuk pendidikan keagamaan Islam terdapat dalam pasal 21 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Alquran, diniyah takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Berdasarkan pasal tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    Pengajian Kitab
Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam. Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pengajian kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Alquran dan sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Pendapat Daulay bahwa pengajian kitab merupakan proses pendidikan yang diminati oleh umat Islam. Setiap daerah yang ada ulamanya, sudah dapat dipastikan mumpuni dalam pengkajian kitab ini. Bahkan dari dahulu sampai sekarang kemampuan mengkaji kitab merupakan salah satu syarat seseorang untuk disebut sebagai ulama, kiyai, atau ustadz. Pendidikan seperti ini dapat dilaksanakan dalam lembaga atau tempat lainnya. Pesantren misalnya, merupakan lembaga yang bergelut dengan pengajian kitabnya, biasa disebut dengan kitab kuning. Bahkan boleh dikatakan ruhnya pendidikan dalam pesantren adalah pengkajian terhadap kitab kuningnya.
2.    Pendidikan Al-quran
Pendidikan Alquran bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Alquran. Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Alquran (TKQ), Taman Pendidikan Alquran (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis. Pendidikan Alquran dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang. Penyelenggaraan pendidikan Alquran dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat. Kurikulum pendidikan Alquran adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Alquran, tajwid, dan menghafal doa-doa utama. Pendidik pada pendidikan Alquran minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Alquran dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Alquran.
3.    Diniyah Taklimiyah
Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah. Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat. Penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan penyelenggara. Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi. Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain Ma’had. Penamaan “diniyah takmiliyah” yang umum dipakai masyarakat adalah madrasah diniyah.
3.      Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Oleh Hadari Nawawi mengelompokkan pendidikan ini kepada lembaga pendidikan yang kegiatannya dilaksanakan dengan sengaja, berencana, sistematis dalam rangka membantu peserta didik dalam mengembangkan potensinya agar mampu menjalankan kekhalifahnnya.
Pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi dalam pasal tersebut untuk pendidikan Islam secara yuridis diungkapkan dalam peraturan pemerintah yang menyebutkan sebagai berikut:
Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar.
Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
Madrasah Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat MAK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
Dari peraturan diatas, dapat dilihat pendidikan anak usia dini termasuk dalam jalur pendidikan formal. Akan tetapi yang termasuk dalam jalur pendidikan formal hanya usia 4-6 tahun saja, dibawah 4 tahun tidak dikategorikan formal. Landasan yuridisnya dapat dilihat dalam peraturan pemerintah sebagai berikut:
Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun. Sedangkan secara khusus untuk pendidikan Islam tertuang dalam pasal yang sama pada ayat 5 sebagai berikut:
Raudhatul Athfal, yang selanjutnya disingkat RA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
Bertolak dari landasan yuridis jalur pendidikan formal diatas, maka secara umum dapat diklasifikasikan kepada dua lembaga berikut ini:
1.    Madrasah
Madrasah yang termasuk dalam jalur formal adalah madrasah Ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah Aliyah baik pemerintah maupun swasta. Untuk madrasah pemerintah jauh lebih sedikit dibandingkan madrasah yang dikelola swasta.
Menurut Fadjar bahwa dewasa ini madrasah telah berdampingan dengan sistem persekolah pada umumnya dan sebagian besar pengorganisasian madrasah disusun serupa dengan organisai persekolahan.
2.    Perguruan Tinggi Islam
Sekilas mengingat sejarah, bahwa umat Islam Indonesia telah lama mencita-citakan untuk mendirikan perguruan tinggi. Bahkan hasrat ini sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. M. Natsir menyebutkan bahwa Dr. Satiman menulis sebuah artikel dalam Pedoman Masyarakat nomor 15 yang menguraikan cita-cita akan mendirikan satu sekolah tinggi Islam di tiga daerah yaitu Jakarta, Solo dan Surabaya. Di Jakarta diadakan sekolah tinggi sebagai bagian dari Sekolah Menengah Muhammadiyah (AMS) yang bersifat kebaratan (westerch). Natsir bahwa di Solo akan diadakan sekolah tinggi untuk mendidik muballigh. Di Surabaya akan diadakan sekolah tinggi yang akan menerima orang-orang pesantren.
Perguruan tinggi agama Islam mempunyai peran besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia sebagai warga dunia yang mampu bersaing dengan warga lainnya. Perguruan tinggi Islam harus mampu melahirkan intektual muslim yang berdaya saing tinggi dengan perguruan tinggi lain. Tuntutan ini merupakan gugatan atas peran Sekolah Tinggi Agama Islam dan Institut Agama Islam, serta Universitas Islam yang ada. Jika output perguruan tinggi Islam mampu menjawab daya kebutuhan masyarakat sesuai dengan daya intelektual yang dikuasai, maka kehadiran perguruan tinggi Islam telah memberikan saham konstruktif. Demikian pula sebaliknya, jika output tidak mau berbuat banyak terhadap kepentingan national building dan orientasi individunya, maka perlu dipertanyakan peran perguruan tinggi Islam dalam membangun daya intelektual.[9]



[1] Ramayulis, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 13.
[2] Ahmad Mujin Nasih dan Lilik Nur Kholidah, Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Refika Adimata, 2009), hlm. 1.
[3] Mulyono, Konsep Pembiayaan Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 48.
[4] Aas Siti Sholichah, Teori-teori Pendidikan dalam Al-quran, Edukasi Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.07, No. 1, 2018, hlm. 29.
[5] L. Hedrowibowo, Kajian Ilmiah Tentang Ilmu Pendidikan, Cakrawala Pendidikan Nomor 2, Tahun XIII, Juni 1994, hlm. 127-130.
[6] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat &Timur, (Jogjarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 148-154.
[7] Binti Maunah, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 70-75.
[8] Sulaiman Saat, Jurnal Al-Ta’dib FaktorDeterminan Dalam Pendidikan, Vol. 8 No. 2, Juli-Desember, UIN Alauddin Makassar, 2015, hlm. 3-7.
[9] Ahmad Darlis, Hakikat Pendidikan Islam : Telaah antara Hubungan Pendidikan Informal, Nonformal, dan Formal, JURNAL TARBIYAH, Vol. XXIV, No. 1, Januari-Juni 2017 , hlm. 86-96. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar