A.
Pengertian
Pendidikan
Secara etimologis kata “pendidikan”
berasal dari kata dasar “didik” yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran pe-an.
Kata “pendidikan” berubah manjadi kata kerja “mendidik” yang berarti membantu
anak untuk menguasai aneka pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang
diwarisi dari keluarga dan masyarakatnya. Istilah ini pertama kali muncul
dengan bahasa Yunani yaitu “paedagogiek” yang berarti ilmu menuntun anak, dan
“paedagogia” adalah pergaulan dengan anak-anak, sedangkan orangnya yang
menuntun/mendidik anak adalah “paedagog”. Orang Romawi melihat pendidikan
sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan
potensi anak yang dibawa ketika dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat
pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan
kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan potensi anak. Dalam bahasa
Inggris dikenal education (kata benda) dan educate (kata kerja)
yang berarti mendidik.
Dalam kamus bahasa Inggris, Oxford
Learner’s Pocket Dictionary kata pendidikan diartikan sebagai pelatihan dan
pembelajaran. (Education is training and instruction). Sedangkan dalam
KBBI, pendidikan diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tingkah laku
seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses
pengajaran dan pelatihan. Sedangkan dalam terminologi jawa dikenal dengan istilah
“penggulawentah” yang berarti pengolahan, penjagaan, dan pengasuhan baik fisik
maupun kejiwaan anak. [1]
Pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang
utama. [2]
Dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserra didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
,dan negara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu adalah usaha sadar
dan terencana untuk mengembangkan potensi individu demi tercapainya
kesejahteraan pribadi, masyarakat dan negara. [3]
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai kemaslahatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam makna yang lebih luas, ungkapan Ki Hajar
Dewantara mengenai pendidikan juga dapat di definisikan sebagai penuntun,
pembimbing, dan petunjuk arah bagi para peserta didik agar mereka dapat tumbuh
menjadi dewasa sesuai dengan potensi dan konsep diri yang tertanam dalam diri
sebenarnya.[4]
B.
Pengertian Ilmu
Pendidikan
Ilmu
pendidikan atau paedagogiek, berasal dari Kata bahasa Yunani pedagogues, dan
dalam bahasa Latin paedagogus, yang berarti pemuda yang bertugas
mengantar anak ke sekolah serta menjaga anak itu untuk bertingkah laku susila
dan berdisiplin. Istilah itu lalu digunakan untuk pendidik (pedagog) dan
kemudian berkembang menjadi pedagogi perbuatan mendidik, paedagogiek untuk
i1mu pendidikan. Ada beberapa definisi tentang i1mu pendidikan:
1. Prof.
DR. M.J. Langeveld: Pedagogik atau i1mu pendidikan ialah suatu i1mu yang bukan
saja menelaah obyeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki obyek itu,
melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak (Langeveld, 1971: pasal
1).
2. Prof.
Brodjonegoro dan Drs. Soetedjo: Ilmu pendidikan atau pedagogik adalah teorI
pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti yang luas pedagogik
adalah i1mu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktek
pendidikan.
3. DR.
Sutari Imam Barnadib: "ilmu pendidikan mempelajari suasana dan
proses-proses pendidikan".
4. Prof.
DR. N. Driyarkara: "ilmu pendidikan adaIah pemikiran tentang iImiah
realitas yang kita sebut pendidikan (mendidik dan dididik)".
Melihat dari beberapa
definisi di atas, jelaslah bahwa iImu pendidikan itu sendiri tidak dapat
dilepaskan dad makna pendidikan. Oleh karena itu pula, ilmu pendidikan dapat
diartikan sebagai ilmu tentang pendidikan. Langeveld misalnya menyebur iImu
pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang praktis karena ilmu itu membicarakan
perbuatan atau tingkah laku manusia secara khusus, yaitu perbuatan mendidik,
meskipun di dalamnya terdapat banyak pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat
teoretis.
Pedagogik Teoretis dan Pedagogik Praktis
Ilmu
pendidikan (pedagogik) merupakan ilmu pengetahuan terapan (praktis) mengenai
perbuatan manusia, mendidik dan dididik, dan mempunyai dua segi: teoretis
dan praktis Oleh karena itu, dibedakan menjadi pedagogik teoretis
dan pedagogik praktis. Pedagodik teoretis tertuju pada penyusunan persoalan dan
pengetahuan sekitar pendidikan secara ilmiah, bergerak dari praktek ke
penyusunan teod dan penyusunan sistem pendidikan; dalam hal ini latar belakang
filsafat pun termasuk dalam pendidikan teoretis. Pedagogik teoretis mendorong
orang untuk melakukan perbuatan mendidik sebaik mungkin, demi keberhasilan dan
kemajuan pendidikan.
Dengan
demikian, antara pendidik dan peserta didik harus aktif belajar; yaitu
menyadari benar segala perbuatannya, mengetahui dengan tepat apa yang
diinginkan, dan tujuan apa yang mau dicapai dengan pendidikan serta kegiatan
belajar mengajar.
Langeveld
menyebut iImu· mendidik teoretis sebagai iImu pengetahuan praktis normatif.
Sebab, pada pedagogic teoretis momen-momen normatif dan nilai etis tidak bisa
dilepaskan dari momen praktis. Jadi, ada pengerahan pada tujuan-tujuan yang
etis, bagaimana pendidikan itu seharusnya dilakukan, dan apa yang ingin
dicapainya.
Berkaitan
dengan uraian di a tas, pengertian manusia sebagai animal educandum itu
mencakup perbuatan humanisasi, yakni. upaya menjadikan anak didik
manusia, paripuma dan berbudaya. Oleh sebab itulah, maka perbuatan mendidik dan
pedagogik teoretis itu sifatnya kreatif dan normatif.
Karena
menyangkut upaya membangun pribadi anak manusia sesuai dengan norma dan ideal
tertentu, maka. Pedagogic teoretis juga disebut sebagai antropologi praktis
nbrmatif; yakni ajaran mengenai manusia yang secara rasional dan sistematis
memberikan wawasan mengenai perilaku pendidikan dan anak didik dalam
proses pendidikan; dan bagaimana seharusnya pendidikan itu dilakukan,
mengikuti norma-norma tertentu.
Pedagogik
praktis tertuju pada cara-cara bertindak, bergerak dalam situasi pendidikan
tertuju pada pelaksanaan realisasi cita-cita (ideal) yang telah tersusun dalam
pedagogic teoretis. Dalam hal ini teori mendahului praktek.
Ilmu
pendidikan tidaklah hanya tertuju pada kajian teoretis, atau hanya melakukan
kegiatan ilmiah teoretis, tetapi juga berupaya melakukan perbaikan dan
pengembangan praktek-praktek pendidikan, terutama yang berkenaan dengan praktek-praktek
pendidikan formal, yaitu praktek-praktek pendidikan dan pengajaran di
sekolah-sekolah. Praktek-praktek pendidikan dan pengajaran mencakup
perencanaan, pelaksanaan kurikulum, supervisi dan evaluasi, selanjutnya pengembangan
kurikulum tentulah tid'ak lepas dari konsep-konsep mendasar mengenai apa
pendidikan itu. Proses berlangsungnya belajar mengajar, tentu tidak dapat
mengabaikan konsepkonsep dasar pendidikan. Semua kegiatan dari perencanaan program
sampai pada evaluasi kemajuan dan hasil belajar siswa serta pengembangan
kurikulum dan program, merupakan lapangan "kajian pedagogik praktis.
Sebagai
ilmu mumi, ilmu pendidikan adalah teoretis, yang mengandungkonsep-konsep
proposional yang harus selalu diuji pada kenyataan-kenyataan yang empirik, atau
melalui praktek-praktek pendidikan, yang kemudian secara sistematis disusun
teod yang baru, baik teori penemuan baru ataupun pengembangan dari teori
yang sudah ada. Kegiatan tersebut menghasilkan pedagogik sistematis.[5]
C.
Pentingnya Pendidikan
dan Ilmu Pendidikan
1. Mengembalikan
Peran Sentral Manusia
Manusia dibedakan
dari hewan karena kapasitasnya untuk melakukan refleksi dari kesadaran yang ia
miliki, yang menjadikannya makhluk yang berelasi, dan kapasitasnya untuk
menyempurnakan dunia. Tidak seperti hewan, kesadaran dan tidakan manusia
memiliki nilai historis yang cukup kuat, sedangkan hewan hanya berada secara
partisipatoris tanpa diimbangi dengan daya refleksi terhadap realitas yang mengelilinginya.
Oleh karena itu, keberadaan hewan tidak terlalu berpengaruh terhadap segala
peradaban dunia, sebaliknya manusia memiliki dimensi sejarah dengan dunia
karena manusia menciptakan sejarah, begitu juga sebaliknya ia juga diciptakana
oleh sejarah.
Dengan demikian,
untuk menjadi manusiawi, manusia harus bisa mendayagunakan kesadaran yang ia
miliki untuk mengenli realitas dunia dan isinya. Kesadaran tersebut tidak hadir
secara instan dan ada dengan sendirinya. Artinya, dituntut sebuah refleksi
terhadap potensi kesadaran yang dimiliki agar bisa menjadi sarana efektif dalam
upaya mentransformasikan gagagsan intelektualnya untuk menciptakan peradaban
baru.
Paulo Freire dalam
dimensi pendidikan mengarahkan setiap konsep yang ia munculkan untuk bisa
mengembalikan peran sentral manusia, yakni sebagai makhluk yang bebas dan
merdeka. Hanya dengan kebebasanlah manusia melalui sarana pendidikan bisa
mengenali realitasnya dan menciptakan suatu peradaban pendidikan baru sesuai
potensi yang ia miliki.
2. Menyadarkan
Manusia terhadap Diri Sendiri dan Realitas di Sekitarnya (Kritis-Transformatif)
Manusia memahmi
realitas kehidupan dengan kesadaran kritis. Hal ini yang membedakannya dengan
hewan karena hewan tidak mempunyai potensi refleksi dengan sebuah kesadaran.
Refleksi yang dilakukan manusia terhadap realitas dunia menjadi sarana pembeda
yang utama akan eksistensinya dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Refleksi
kritis dipahami sebagai suatu upaya untuk melihat dunia secara mendalam,
komprehensif, dan menggunakan daya nalar yang kuat.
Dalam konteks
pendidikan, kesadaran kritis diarahkan pada upaya membentuk peserta didik agar
bisa melakukan analisi-reflektif terhadap realitas di luar maupun di dalam
lingkungan sekolah. Hasil dari refleksi tersebut kemudian dapat dijadikan bahan
bagi terjadinya suatu proses dialogis antara peserta didik dan pendidik. Proses
dialogis ini dimaksudkan untuk memunculkan refleksi alternatif terhadap
realitas yang dialami peserta didik dengan refleksi yang dimunculkan oleh
pendidik.[6]
D.
Faktor Pendidikan
Faktor adalah hal (keadaan, peristiwa) yg
ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu (Kamus Besar Bahasa
Indonesia), jadi faktor pendidikan
secara sederhana adalah semua hal
yang mempengaruhi proses pendidikan.Faktor pendidikan dibagi menjadi lima, yaitu
:
1. Faktor
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan
adalah sebagai batas
atau ukuran apakah tujuan itu sudah tercapai atau belum.
Tujuan pendidikan juga mengarahkan aktivitas
pendidikan, sehingga tidak
salah arah. Tujuan
pendidikan harus ditetapkan secara
berjenjang, sehingga mudah diukur,
Dalam aktivitas pendidikan
ditetapkan tujuan-tujuan antara yang diarahkan
untuk mencapai tujuan akhir dari
pendidikan. Di akhir
akvitas pendidikan itu
dapat dilakukan penilaian, apakah
pendidikan itu berhasil
atau gagal mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Tujuan
pendidikan adalah perubahan
yang dikehendaki atau
ingin diwujudkan melalui aktivitas
pendidikan. Tujuan pendidikan
merupakan puncak dari segala
usaha yang berhubungan
dengan aktivitas pendidikan, karena semua komponen pendidikan diarahkan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Secara
hierarki, tujuan pendidikan
(pembelajaran) itu seperti
anak tangga yang bersusun
ke atas. Untuk
mencapai tujuan berikutnya,
terlebih dahulu harus mencapai
di bawahnya. Apabila
tujuan di bawahnya
belum tercapai, maka tujuan
yang lebih tinggi
tidak mungkin tercapai
a. Faktor
Pendidik
Pendidik adalah
orang yang diserahi
tugas atau amanah
untuk mendidik. Pendidikan
itu sendiri dapat berarti
memelihara, membina, membimbing, mengarahkan,
menumbuhkan. Dalam Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Bab XI
pasal 39
tentang Pendidik dan
Tenaga Kependidikan dinyatakan
bahwa pendidik merupakan tenaga
professional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik di perguruan tinggi.
Dengan
demikian, pendidik adalah orang yang
diberi amanah untuk tidak saja membuat
perencanaan, melaksanakan pembelajaran,
menilai, membimbing, tetapi juga melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat. Hal
ini berarti bahwa
seorang pendidik tidak
hanya bertugas untuk mentranfer
ilmu, melainkan harus
selalu mengadakan penelitian dalam rangka
menyesuaikan pengetahuannya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat cepat. Dalam UU RI. Nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen pada Bab III
pasal 7 ayat
(1) dinyatakan bahwa
profesi guru dan
profesi dosen merupakan bidang
pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1) Memiliki
bakat, minat, penggilan jiwa dan idealism.
2) Memiliki komitmen
untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan
dan akhlak mulia.
3) Memiliki kualifikasi
akademik dan latar
belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.
4) Memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
5) Memiliki
tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
6) Memperoleh
penghsilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7) Memiliki kesempatan
untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang
hayat.
8) Memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan.
9) Memiliki
organisasi profesi yang mempunyia kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tugas keprofesionalan guru.[7]
Demikian
beberapa syarat yang
sebaiknya dimiliki oleh
seorang guru, karena selain
dia mengajar untuk
pengembangan peserta didik,
baik secara kognitif, afektif,
dan psikomotorik, juga
dia sebagai pendidik
yang bertangggung jawab membina
keperiadian anak didiknya,
dan harus menjadi teladan bagi
anak didiknya.
2. Faktor anak didik
Anak
didik atau peserta didik konotasinya adalah pada orang-orang yang sedang
belajar. Anak didik lebih dititik beratkan
kepada anak-anak yang masih
dalam tarap perkembangan,
baik fisik maupun
psikis, belum dewasa, dan masih
membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang-orang dewasa di
sekitarnya. Istilah peserta
didik mengandung makna
yang lebih luas, mencakup
anak yang belum
dewasa, dan juga
orang yang sudah dewasa,
tetapi masih dalam
tarap mencari atau
menuntut ilmu dan
keterampilan., Anak didik
atau peserta didik
semuanya menjadi salah satu sub sistem
dalam sistem pendidikan.
Keberadaan peserta didik
dalam sistem pendidikan merupakan
hal yang mutlak
untuk berlangsungnya aktivitas
pendidikan. Tanpa peserta didik, pendidikan tidak mungkin berjalan, sebab tidak
ada gunanya guru tanpa anak didik. Peserta didik, selain sebagai
objekpendidikan, juga sebagai subjek pendidikan. Anak bukanlah
orang dewasa dalam ukuran kecil, melainkan suatu peribadi yang memiliki
karakteristik secara individual, yang berbeda dengan orang lain. Oleh karena
itu, setiap anak
mempunyai kebutuhan sendirisendiri, dan membutuhkan perhatian
dari pendidiknya. Dalam proses pembelajaran, peserta didik
harus menyadari hal-hal sebagai berikut :
a) Belajar
merupakan proses jiwa.
b) Belajar
menuntut konsentrasi.
c) Belajar
harus didasari sikap tawadhu’.
d) Belajar bertukar
pendapat hendaklah setelah
mantap pengetahuan dasarnya.
e) Belajar harus
mengetahui nilai dan
tujuan ilmu pengetahuan
yang dipelajari.
f) Belajar secara bertahap.
g) Tujuan belajar adalah untuk berakhlak al-karimah.
3. Faktor
Alat Pendidikan
Alat pendidikan
adalah segala sesuatu atau
apa saja yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagi
usaha, juga merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi alat
pendidikan dapat alat dari suatu alat, yaitu alat pendidikan. Segala
perlengkapan yang dipakai dalam usaha pendidikan disebut dengan alat
pendidikan. Kalau ditinjau dari sudut pandang yang lebih dinamis, maka alat itu di samping
sebagai perlengkapan, juga
merupakan pembantu untuk mempermudah pencapaian
tujuan pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan, perlengkapan
yang akan digunakan harus benar-benar diseleksi, jangan sampai justru menjadi
penghambat tercapainya tujuan. Jika dilihat dari segi fungsinya, alat pendidikan
dapat dibagi atas:
a. Alat
sebagai perlengkapan
b. Alat
sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan
c. Alat
sebagai tujuan.
Jika dilihat dari segi
penggunaannya, alat dapat dibagi atas:
1) Alat langsung,
yaitu alat yang
bersifat menganjurkan sejalan
dengan maksud usaha. Misalnya
segala anjuran, perintah, keharusan dengan segala akibat-akibatnya.
2) Alat tidak
langsung, yaitu alat
bersifat pencegahan hal-hal
yang bertentang dengan maksud
usaha, meliputi segala
larangan, peringatan dan jenisnya
dengan segala akibat-akibatnya.
Alat pendidikan
memiliki persamaan dengan
media pendidikan,tetapi juga
terdapat perbedaan . Kalau
alat pendidikan merupakan
segala sesuatu atau apa
saja yang digunakan
untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditentukan. Alat lebih mengarah pada apa
saja, termasuk segala yang digunakan, baik benda, aktivitas, metode,
anjuran, larangan, hukuman,dan semacamnya
yang digunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan. Sedangkan
media mencakup sesuatu yang digunakan untuk mengantar atau menjadi perantara
pesan kepada penerima pesan.Jadi media
pendidikan adalah apa yang digunakan
sebagai perantara antara peserta
didik dengan pengetahuan atau
bahan ajar yang
ada dalam buku-buku
atau mengantar peserta didik memahami
apa yang diajarkan, baik bersifat perangkat keras (hard ware), maupun
perangkat lunak (soft ware).
Kalau hal
itu diakui, maka
alat pendidikan lebih
luas cakupannya dibandingkan dengan
media pendidikan. Suatu
alat yang digunakan
untuk mengantar pesan-pesan pendidikan
atau bahan ajar
agar peserta didik sebagai
penerima pesan cepat
memahami pesan itu,
maka ia berfungsi sebagai media. Tetapi jika alat hanya digunakan
sebagai alat dalam proses pembelajaran, maka itu hanya sebagai alat.
4. Faktor
Lingkungan Sekitar
Lingkungan
merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak
pendidikan yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta didik. Lingkungan
dapat berupa lingkungan sosial, lingkungan nonsosial. Lingkungan
sosial berupa lingkungan
yang terdiri atas
manusia yang ada di sekitar anak
yang dapat memberi pengaruh terhadap
anak, baik sikap, perasaan, atau
bahkan keyakinan agamanya,
misalnya lingkungan pergaulan.
Lingkungan nonsosial adalah lingkungan alam sekitar berupa. benda
atau situasi, misalnya keadaan ruangan, peralatan belajar, cuaca, dan
sebagainya, yang dapat memberikan pengaruh pada peserta didik.
Zakiah Daradjat
mengatakan bahwa lingkungan
dalam arti luas mencakup
iklim dan geografis,
tempat tinggal, adat
istiadat, pengetahuan, pendidikan
dan alam. Lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam
kehidupan yang senantiasa berkembang, baik manusia maupun benda buatan manusia
atau alam yang bergerak dan tidak bergerak, kejadian atau hal-hal yang
mempunyai hubungan dengan seseorang. Keadaan itu bisa memberi pengaruh yang
bernilai positif bagi perkembangn seseorang, tetapi juga bisa merusakkan
perkembangnnya.Di antara lingkungan yang banyak memengaruhi peserta didik
adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (tripusat pendidikan).
Ketiga lingkungan ini, baik sebagai lingkungan sosial atau manusia, maupun nonsosial berupa
benda-benda, situasi, iklim
kehidupan, semuanya dapat membentuk watak,
sikap, prilaku, keperibadian,
kebiasaan peserta didik.Oleh
karena itu, ketiga
lingkungan tersebut harus
ditata sebaik mungkin sehingga dapat
memberikan pengaruh yang
positif bagi perkembangan peserta didik. Hal ini telah
disinggung secara singkat dalam uraian terdahulu tentang pendidik. Ketiga
lingkungan ini harus bersinergi dalam pendidikan.Keluarga merupakan
lingkungan alamiah tempat
berlangsungnya pergaulan
yang khas di
antara sesama anggotanya.
Pergaulan yang berlangsung dalam
keluarga memberikan pengaruh
terhadap anak yang dapat
dilihat dalam pergaulan
di luar keluarga.
Anak merupakan cermin mini dari sebuah keluarga. Misalnya anak yang
nakal di sekolah
pada umumnya di rumah/keluarga ia
mendapat didikan yang
kasar atau kurang kasih sayang. Di sekolah ia nakal
untuk mencari perhatian dari gurunya dan
teman-temannya.Selain keluarga, sekolah
merupakan lingkungan pendidikan
yang banyak berpengaruh terhadap
peserta didik. Lingkungan keluarga berbeda dengan lingkungan
sekolah, baik suasana, tanggung jawab, kebebasan, dan pergaulan. Pada dasarnya sekolah
harus merupakan suatu
lembaga atau lingkungan yang
membantu tercapainya cita-cita keluarga
dan masyarakat.
Di sekolah
para peserta didik
mempelajari apa yang
tidak dapat diajarkan orang tua
di rumah, berupa
pengetahuan dan keterampilan.
Di sini anakanak diajarkan mematuhi aturan-aturan
yang telah ditetapkan dan diterapkan secara
ketat disertai dengan
sanksi terhadap setiap
pelanggaran yang dilakukan, penanaman
disiplin, waktu belajar
diatur secara terjadwal.
Hal seperti ini jarang
atau bahkan tidak
ditemukan di dalam
keluarga. Ini menyebabkan
banyak anak di awal tahun pertama masuk sekolah kaget dan stress, karena
suasana sekolah sangat
berbeda dengan suasana
di dalam keluarga. Kenyataan ini
menyebabkan perlunya hubungan antara keluarga dan sekolah sebagai lingkungan
dan lembaga pendidikan perlu menjalin hubungan, kemitraan. Orang tua harus
mengenal anaknya, sekolahnya, dan guru
anaknya, Keadaan ini biasanya diketahui orang tua dari ; (a) daftar nilai, (b)
surat peringatan, (c) kunjungan kepada guru
di sekolah, (d) pertemuan dengan
orang tua murid, dan (e) guru memahami murid-murid.
Lingkungan masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang
ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Pendidikan dalam masyarakat boleh
dikatakan pendidikan secara tidak langsung, pendidikan yang dilaksanakan secara
tidak sadar oleh masyarakat. Anak didik
sendiri secara sadar
atau tidak mendidik dirinya
sendiri, mencari pengetahuan
atau pengalaman sendiri. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa sebagian dari pengalaman
yang diperoleh di
masyarakat tidak dapat
dimasukkan ke dalam
kategori pendidikan, hanya dapat dimasukkan ke dalam kategori
pergaulan.Hal ini dapat dipahami, jika
pendidikan diartikan sebagai
usaha sadar. Pengaruh dalam masyarakat,
kadang dialami secara
tidak sadar, dan
berlangsung tanpa perencanaan dan tujuan yang jelas.
Kalau dilihat
secara saksama, memang
ada aktivitas dalam masyarakat yang
direncakan, berupa pendidikan
luar sekolah (nonformal), dikelola secara
professional dengan tujuan
yang jelas, tetapi
ada yang hanya sebatas pergaulan
dalam masyarakat yang berlangsung spontan
tanpa disadari. Namun demikian, apakah
itu pendidikan yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat ataukah itu hanya
dalam bentuk pergaulan, semuanya bisa memberikan dampak bagi perkembangan anak
didik.[8]
E.
Jenis-Jenis
Pendidikan
1. Pendidikan
Informal
Menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. No. 20 Tahun 2003. Bab I pasal 1 ayat
13 bahwa pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Dari pengertian tersebut ada dua hal
yang menjadi sentranya pendidikan informal, pertama keluarga, kedua lingkungan.
a) Keluarga
Tidak berlebihan kiranya
apabila dikatakan bahwa pusat pendidikan tertua dalam Islam adalah pendidikan
dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sama tuanya dengan peradaban manusia
itu sendiri. Bagaimana kita melihat keluarga manusia pertama nabi Adam, Hawa
mendidik anak-anak mereka berpusat pada pendidikan keluarga. Demikian pula
pendidikan yang dilakukan Luqman kepada anaknya juga berlangsung dalam
lingkungan pendidikan keluarga demikian pula nabi Ibrahim, nabi Ya’kub dan
lain-lain. Itulah sebabnya Soejono mengatakan bahwa keluarga merupakan pusat
dan lingkungan pendidikan yang pertama.
Keluarga
merupakan salah satu pusat pendidikan yang memiliki peran penting dalam
membentuk seseorang. Dalam keluarga seseorang pertama kali berinteraksi dengan
orang lain dan dengan dunia luarnya. Interaksi itu sendiri sangat berperan
dalam menumbuh-kembangkan potensi fitrah yang ada dalam dirinya. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukan oleh Siddik bahwa pendidikan Islam
mengkonsepsikan keluarga sebagai sekolah pertama.
b) Lingkungan
Lingkungan sangat erat kaitannya dengan
lingkungan alamiah dan sosial seseorang. John Locke sebagai salah satu tokoh
empirismeSalah satu faktor yang membentuk kepribadian seseorang adalah
lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga salah satu teori pendidikan menganut dan
meyakini secara mutlak akan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik. Oleh S. Nasution dijelaskan bahwa lingkungan ada
dua macam, pertama lingkungan alamiah, kedua lingkungan sosial budaya.
Kemudian dengan kesimpulan yang menarik
dari S. Nasution dikatakan bahwa anak yang baru lahir tidak dapat hidup tanpa
bantuan orang dewasa dan lingkungannya. Seluruh pendidikan berlangsung melalui
interaksi sosial.
2. Pendidikan
Nonformal
Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Oleh Abu Ahmadi dijelaskan
lembaga pendidikan nonformal adalah semua bentuk pendidikan yang dilaksanakan
dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga sekolah.
Khusus
untuk pendidikan agama dan keagamaan telah diatur dalam peraturan pemerintah No
55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan. Untuk pendidikan
keagamaan Islam terdapat dalam pasal 21 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan
diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim,
pendidikan Alquran, diniyah takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.
Berdasarkan pasal tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pengajian
Kitab
Pengajian kitab diselenggarakan dalam
rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam.
Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak
berjenjang. Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla,
atau tempat lain yang memenuhi syarat. Pengajian kitab di dalam pesantren
diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Alquran dan sunnah dan pemahaman
transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Pendapat Daulay bahwa pengajian kitab
merupakan proses pendidikan yang diminati oleh umat Islam. Setiap daerah yang
ada ulamanya, sudah dapat dipastikan mumpuni dalam pengkajian kitab ini. Bahkan
dari dahulu sampai sekarang kemampuan mengkaji kitab merupakan salah satu
syarat seseorang untuk disebut sebagai ulama, kiyai, atau ustadz. Pendidikan
seperti ini dapat dilaksanakan dalam lembaga atau tempat lainnya. Pesantren
misalnya, merupakan lembaga yang bergelut dengan pengajian kitabnya, biasa
disebut dengan kitab kuning. Bahkan boleh dikatakan ruhnya pendidikan dalam
pesantren adalah pengkajian terhadap kitab kuningnya.
2. Pendidikan
Al-quran
Pendidikan Alquran bertujuan meningkatkan
kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan
Alquran. Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Alquran (TKQ),
Taman Pendidikan Alquran (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan
bentuk lain yang sejenis. Pendidikan Alquran dapat dilaksanakan secara
berjenjang dan tidak berjenjang. Penyelenggaraan pendidikan Alquran dipusatkan
di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat. Kurikulum
pendidikan Alquran adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Alquran,
tajwid, dan menghafal doa-doa utama. Pendidik pada pendidikan Alquran minimal
lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca
Alquran dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Alquran.
3. Diniyah
Taklimiyah
Diniyah takmiliyah bertujuan untuk
melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan
ketakwaan peserta didik kepada Allah. Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat
dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. Penyelenggaraan diniyah
takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi
syarat. Penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan penyelenggara.
Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi. Pendidikan diniyah
jenjang pendidikan tinggi antara lain Ma’had. Penamaan “diniyah
takmiliyah” yang umum dipakai masyarakat adalah madrasah diniyah.
3. Pendidikan
Formal
Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Oleh
Hadari Nawawi mengelompokkan pendidikan ini kepada lembaga pendidikan yang
kegiatannya dilaksanakan dengan sengaja, berencana, sistematis dalam rangka
membantu peserta didik dalam mengembangkan potensinya agar mampu menjalankan
kekhalifahnnya.
Pendidikan
dasar, menengah dan pendidikan tinggi dalam pasal tersebut untuk pendidikan
Islam secara yuridis diungkapkan dalam peraturan pemerintah yang menyebutkan
sebagai berikut:
Madrasah
Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar.
Madrasah
Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan
dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar
yang diakui sama atau setara SD atau MI.
Madrasah
Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai
lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil
belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
Madrasah
Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat MAK, adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan
pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan
menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau
lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
Dari
peraturan diatas, dapat dilihat pendidikan anak usia dini termasuk dalam jalur
pendidikan formal. Akan tetapi yang termasuk dalam jalur pendidikan formal
hanya usia 4-6 tahun saja, dibawah 4 tahun tidak dikategorikan formal. Landasan
yuridisnya dapat dilihat dalam peraturan pemerintah sebagai berikut:
Taman
Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan
program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam)
tahun. Sedangkan secara khusus untuk pendidikan Islam tertuang dalam pasal yang
sama pada ayat 5 sebagai berikut:
Raudhatul
Athfal, yang selanjutnya disingkat RA, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan
program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4 (empat)
tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
Bertolak
dari landasan yuridis jalur pendidikan formal diatas, maka secara umum dapat
diklasifikasikan kepada dua lembaga berikut ini:
1. Madrasah
Madrasah yang termasuk dalam jalur formal
adalah madrasah Ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah Aliyah baik
pemerintah maupun swasta. Untuk madrasah pemerintah jauh lebih sedikit
dibandingkan madrasah yang dikelola swasta.
Menurut Fadjar bahwa dewasa ini madrasah
telah berdampingan dengan sistem persekolah pada umumnya dan sebagian besar
pengorganisasian madrasah disusun serupa dengan organisai persekolahan.
2. Perguruan
Tinggi Islam
Sekilas mengingat sejarah, bahwa umat
Islam Indonesia telah lama mencita-citakan untuk mendirikan perguruan tinggi.
Bahkan hasrat ini sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. M. Natsir
menyebutkan bahwa Dr. Satiman menulis sebuah artikel dalam Pedoman Masyarakat
nomor 15 yang menguraikan cita-cita akan mendirikan satu sekolah tinggi Islam
di tiga daerah yaitu Jakarta, Solo dan Surabaya. Di Jakarta diadakan sekolah
tinggi sebagai bagian dari Sekolah Menengah Muhammadiyah (AMS) yang bersifat
kebaratan (westerch). Natsir bahwa di Solo akan diadakan sekolah tinggi
untuk mendidik muballigh. Di Surabaya akan diadakan sekolah tinggi yang akan
menerima orang-orang pesantren.
Perguruan tinggi agama Islam mempunyai
peran besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia sebagai warga dunia yang mampu
bersaing dengan warga lainnya. Perguruan tinggi Islam harus mampu melahirkan
intektual muslim yang berdaya saing tinggi dengan perguruan tinggi lain.
Tuntutan ini merupakan gugatan atas peran Sekolah Tinggi Agama Islam dan
Institut Agama Islam, serta Universitas Islam yang ada. Jika output perguruan
tinggi Islam mampu menjawab daya kebutuhan masyarakat sesuai dengan daya
intelektual yang dikuasai, maka kehadiran perguruan tinggi Islam telah
memberikan saham konstruktif. Demikian pula sebaliknya, jika output tidak
mau berbuat banyak terhadap kepentingan national building dan orientasi
individunya, maka perlu dipertanyakan peran perguruan tinggi Islam dalam
membangun daya intelektual.[9]
[1] Ramayulis, IlmuPendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 13.
[2] Ahmad Mujin Nasih dan Lilik Nur Kholidah, Metode
dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Refika Adimata,
2009), hlm. 1.
[4] Aas Siti Sholichah, Teori-teori Pendidikan dalam
Al-quran, Edukasi Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.07, No. 1, 2018, hlm.
29.
[5] L. Hedrowibowo, Kajian Ilmiah
Tentang Ilmu Pendidikan, Cakrawala Pendidikan Nomor 2, Tahun XIII, Juni 1994, hlm.
127-130.
[6] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan
Pembebasan dalam Perspektif Barat &Timur, (Jogjarta : Ar-Ruzz Media,
2011), hlm. 148-154.
[7] Binti Maunah, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta:
Teras, 2009), hlm. 70-75.
[8] Sulaiman Saat, Jurnal Al-Ta’dib FaktorDeterminan
Dalam Pendidikan, Vol. 8 No. 2, Juli-Desember, UIN Alauddin Makassar, 2015,
hlm. 3-7.
[9] Ahmad Darlis, Hakikat
Pendidikan Islam : Telaah antara Hubungan Pendidikan Informal, Nonformal, dan
Formal, JURNAL TARBIYAH, Vol. XXIV, No. 1, Januari-Juni 2017 , hlm. 86-96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar