Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

KONSEP BELAJAR DAN MENGAJAR


KONSEP BELAJAR DAN MENGAJAR




A.    Kewajiban dan Motivasi Menuntut Ilmu

1.      Kewajiban menuntut ilmu
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya: “Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr).
Ilmu yang dimaksud di dalam Hadis ini adalah ilmu yang mesti diketahui seperti ilmu mengenai Maha Pencipta, ilmu mengenai kenabian, ilmu mengenai tata cara shalat dan lain sebagainya dan semua ini hukum mempelajarinya adalah wajib.[1]
من خرج في طلب العلم كان في سبيل الله حتى يرجع
Artinya : “Barangsiapa keluar dalam rangka menuntut ilmu maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali”. (HR. At-Tirmidzi).
Hadits tentang keutamaan menuntut ilmu ini menjelaskan tentang :
a)      Pentingnya ilmu pengetahuan
b)      Kewajiban belajar
c)      Orang yang menuntut ilmu selalu berada di jalan Allah. Orang yang menuntut ilmu ini dalam ilmu pendidikan dinamakan peserta pendidik (objek pendidikan).
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting, tanpa ilmu pengetahuan maka akan merajalela kejahilan, manusia akan minta pendapat dan petuah kepada orang-orang jahil.[2] Secara logika keutamaan ilmu tidak samar lagi karena dengan ilmu, pemiliknya dapat sampai kepada Allah dan dekat di sisi-Nya, ilmu merupakan kebahgiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal yang tiada akhirnya; dalam ilmu terdapat kemuliaan hidup di dunia dan kebahagiaan di negeri akhirat.
Dunia merupakan lading akhirat, orang yang mengamalkan ilmunya berarti menanam bagi dirinya kebahagiaan yang kekal, yaitu dengan membersihkan akhlaknya sesuai dengan apa yang dituntut oleh ilmunya. Dan barangkali dengan mengajarkannya dia menanamkan kebahagiaan yang abadi bagi dirinya karena dengan ilmunya dia membersihkan akhlah manusia dengan ilmunya dia menyeru mereka kepada hal-hal yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.[3]  
2.      Motivasi menuntut ilmu
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول '''إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله و رسوله فهجرته إلى الله و رسوله و من كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami, Al Hamidy Abdullah ibnu Az-Zubair, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan, dia berkata telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Said Al-Anshory, dia berkata telah mengabarkan kepadaku Muhammad ibnu Ibrahim At-Taimy, sesungguhnya dia telah mendengar Alqomah ibnu Waqosh Al-Laitsy berkata aku mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu anhu di atas mimbar. Beliau (Umar bin Khattab) berkata aku mendengar Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam sedang berkata, "Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu bergantung pada niat-niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah kepada dunia yang dikejarnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya”. (HR. Bukhari)[4]
Keikhlasan berasal dari dorongan niat. Oleh karena itu, pada awal pembuka hadits Nabi Saw. menekankan tentang peran dan kedudukan niat yang sangat menentukan dalam berbagai aktivitas seseorang. Sesungguhnya niat mengandung tiga unsusr pokok, yaitu; 1) Ikrar kesungguhan melakukan sesuatu dengan sepenuhnya (tekad bulat) didasari oleh keinginan mencapai ridha Allah, 2) Bermakna permohonan bantuan Allah dalam rangka meraih keberhasilan terhadap apa yang dilakukan, 3) Tersirat rasa penyerahan diri secara total kepada Allah. Oleh karena itulah, antar niat dan ikhlas, keduanya tidak dapat dipisahkan.[5]

B.     Konsep Mengajar dan Mengamalkan Ilmu Pengetahuan

1.      Perumpamaan mengajarkan Ilmu
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
”Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengan itu seperti perumpamaan hujan yang membasahi tanah di bumi. Diantara tanah tersebut ada jenis tanah yang baik yang menyimpan air dan menumbuhkan tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Diantara tanah itu juga ada (ajadib) yang dapat menampung air sehingga Allah memberi manfaat kepada manusia dengan air tersebut lalu mereka meminumnya dan memberi minum hewan ternak, dan menyiram tanaman. Namun air hujan tersebut juga menimpa tanah yang lain yang disebut dengan (Qi’an) yang tidak bisa menampung air dan dan tidak pula menumbuhkan rerumputan. Permisalan itu seperti permisalan orang yang memahami ilmu agama Allah lalu dan mendapat manfaat dengan sesuatu yang Allah mengutusku dengannya, iapun mengilmui dan mengajarkannya. Dan juga permisalan orang yang enggan mengangkat kepalanya untuk ilmu serta tidak mau menerima petunjuk Allah dimana Allah mengutusku dengan hal itu” (HR. Bukhari dan Muslim).[6]
Imam Nawawiy rahimahullah menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah perumpamaan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah SAW. yang diibaratkan air hujan. Jadi bumi itu ada tiga jenis sebagaimana manusia juga ada tiga jenis yaitu:
Jenis Pertama, diibaratkan sebagai bumi atau tanah yang mengambil manfaat dari air hujan sehingga ia bisa hidup (subur) setelah ia mati (gersang) bahkan ia bisa menumbuhkan tanaman, dan manusia, hewan, tanaman, dan lainnya bisa memanfaatkannya. Demikian pula dengan manusia pada jenis pertama ini, di mana telah sampai petunjuk dan ilmu kepadanya lalu ia menghafalnya sehingga bisa menjadikan hatinya hidup, ia amalkan, dan ia ajarkan kepada orang lain. Sehingga orang itu mengambil manfaat dari ilmunya dan orang lainpun mendapatkan manfaat darinya.
Jenis Kedua, di ibaratkan sebagai tanah yang tidak dapat mengambil manfaat untuk dirinya dari air hujan akan tetapi tanah tersebut memiliki manfaat mampu menampung air, sehingga bisa dimanfaatkan oleh orang lain, dimanfaatkan oleh manusia dan hewan. Demikian pula dengan manusia tipe kedua, di mana mereka memiliki hati yang mampu menghafal ilmu, akan tetapi tidak memiliki pemahaman yang kuat terhadap ilmunya dalam mengambil hukum dari makna-makna yang ada. Ia juga tidak memiliki semangat dalam mengamalkan ilmunya. Hingga datanglah penuntut ilmu yang membutuhkan ilmunya sedangkan penuntut ilmu tersebut adalah seorang yang mahir dalam memanfaatkan (memahami) ilmu itu.
Jenis Ketiga, diibaratkan sebagai jenis tanah yang tidak bisa menumbuhkan tanaman dan tidak bisa menampung air sehingga orang lain tak bisa memanfaatkan air tersebut. Demikian pula jenis manusia yang ketiga yang tidak memiliki kemampuan menghafal ilmu, dan tidak pula memiliki kemampuan memahami ilmu. Jika mereka mendengarkan ilmu, maka ia tidak bisa mengambil manfaat dari ilmu tersebut dan tidak pula mampu menghafal untuk memberi manfaat kepada orang lain.
Demikian penjelasan Imam Nawawi rahimahullah  terkait makna hadits ini. Kita bisa melihat bahwa ilmu itu adalah penyejuk jiwa, ibarat air hujan yang menyirami bumi kemudian mendatangkan kesejukan, menumbuhkan tanaman sehingga nampak hijau indah dipandang mata. Tanpa ilmu hati akan menjadi gersang dan kering. Seperti hidup yang tak punya lagi harapan. Maka manusia yang paling berbahagia adalah manusia yang menerima petunjuk SAW. pedoman dalam kehidupan ini.
Hadist tersebut menjelaskan tentang:
a.       Perumpamaan orang yang faham agama (orang yang berilmu pengetahuan) lalu memanfaatkannya.
b.      Perumpamaan orang yang belajar (peserta didik) dan mengajarkan ilmu (pendidik).
c.       Perumpamaan orang yang tidak dapat mengangkat derajatnya karena tidak berilmu pengetahuan dan tidak menerima hidayah Allah SWT, walau telah ada ajaran Nabi SAW.
2. Keutamaan Mengajarkan Ilmu Pengetahuan

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادِ بْنِ أَنْعُمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِمَجْلِسَيْنِ فِي مَسْجِدِهِ فَقَالَ كِلَاهُمَا عَلَى خَيْرٍ وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ مِنْ صَاحِبِهِ أَمَّا هَؤُلَاءِ فَيَدْعُونَ اللَّهَ وَيَرْغَبُونَ إِلَيْهِ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ وَأَمَّا هَؤُلَاءِ فَيَتَعَلَّمُونَ الْفِقْهَ أَوْ الْعِلْمَ وَيُعَلِّمُونَ الْجَاهِلَ فَهُمْ أَفْضَلُ وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فِيهِمْ
“Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Yazid telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman bin Ziyad bin `An'um dari Abdur rahman bin rafi' dari Abdullah bin 'Amr: Bahwa Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam melewati dua majlis di dalam masjidnya, lalu beliau bersabda: "Keduanya (majlis) berada dalam kebaikan, dan salah satu dari lainnya lebih utama, Adapun (satu kelompok) mereka berdo`a kepada Allah dan mengharapkan (keridlaan) Nya, jika Ia kehendaki, maka akan Ia kabulkan, dan jika Ia kehendaki pula Ia akan tahan (tidak Ia kabulkan). Adapun mereka (satu kelompok lainnya) mereka memperdalam fikih dan ilmu (lain), lalu mereka mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui, mereka inilah yang lebih utama, dan aku diutus untuk menjadi seorang pengajar", perawi berkata: 'Kemudian beliau duduk bersama mereka (yang sedang belajar)".
Penjelasan:
a.    Perbandingan antara orang yang hanya berdoa meminta ridho Allah dengan orang yang belajar mendalami ilmu pengetahuan dan mengajarkannya. Kedua orang ini menurut Nabi semuanya dalam kebaikan. Tetapi orang yang belajar dan mengajar itu lebih utama.
b.    Keutamaan orang yang belajar (peserta didik) dengan yang mengajar (pendidik).
c.    Nabi menggambarkan bahwa Nabi juga seseorang pengajar (pendidik).
        Dalam Al-Qur’an dijelaskan akan tugas seseorang untuk memberi peringatan (pendidik) sebagai Berikut:

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.[7]
3. Mengamalkan Ilmu Pengetahuan
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.”[8]
Penjelasan:
        Hadits-hadits di atas menjelaskan keutamaan mengamalkan dan mengajarkan ilmu pengetahuan. Sebagai motivasi untuk selalu belajar dan mengajar. Pengamalan ilmu pengatuan merupakan suatu keharusan, karena ilmu tanpa pengamalan tidak ada gunanya, orang berpengetahuan tanpa diamalkan laksana lilin menerangi orang lain, tetapi membakar dirinya sendiri. Dalam al-Qur’an surat al-Shaf ayat: 2-3 dijelaskan gambaran orang yang tidak mengamalkan ilmu pengetahuannya sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat kebencian besar di sisi Allah yang kamu katakan apa-apa yang kamu kerjakan.”
Isi kandungan: Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan syariat-Nya, mengapa kalian menjanjikan sesuatu dan mengucapkan sesuatu yang kalian tidak lakukan? Ini adalah pengingkaran terhadap orang yang perbuatannya menyelisihi perkataaannya. Amat besar murka Allah bila kalian berkata dengan lisan kalian apa yang tidak kalian lakukan.
Suatu keharusan juga bagi orang yang berilmu pengetahuan untuk memberikan ilmu pengetahuannya kepada orang yang membutuhkan, dengan demikian keharusan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan keapada orang lain. Orang yang tidak mau memberikan Ilmu pengetahuan kepada orang lain, maka itu adalah suatu kesalahan, bahkan mendapatkan siksa. Hal ini dijelaskan dalam hadist berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia mengetahuinya, namun dia menyembunyikannya, maka dia akan diberi tali kekang dari neraka pada hari kiamat”. (HR. Tirmidzi, no. 2649; Abu Dawud, no. 3658; Ibnu Majah, no. 264; dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani).
Perkataan di dalam hadits di atas ‘Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia mengetahuinya’, yaitu ilmu yang dibutuhkan oleh penanya dalam urusan agamanya; ‘namun dia menyembunyikannya’, dengan tidak menjawab atau dengan menghalangi kitab/penulisan ilmu; ‘maka dia akan diberi tali kekang’, yaitu di mulutnya diberi kekang/kendali, karena mulut itu adalah tempat keluarnya ilmu dan perkataan; ‘dengan kekang dari neraka’, sebagai balasan baginya karena dia mengendalikan dirinya dengan diam. Dia diserupakan dengan hewan yang diatur dan dihalangi dari niatnya yang dia kehendaki, karena kedudukan seorang ‘alim adalah mengajak menuju al-haq.
As-Sayyid mengatakan: “Ini adalah di dalam ilmu yang harus diajarkan, seperti orang kafir yang meminta penjelasan tentang agama Islam; orang baru masuk Islam bertanya tentang tata cara sholat yang telah datang waktunya; dan seperti orang yang meminta fatwa tentang halal dan haram; di dalam semua perkara ini wajib dijawab. Bukan pertanyaan dalam masalah ilmu-ilmu nafilah (yang tidak wajib), yang tidak darurot/mendesak (maka tidak wajib dijawab)”
Hadits-hadits di atas dalam pendidikan Islam maka ini bicara tentang orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan yang dinamakan pendidik atau subjek pendidikan.[9]

C.     Hadits-Hadits tentang Belajar dan Mengajar

1.      Hadits tentang Belajar (Menuntut Ilmu)
a)      Larangan membiarkan kebodohan
Jabir ra. menuturkan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak pantas bagi orang bodoh mendiamkan kebodohannya. Juga tidak pantas orang yang berilmu itu mendiamkan ilmunya.” (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Sunni,dan Abu Nu’aim).
b)      Orang yang mengaku pintar sejatinya adalah orang bodoh
Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengatakan, ‘Aku orang yang alim’, maka dialah orang yang bodoh”. (HR. At-Tirmidzi).
c)      Setiap muslim wajib belajar
Anas bin Malik ra. mengatakan, Nabi Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Menuntut ilmu (belajar) adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan mengajarkan ilmu bukan pada ahlinya adalah seperti mengalungi babi dengan berlian, mutiara dan emas”. (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).
d)     Menuntut ilmu dapat mengahpus dosa
Nabi Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, ‘Belajar ilmu itu menghapus dosa-dosa besar dan belajar Al-quran itu menambah pengertian akan agama”. (HR. Ad-Dailami).
e)      Anjuran menuntut ilmu dengan rendah hati
Nabi Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Belajarlah ilmu (agama) kalian, juga belajarlah dengan tenang demi menuntut ilmu, dan rendah hatilah kalian kepada orang (guru) tempat kalian memnuntut ilmu”. (HR. Ath-Thabrani).
f)       Penuntut ilmu diberi kemudahan
Abu darda ra. mengatakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mempermudah baginyasuatu jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya bagi orang yang menntut ilmu karena ridanya dengan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya orang yang berilmu itu dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit dan yang ada di bumi termasuk ikan dalam air.dan kelebihan orang yang berilmu dari orang yang beribadah (tanpa ilmu) itu adalah bagaikan kelebihan bulan dari seluruh bintang yang lain. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para nabi itu tidak mewariskan dinar atau dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka dia mengambil bagian yang banyak”. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
g)      Pahala menuntut ilmu dan mengajarkannya
Abu Dzar ra. menceritakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, ”Wahai Abu Dzar, jika engkau pergi dan mempelajari satu ayat dari kitab Allah adalah lebih baik bagimu daripada kamu salat seratus rakaat. Jika engkau pergi lalu mempelajari suatu bab ilmu yang dapat diamalkan adalah lebih baik bagimu dibandingkan kamu salat seribu rakaat”. (HR. Ibnu Majah).
h)      Pahala penuntut ilmu yang meninggal dunia
Ibnu Abbas ra. menuturkan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang kedatangan maut saat menuntut ilmu, maka ia akan bertemu dengan Allah. Dan tiadalah batas antara dia dengan para nabi, melainkan hanya derajat kenabian”. (HR. Ath-Thabrani).
2.      Hadits tentang Mengajar (Menyampaikan Ilmu)
a)      Celakalah orang yang menyembunyikan ilmu
Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu pengetahuan lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat kelak Allah akan mengekangnya dengan api neraka”. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
b)      Anjuran menyebarkan ilmu (mengajar)
Pada kesempatan haji wada’ Nabi Saw. menyampaikan penjelasan tentang Islam. Lalu beliau menutup pertemuan tersebut dengan bersabda, “Hendaknya orang yang hadir di antara kalian menyampaikan sesuatu yang telah kamu dengar kepada orang yang tidak hadir pada pertemuan ini”. (HR. Jemaah Imam Hadis).
c)      Doa Rasulullah Saw. bagi pelajar
Ibnu Mas’udra. Mengutarakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “semoga Allah menjadikan baik seseorang yang mendengar sesuatu dari kami, lalu ia mau menyampaikannya seperti ia telah mendengarnya. Sebab banyak orang yang diberi tahu lebih mengerti dari orang yang menyampaikannya”. (HR. Abu Dawud).
d)     Keuntungan mengajar
Abu Umamah ra. mengutarakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, Allah, para Malaikat-Nya, serta semua penghuni langit dan bumi termasuk semut dalam lubangnya dan ikan-ikan, sungguh semuanya mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajari manusia”. (HR. At-Tirmidzi).
e)      Mengajarkan ilmu dapat mendatangkan pahala berlimpah
Sahl bin Mu’adz bin Anas mendengar penuturan bapaknya bahwa Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala dari orang-orang yang mengamalkannya dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala orang yang mengajarkannya itu”. (HR. Ibnu Majah).[10]   




[1] Zulfahmi Lubis, Kewajiban Belajar, 2016, hlm. 230-231.
[2] Suryani, Hadis Tarbawi Analisis Paedagogis Hadis-Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 39-40.
[3] Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Percetakan Sinar Baru Algensindo Offset, 2016), hlm. 21.
[4] Shahih Bukhari Juz I.
[5] Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015), hlm. 53.
[6] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz l, hlm. 180.
[7] Suryani, HADIS TARBAWI: Paedagogis Hadis-Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 44-48.
[8] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V, hlm. 126.
[9] Ibid., hlm. 48-52.
[10] Syamsul Rijal Hamid, Hadis dan Sunah Pilihan, (Jakarta: Kaysa Media, 2017), hlm. 407-412.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar