A. Kewajiban dan Motivasi Menuntut Ilmu
1. Kewajiban
menuntut ilmu
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya: “Mencari ilmu
itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”.
(HR. Ibnu Abdil Barr).
Ilmu
yang dimaksud di dalam Hadis ini adalah ilmu yang mesti diketahui seperti ilmu
mengenai Maha Pencipta, ilmu mengenai kenabian, ilmu mengenai tata cara shalat
dan lain sebagainya dan semua ini hukum mempelajarinya adalah wajib.[1]
من خرج في طلب العلم كان في سبيل الله حتى يرجع
Artinya
: “Barangsiapa keluar dalam rangka menuntut ilmu maka dia berada di jalan
Allah sampai dia kembali”. (HR. At-Tirmidzi).
Hadits
tentang keutamaan menuntut ilmu ini menjelaskan tentang :
a)
Pentingnya ilmu pengetahuan
b)
Kewajiban belajar
c)
Orang yang menuntut ilmu selalu berada di jalan Allah. Orang yang
menuntut ilmu ini dalam ilmu pendidikan dinamakan peserta pendidik (objek
pendidikan).
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting,
tanpa ilmu pengetahuan maka akan merajalela kejahilan, manusia akan minta
pendapat dan petuah kepada orang-orang jahil.[2] Secara
logika keutamaan ilmu tidak samar lagi karena dengan ilmu, pemiliknya dapat
sampai kepada Allah dan dekat di sisi-Nya, ilmu merupakan kebahgiaan yang abadi
dan kenikmatan yang kekal yang tiada akhirnya; dalam ilmu terdapat kemuliaan
hidup di dunia dan kebahagiaan di negeri akhirat.
Dunia merupakan lading akhirat, orang yang mengamalkan
ilmunya berarti menanam bagi dirinya kebahagiaan yang kekal, yaitu dengan
membersihkan akhlaknya sesuai dengan apa yang dituntut oleh ilmunya. Dan
barangkali dengan mengajarkannya dia menanamkan kebahagiaan yang abadi bagi
dirinya karena dengan ilmunya dia membersihkan akhlah manusia dengan ilmunya
dia menyeru mereka kepada hal-hal yang mendekatkan diri mereka kepada Allah
SWT.[3]
2. Motivasi
menuntut ilmu
حدثنا الحميدي عبد
الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد
بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضى الله
تعالى عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول '''إنما الأعمال
بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله و رسوله فهجرته إلى الله و
رسوله و من كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya : “Telah
menceritakan kepada kami, Al Hamidy Abdullah ibnu Az-Zubair, dia berkata telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dia berkata telah menceritakan kepada kami
Yahya ibnu Said Al-Anshory, dia berkata telah mengabarkan kepadaku Muhammad
ibnu Ibrahim At-Taimy, sesungguhnya dia telah mendengar Alqomah ibnu Waqosh
Al-Laitsy berkata aku mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu anhu di atas
mimbar. Beliau (Umar bin Khattab) berkata aku mendengar Rasulullah shalallahu
alayhi wa sallam sedang berkata, "Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu
bergantung pada niat-niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan
sesuai apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya
maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah kepada dunia
yang dikejarnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya kepada apa
yang diniatkannya”. (HR. Bukhari)[4]
Keikhlasan
berasal dari dorongan niat. Oleh karena itu, pada awal pembuka hadits Nabi Saw.
menekankan tentang peran dan kedudukan niat yang sangat menentukan dalam
berbagai aktivitas seseorang. Sesungguhnya niat mengandung tiga unsusr pokok,
yaitu; 1) Ikrar kesungguhan melakukan sesuatu dengan sepenuhnya (tekad bulat)
didasari oleh keinginan mencapai ridha Allah, 2) Bermakna permohonan bantuan Allah
dalam rangka meraih keberhasilan terhadap apa yang dilakukan, 3) Tersirat rasa
penyerahan diri secara total kepada Allah. Oleh karena itulah, antar niat dan
ikhlas, keduanya tidak dapat dipisahkan.[5]
B. Konsep Mengajar dan Mengamalkan Ilmu
Pengetahuan
1.
Perumpamaan
mengajarkan Ilmu
إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ
الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا
طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ
الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا
النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا
أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللهُ
بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ
يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
”Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan
ilmu yang Allah mengutusku dengan itu seperti perumpamaan hujan yang membasahi
tanah di bumi. Diantara tanah tersebut ada jenis tanah yang baik yang menyimpan
air dan menumbuhkan tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Diantara tanah itu
juga ada (ajadib) yang dapat menampung air sehingga Allah memberi manfaat
kepada manusia dengan air tersebut lalu mereka meminumnya dan memberi minum
hewan ternak, dan menyiram tanaman. Namun air hujan tersebut juga menimpa tanah
yang lain yang disebut dengan (Qi’an) yang tidak bisa menampung air dan dan
tidak pula menumbuhkan rerumputan. Permisalan itu seperti permisalan orang yang
memahami ilmu agama Allah lalu dan mendapat manfaat dengan sesuatu yang Allah
mengutusku dengannya, iapun mengilmui dan mengajarkannya. Dan juga permisalan
orang yang enggan mengangkat kepalanya untuk ilmu serta tidak mau menerima
petunjuk Allah dimana Allah mengutusku dengan hal itu” (HR.
Bukhari dan Muslim).[6]
Imam Nawawiy rahimahullah menjelaskan
bahwa maksud hadits ini adalah perumpamaan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah
SAW. yang diibaratkan air hujan. Jadi bumi itu ada tiga jenis
sebagaimana manusia juga ada tiga jenis yaitu:
Jenis Pertama,
diibaratkan sebagai bumi atau tanah yang mengambil manfaat dari air hujan
sehingga ia bisa hidup (subur) setelah ia mati (gersang) bahkan ia bisa
menumbuhkan tanaman, dan manusia, hewan, tanaman, dan lainnya bisa
memanfaatkannya. Demikian pula dengan manusia pada jenis pertama ini, di mana
telah sampai petunjuk dan ilmu kepadanya lalu ia menghafalnya sehingga bisa
menjadikan hatinya hidup, ia amalkan, dan ia ajarkan kepada orang lain.
Sehingga orang itu mengambil manfaat dari ilmunya dan orang lainpun mendapatkan
manfaat darinya.
Jenis Kedua, di
ibaratkan sebagai tanah yang tidak dapat mengambil manfaat untuk dirinya dari
air hujan akan tetapi tanah tersebut memiliki manfaat mampu menampung air,
sehingga bisa dimanfaatkan oleh orang lain, dimanfaatkan oleh manusia dan hewan. Demikian pula dengan
manusia tipe kedua, di mana mereka memiliki hati yang mampu menghafal ilmu,
akan tetapi tidak memiliki pemahaman yang kuat terhadap ilmunya dalam mengambil
hukum dari makna-makna yang ada. Ia juga tidak memiliki semangat dalam
mengamalkan ilmunya. Hingga datanglah penuntut ilmu yang membutuhkan ilmunya
sedangkan penuntut ilmu tersebut adalah seorang yang mahir dalam memanfaatkan
(memahami) ilmu itu.
Jenis Ketiga,
diibaratkan sebagai jenis tanah yang tidak bisa menumbuhkan tanaman dan tidak
bisa menampung air sehingga orang lain tak bisa memanfaatkan air tersebut.
Demikian pula jenis manusia yang ketiga yang tidak memiliki kemampuan menghafal
ilmu, dan tidak pula memiliki kemampuan memahami ilmu. Jika mereka mendengarkan
ilmu, maka ia tidak bisa mengambil manfaat dari ilmu tersebut dan tidak pula
mampu menghafal untuk memberi manfaat kepada orang lain.
Demikian penjelasan
Imam Nawawi rahimahullah terkait makna hadits ini.
Kita bisa melihat bahwa ilmu itu adalah penyejuk jiwa, ibarat air hujan yang
menyirami bumi kemudian mendatangkan kesejukan, menumbuhkan tanaman sehingga
nampak hijau indah dipandang mata. Tanpa ilmu hati akan menjadi gersang dan
kering. Seperti hidup yang tak punya lagi harapan. Maka manusia yang paling
berbahagia adalah manusia yang menerima petunjuk SAW. pedoman dalam
kehidupan ini.
Hadist tersebut menjelaskan tentang:
a. Perumpamaan
orang yang faham agama (orang yang berilmu pengetahuan) lalu memanfaatkannya.
b. Perumpamaan
orang yang belajar (peserta didik) dan mengajarkan ilmu (pendidik).
c. Perumpamaan
orang yang tidak dapat mengangkat derajatnya karena tidak berilmu pengetahuan
dan tidak menerima hidayah Allah SWT, walau telah ada ajaran Nabi SAW.
2. Keutamaan Mengajarkan Ilmu
Pengetahuan
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادِ بْنِ أَنْعُمَ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِمَجْلِسَيْنِ فِي مَسْجِدِهِ فَقَالَ
كِلَاهُمَا عَلَى خَيْرٍ وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ مِنْ صَاحِبِهِ أَمَّا هَؤُلَاءِ
فَيَدْعُونَ اللَّهَ وَيَرْغَبُونَ إِلَيْهِ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ
شَاءَ مَنَعَهُمْ وَأَمَّا هَؤُلَاءِ فَيَتَعَلَّمُونَ الْفِقْهَ أَوْ الْعِلْمَ
وَيُعَلِّمُونَ الْجَاهِلَ فَهُمْ أَفْضَلُ وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا قَالَ
ثُمَّ جَلَسَ فِيهِمْ
“Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Yazid telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman bin Ziyad bin `An'um dari Abdur rahman bin rafi' dari Abdullah bin 'Amr: Bahwa Rasulullah sallallahu 'alaihi wa
sallam melewati dua majlis di dalam masjidnya, lalu beliau bersabda:
"Keduanya (majlis) berada dalam kebaikan, dan salah satu dari lainnya
lebih utama, Adapun (satu kelompok) mereka berdo`a kepada Allah dan
mengharapkan (keridlaan) Nya, jika Ia kehendaki, maka akan Ia kabulkan, dan
jika Ia kehendaki pula Ia akan tahan (tidak Ia kabulkan). Adapun mereka (satu
kelompok lainnya) mereka memperdalam fikih dan ilmu (lain), lalu mereka
mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui, mereka inilah yang lebih utama,
dan aku diutus untuk menjadi seorang pengajar", perawi berkata: 'Kemudian
beliau duduk bersama mereka (yang sedang belajar)".
Penjelasan:
a. Perbandingan
antara orang yang hanya berdoa meminta ridho Allah dengan orang yang belajar
mendalami ilmu pengetahuan dan mengajarkannya. Kedua orang ini menurut Nabi
semuanya dalam kebaikan. Tetapi orang yang belajar dan mengajar itu lebih
utama.
b. Keutamaan
orang yang belajar (peserta didik) dengan yang mengajar (pendidik).
c. Nabi
menggambarkan bahwa Nabi juga seseorang pengajar (pendidik).
Dalam Al-Qur’an dijelaskan akan tugas
seseorang untuk memberi peringatan (pendidik) sebagai Berikut:
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا
نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.[7]
3.
Mengamalkan Ilmu Pengetahuan
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ
رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad
(ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya
harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia
ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.”[8]
Penjelasan:
Hadits-hadits di atas menjelaskan
keutamaan mengamalkan dan mengajarkan ilmu pengetahuan. Sebagai motivasi untuk
selalu belajar dan mengajar. Pengamalan ilmu pengatuan merupakan suatu
keharusan, karena ilmu tanpa pengamalan tidak ada gunanya, orang berpengetahuan
tanpa diamalkan laksana lilin menerangi orang lain, tetapi membakar dirinya
sendiri. Dalam al-Qur’an surat al-Shaf ayat: 2-3 dijelaskan gambaran orang yang
tidak mengamalkan ilmu pengetahuannya sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ
مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا
لَا تَفْعَلُونَ
”Wahai orang-orang
yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat
kebencian besar di sisi Allah yang kamu katakan apa-apa yang kamu kerjakan.”
Isi kandungan: Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan
Rasul-Nya serta melaksanakan syariat-Nya, mengapa kalian menjanjikan sesuatu
dan mengucapkan sesuatu yang kalian tidak lakukan? Ini adalah pengingkaran
terhadap orang yang perbuatannya menyelisihi perkataaannya. Amat
besar murka Allah bila kalian berkata dengan lisan kalian apa yang tidak kalian
lakukan.
Suatu
keharusan juga bagi orang yang berilmu pengetahuan untuk memberikan ilmu
pengetahuannya kepada orang yang membutuhkan, dengan demikian keharusan untuk
mengajarkan ilmu pengetahuan keapada orang lain. Orang yang tidak mau
memberikan Ilmu pengetahuan kepada orang lain, maka itu adalah suatu kesalahan,
bahkan mendapatkan siksa. Hal ini dijelaskan dalam hadist berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ
أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang
dia mengetahuinya, namun dia menyembunyikannya, maka dia akan diberi tali
kekang dari neraka pada hari kiamat”. (HR.
Tirmidzi, no. 2649; Abu Dawud, no. 3658; Ibnu Majah, no. 264; dishahîhkan
oleh Syaikh al-Albani).
Perkataan di dalam
hadits di atas ‘Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia
mengetahuinya’, yaitu ilmu yang dibutuhkan oleh penanya dalam urusan
agamanya; ‘namun dia menyembunyikannya’, dengan tidak menjawab
atau dengan menghalangi kitab/penulisan ilmu; ‘maka dia akan diberi
tali kekang’, yaitu di mulutnya diberi kekang/kendali, karena mulut
itu adalah tempat keluarnya ilmu dan perkataan; ‘dengan kekang dari
neraka’, sebagai balasan baginya karena dia mengendalikan dirinya
dengan diam. Dia diserupakan dengan hewan yang diatur dan dihalangi dari
niatnya yang dia kehendaki, karena kedudukan seorang ‘alim adalah mengajak
menuju al-haq.
As-Sayyid mengatakan:
“Ini adalah di dalam ilmu yang harus diajarkan, seperti orang kafir yang
meminta penjelasan tentang agama Islam; orang baru masuk Islam bertanya tentang
tata cara sholat yang telah datang waktunya; dan seperti orang yang
meminta fatwa tentang halal dan haram; di dalam semua perkara ini wajib
dijawab. Bukan pertanyaan dalam masalah ilmu-ilmu nafilah (yang
tidak wajib), yang tidak darurot/mendesak (maka tidak wajib
dijawab)”
Hadits-hadits
di atas dalam pendidikan Islam maka ini bicara tentang orang yang mengajarkan
ilmu pengetahuan yang dinamakan pendidik atau subjek pendidikan.[9]
C.
Hadits-Hadits tentang Belajar dan Mengajar
1. Hadits
tentang Belajar (Menuntut Ilmu)
a) Larangan
membiarkan kebodohan
Jabir
ra. menuturkan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak pantas bagi orang
bodoh mendiamkan kebodohannya. Juga tidak pantas orang yang berilmu itu
mendiamkan ilmunya.” (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Sunni,dan Abu Nu’aim).
b) Orang
yang mengaku pintar sejatinya adalah orang bodoh
Muhammad
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengatakan, ‘Aku orang yang
alim’, maka dialah orang yang bodoh”. (HR. At-Tirmidzi).
c) Setiap
muslim wajib belajar
Anas
bin Malik ra. mengatakan, Nabi Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Menuntut
ilmu (belajar) adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan mengajarkan ilmu bukan
pada ahlinya adalah seperti mengalungi babi dengan berlian, mutiara dan emas”. (HR.
Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).
d) Menuntut
ilmu dapat mengahpus dosa
Nabi
Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, ‘Belajar ilmu itu menghapus dosa-dosa
besar dan belajar Al-quran itu menambah pengertian akan agama”. (HR.
Ad-Dailami).
e) Anjuran
menuntut ilmu dengan rendah hati
Nabi
Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Belajarlah ilmu (agama) kalian, juga
belajarlah dengan tenang demi menuntut ilmu, dan rendah hatilah kalian kepada
orang (guru) tempat kalian memnuntut ilmu”. (HR. Ath-Thabrani).
f) Penuntut
ilmu diberi kemudahan
Abu
darda ra. mengatakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mempermudah baginyasuatu jalan
menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya bagi orang yang
menntut ilmu karena ridanya dengan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya orang yang
berilmu itu dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit dan yang ada di
bumi termasuk ikan dalam air.dan kelebihan orang yang berilmu dari orang yang
beribadah (tanpa ilmu) itu adalah bagaikan kelebihan bulan dari seluruh bintang
yang lain. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para nabi itu tidak
mewariskan dinar atau dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa
mengambilnya, maka dia mengambil bagian yang banyak”. (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi).
g) Pahala
menuntut ilmu dan mengajarkannya
Abu
Dzar ra. menceritakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, ”Wahai Abu Dzar,
jika engkau pergi dan mempelajari satu ayat dari kitab Allah adalah lebih baik
bagimu daripada kamu salat seratus rakaat. Jika engkau pergi lalu mempelajari
suatu bab ilmu yang dapat diamalkan adalah lebih baik bagimu dibandingkan kamu
salat seribu rakaat”. (HR. Ibnu Majah).
h) Pahala
penuntut ilmu yang meninggal dunia
Ibnu
Abbas ra. menuturkan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang
kedatangan maut saat menuntut ilmu, maka ia akan bertemu dengan Allah. Dan
tiadalah batas antara dia dengan para nabi, melainkan hanya derajat kenabian”.
(HR. Ath-Thabrani).
2. Hadits
tentang Mengajar (Menyampaikan Ilmu)
a) Celakalah
orang yang menyembunyikan ilmu
Muhammad
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu
pengetahuan lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat kelak Allah akan
mengekangnya dengan api neraka”. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
b) Anjuran
menyebarkan ilmu (mengajar)
Pada
kesempatan haji wada’ Nabi Saw. menyampaikan penjelasan tentang Islam.
Lalu beliau menutup pertemuan tersebut dengan bersabda, “Hendaknya orang
yang hadir di antara kalian menyampaikan sesuatu yang telah kamu dengar kepada
orang yang tidak hadir pada pertemuan ini”. (HR. Jemaah Imam Hadis).
c) Doa
Rasulullah Saw. bagi pelajar
Ibnu
Mas’udra. Mengutarakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “semoga Allah
menjadikan baik seseorang yang mendengar sesuatu dari kami, lalu ia mau
menyampaikannya seperti ia telah mendengarnya. Sebab banyak orang yang diberi
tahu lebih mengerti dari orang yang menyampaikannya”. (HR. Abu Dawud).
d) Keuntungan
mengajar
Abu
Umamah ra. mengutarakan, Muhammad Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, Allah,
para Malaikat-Nya, serta semua penghuni langit dan bumi termasuk semut dalam
lubangnya dan ikan-ikan, sungguh semuanya mendoakan kebaikan bagi orang-orang
yang mengajari manusia”. (HR. At-Tirmidzi).
e) Mengajarkan
ilmu dapat mendatangkan pahala berlimpah
Sahl
bin Mu’adz bin Anas mendengar penuturan bapaknya bahwa Muhammad Rasulullah Saw.
bersabda, “Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala
dari orang-orang yang mengamalkannya dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala
orang yang mengajarkannya itu”. (HR. Ibnu Majah).[10]
[2] Suryani, Hadis Tarbawi Analisis
Paedagogis Hadis-Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 39-40.
[3] Imam Al-Ghazali, Ringkasan
Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Percetakan Sinar Baru Algensindo Offset, 2016),
hlm. 21.
[4] Shahih Bukhari Juz I.
[5] Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2015), hlm. 53.
[7] Suryani, HADIS TARBAWI:
Paedagogis Hadis-Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 44-48.
[8] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz
V, hlm. 126.
[9] Ibid., hlm. 48-52.
[10] Syamsul Rijal Hamid, Hadis dan
Sunah Pilihan, (Jakarta: Kaysa Media, 2017), hlm. 407-412.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar