A.
Pengertian
Humanisme Pendidikan
Kata humanisme memiliki banyak pengertian, dilihat
dari sisi kebahasaan, istilah humanisme ini berasal dari kata Latin humanus dan
mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti
sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia. Adapun secara terminologis,
humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk
meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik nonfisik) secara penuh.
Dari penjelasan di atas, berarti humanisme adalah
aliran kefilsafatan yang menempatkan manusia sebagai subjek penting dengan
memberi kebebasan untuk bisa mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki,
mengingatkan kembali akan eksistensinya, kedudukan serta tanggung jawab dalam
kehidupannya. Dalam proses inilah keberadaan agama menjadi penting untuk
direfleksikan, sebab umumnya diyakini bahwa agama pun menyimpan cita-cita
serupa.[1]
Himpunan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan
yang disepakati bersama, bisa dikemukakan dalam arti yang luas dalam istilah
humanisme. Humanisme ialah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok
yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Ia memandang
manusia sebagai makhluk mulia dan prinsip-prinsip yang disarankannya didasarkan
atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk spesies manusia.[2]
Pendidikan
humanistik bermakna menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia dalam
arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang
utuh berkembang. Konsepsi ajaran humanistik menjelaskan bahwa peserta didik
merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan
lingkungannya. Pendidikan humanis sebagai pemikiran pendidikan telah berkembang
dengan mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan dari dua aliran, yaitu :
progresivisme dan ekstensialisme.
Prinsip pendidikan humanis yang diambil
dari prinsip progresivisme adalah pendidikan berpusat pada anak (student
centered), guru tidak otoriter berfokus pada keterlibatan dan aktivitas siswa
dan aspek pendidikan yang demokratis dan kooperatif. Di sisi lain prinsip pendidikan humanis yang mengacu pada pandangan
pada eksistensialisme menekankan pada keunikan siswa sebagai individu, setiap
siswa dipandang individu yang memiliki keunikan yang berbeda dengan siswa lain.
Pendidik humanis yang mengikuti pandangan eksistensialisme akan memberikan
kebebasan atau kemerdekaan dalam diri individu, siswa membangun dirinya menjadi
seperti apa yang diinginkan.[3]
B.
Latar
Belakang Humanisme
Sejarah
awal humanisme dapat kita lihat dari hiruk-pikuk di Eropa pada abad ke14. Saat
itu wacana agama mulai dianggap mengekang melalui konsep-konsep doktrin dan
akhlak yang didasari ketakutan atas dosa, dan kemurkaan Tuhan. Ironis adalah
ketika wacana teologis semakin disucikan, sementara perlakuan terhadap manusia
justru semakin tidak manusiawi (terjadi pula praktik inkuisisi yang dilakukan
gereja). Para pemuka agama begitu mudah marah atas praktik-praktik
pembangkangan dan segala sesuatu yang dianggap penyimpangan agama, sementara
mereka menyelesaikan masalah itu dengan tindakan yang kejam dan sewenang-wenang
yang justru dianggap sebagai perjuangan kesalehan.
Semangat
keagamaan yang menggebu namun justru melupakan nilai-nilai kehidupan bersama,
kemanusiaan dan bahkan hakikat dasar agama itu sendiri ini akhirya menggerakan
kaum literati dan kaum terpelajar mulai berfikir untuk mengambil sikap kritis
dan mandiri. Mereka beranggapan bahwa ajaran Yunani kuno di mana rasionalitas
dan kebebasan manusia pernah dijunjung tinggi merupakan acuan ideal dalam
kehidupan.
Merekapun
mengembangkan gerakan kesadaran intelektual yang kembali mengacu kepada visi
humanisme Yunani klasik, Paideia. Paidea adalah suatu sistem
pendidikan Yunani kuno dengan visi mengupayakan manusia ideal (manusia yang
mengalami keselarasan jiwa dan badan, atau suatu kondisi dimana manusia
mencapai kebahagiaan) yang juga merupakan akar purba dari humanisme.
Gerakan
humanisme di Eropa sendiri diawali dengan humanisme Reinaisance yang
saat itu terjadi di Italia. Gerakan ini bermaksud membebaskan individualitas
dari belenggu agama dan feodalisme, serta menekankan pengembangan kemanusiaan
melalui studi kesusasteraan Yunani dan Latin kuno juga menekankan dimensi
sekuler dari pengalaman manusia namun bukan sebagai kekuatan transformasi dan
reformasi sosial.
Berbeda
dengan humanisme Reinaisance di Italia, di Jerman gerakan ini terus
menekankan perhatian pada kehidupan agama, namun dengan pendekatan yang lebih
individualistik juga subyektif dan akhirnya menghasilkan reformasi Protestan
yang diikuti transformasi dan reformasi sosial juga.[4]
C.
Jenis-Jenis
Humanisme Modern
1.
Humanisme Sekuler
Humanisme
sekuler yang berawal dari gerakan sekulerisme ini mengurus dan mengelola
kehidupan ini tanpa mengaitkannya dengan urusan-urusan religius, adikodrati dan
keakhiratan, melainkan mengarahkan diri pada konteks duniawi saja. Sekulerisme
awalnya dicetuskan sebagai sistem etika dan filsafat formal oleh J. Holoyake
tahun oleh 1846 di Inggris. Dasar pemikirannya adalah kebebasan berfikir
sebagai hak manusia demi kepentingan manusia sendiri.
Humanisme
sekuler sendiri tidak selalu menekankan bahwa kebaikan hidup di dunia ini
adalah kebaikan yang juga benar-benar nyata. Usaha untuk memperoleh kebaikan
hidup adalah dengan melakukan kebaikan pula. Ketika manusia masih hidup di
duniapun manusia sebenarnya bisa mendapatan kehidupan yang baik. Manusia tidak
seharusnya hidup dalam kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan keserakahan,
melainkan harus hidup untuk memajukan kehidupannya dengan bijaksana dan penuh
belas kasih. Humanisme sekuler tidak selalu menentang agama namun tidak juga
menentang adanya cahaya kebenaran, kebaikan, dan adanya bimbingan dari
kenyataan real di alam ini
Humanisme
sekuler meyakini bahwa semua orang pada dasarnya mampu menggali pengalaman
hidupnya sendiri dan menarik banyak pelajaran, nilai dan makna yang penting
dari petualanganya. Petualangan yang akan membawa pada nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang luhur mengenai kebenaran, kebaikan, keindahan, kematangan,
kesucian, dan sebagainya
Menurut
Praja salah satu prinsip dasar humanisme sekuler adalah toleransi. Dengan ciri
ini, maka kita bisa melihat bahwa penganutnya tidak akan keberatan untuk bekerjasama
dengan kaum theis, maupun atheis. Agama dalam pandangan humanisme sekuler
hanyalah berkenaan dengan eksistensi pribadi, sehingga tidak seharusnya
menimbulkan pertumpahan darah, kefanatikan, dan sebagainya. Maka menurut
pandangan humanisme sekuler, sudah seharusnya agama menjadi kebebasan hak
inidividu, dengan toleransi agama sebagai solusi konflik.
Kebanyakan
penganut humanisme sekuler mengklaim bahwa mereka telah berhasil dengan sukses
mengembangkan sistem moral yang tidak bergantung pada wahyu Tuhan. Ini
dilandaskan pada pemikiran seperti:
a) Sistem moral dan etika dapat dikembangkan
melalui perjanjian berlawanan, mirip seperti undang-undang dan kebutuhan
social.
b) Hal ini dapat didasari oleh keperluan
secara keseluruhan, yang dimiliki manusia seperti kelangsungan hidup, keamanan,
pemenuhan kebutuhan pribadi dan cinta.
c) Manusia adalah makhluk sosial yang dapat
mencapai hal besar dengan kerjasama.
d) Manusia akan dengan senang hati mengikuti
suatu undang-undang kemanusiaan karena itu efektif dan berguna untuk memenuhi
kebutuhan diri, dengan perasaan alami kekhawatiran kasih sayang dan simpati
yang beriringan, diterima oleh orang lain, tanpa kecaman dan penolakan, tidak
diperlukan sistem hukuman dan penghargaan dalam melaksanakan suatu
undang-undang seperti itu.
Sebagai
penganut humanisme sekuler, mereka menolak konsep Tuhan personal dan
mempertimbangkan manusia sebagai otoritas tertinggi. Keyakinan ini tentunya
sebagai berikut.
a) Berharganya dan bermartabatnya setiap
individu adalah nilai humanis yang utama.
b) Sebuah penolakan alam semesta dibuat dalam
mendukung teori evolusi dan alam semesta mematuhi hukum alam.
c) Penolakan terhadap kitab undang-undang dan
moral Illahi dan mendukung undang-undang yang dikembangkan atas dasar manusia.
d) Keyakinan bahwa tanggung
jawab penuh untuk masa depan dunia, sistem politiknya, ekonomi nya dll adalah
di tangan manusia. Tidak ada Tuhan di surga, yang akan melakukan intervensi dan
dapat menyimpan bencana.[5]
2.
Humanisme Religius
Dalam
humanisme religius, agama dimaknai secara fungsional. Fungsi agama ialah untuk
melayani kebutuhan personal atau kelompok sosial. Oleh karena itu, Islam
merupakan agama yang menjadikan manusia sebagaimana adanya, atau lebih
tepatnya, Islam selaras dengan fitrah manusia. Manusia menurut pandangan
Islam yang akan menjadi dasar pijakan bagi sebuah pendidikan Islam yang
humanis, yang meliputi hakikat wujud manusia dan potensi insaniah manusia.[6]
a)
Tujuan Hidup
Manusia
Al-Quran
menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak
dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang
luas. Yaitu nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Pendeknya, tujuan hidup manusia adalah
ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.
Tujuan
hidup ini pada gilirannya akan bersingguangan dengan tujuan pendidikan Islam,
sebab pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia. Dengan
demikian, tujuan hidup Muslim merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.
b)
Kedudukan dan
Tugas Manusia
Kedudukan
manusia menurut Al-Quran adalah khalifah Allah di bumi. Pengertian khalifah
dalam hal kedudukan manusia adalah pengganti. Jadi khalifah Allah
berarti pengganti Allah. Menurut Hasan Langgulung manusia selaku khalifah
Allah di bumi mempunyai beberapa karakteristik seperti. Pertama, manusia
selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak yang menyebabkan manusia
dapat memilih tingkah lakunya sendiri. Kedua, manusia dibekali akal yang
dengan akal itu manusia mampu membuat pilihan antara yang benar dan yang salah.
Tugas
manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan jalan
memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain manusia
sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan (al-asma
al-husna) menurut perintah dan petunjuk-Nya. Satu hal yang perlu
dikemukakan di sini adalah sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan
oleh manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas sesuai dengan watak
keterbatasan manusia.
c)
Potensi Insaniah
Manusia
Untuk
melaksanakan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali Tuhan dengan berbagai
potensi (fitrah) sebagai anugerah. Berdasarkan hal tersebut, para ahli filsafat
memberikan beberapa predikat kepada manusia antara lain:
1)
Homo Sapiens (makhluk
yang mempunyai budi pekerti).
2)
Homo Religius (makhluk
yang beragama).
3)
Homo Planemanet (makhluk
yang terdiri dari unsur rohaniah-spiritual).
Terlepas dari itu semua, pemikiran humanisme yang
berdasarkan agama sebenarnya menghendaki agar kaum agama mempunyai perhatian
dalam menciptakan tata sosial moral yang adil. Dalam Islam, pandangan tentang
humanisme dapat dieksplorasi dengan pemaknaan agama pada nilai-nilai manusiawi.
Segala kebutuhan manusia dan masyarakat adalah tujuan
dari pembelaan agama. Secara vertikal dan transendental, bisa saja
pengamalan agama berorientasi pada Tuhan, namun secara horizontal, imanental
dan humanistik, yaitu beragama untuk manusia dan demi memenuhi
harapan kemanusiaan.
Humanisme dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep hablum
minannas, manusia sebagai agen tuhan di bumi atau khalifatullah yang
memiliki seperangkat tanggung jawab baik sosial atau lingkungan. Humanisme
religius menurut Rahman adalah shock theraphy terhadap ketidakseimbangan
paradigmatik yang berkembang dalam dunia pendidikan Islam.
Persamaan kedua humanisme dari sudut pandang filsafat,
tak jarang menuai ketidaksepakatan pula dalam definisi agama dan filsafat praktis.
Definisi agama digunakan oleh humanis religius secara fungsional, karena
humanisme agama adalah keyakinan di dalam aksi. Lain halnya dengan humanisme
sekuler yang melakukan pemberontakan terhadap agama karena mereka menganggap
bahwa agama tidak bisa diharapkan untuk mengadvokasi masalah kemanusiaan,
bahkan agama sering menimbulkan masalah kemanusiaan.
Meskipun
terdapat adanya silang pendapat antara humanisme religius dan humanisme sekuler
namun sebenarnya tetap bisa diselesaikan. Manusia adalah makhluk yang berakal,
Allah menganugerahkan akal dan pikiran kepada manusia agar bisa digunakan
dengan baik untuk mendapatkan kebenaran dalam hidup. Menanggapi permasalahan di
atas, Abdurrahman Mas‟ud menyebutkan “Kalau kita bisa mengembalikan nilai
kritis dan substansi dasar agama, seperti dalam nilai-nilai Islam al-adlah (keadilan),
al-musawah (egalitarian), asyuro (musyawarah), dan alkhuriatul
ikhtiar (kebebasan memilih) dalam kontek khifdhul mal (perlindungan
harta), khifdhul nafs (perlindungan jiwa), khifdhul din (perlindungan
agama), khifdhul „aql (perlindungan akal), dan khifdhul nazl (perlindungan
keturunan), niscaya tidak ada sengketa antara humanisme religius dan sekuler.[8]
D.
Pemikiran
Humanistik Pendidikan Naquib Al-Attas dan Paulo Freire
1. Pemikiran Humanistik
Persamaan
pemikiran humanistik antara Naquib al-Attas dan Paulo Freire adalah
menghidupkan pengalaman “demokrasi” dalam dunia pendidikan. Gerakan humanistik
Naquib al-Attas dan Paulo Freire dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha
yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan.
Artinya, pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas
manusia.
Adapun
persamaan pemikiran humanistik antara Paulo Freire dan Naquib al-Attas ialah:
a) Masing-masing pemikiran muncul dalam latar
belakang sosio-kultural yang kurang bahkan tidak manusiawi.
b) Mensosialisasikan konseptualisasi dasar
perjuangannya bagi upaya membebaskan manusia.
c) Menekankan pada faktor manusia dan
struktur sosial sebagai elemen yang harus diubah.
d) Memandang manusia sebagai entitas merdeka
yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan artikulasi
kesadarannya dalam memaknai kehidupannya baik yang bersifat pribadi maupun
sosial.
e) Bersinggung secara erat dalam dimensi
historis dan tematis.
Sedangkan
perbedaan dalam pemikiran humanistik antara Paulo Freire dengan Naquib al-
Attas yaitu: dasar dari pemikiran humanistik menurut Paulo Freire terletak pada
realitas empirissemata, sedangkan Naquib al-Attas wahyu sekaligus realitas.
Adapun tujuannya bahwa kehidupan duniawiyah menjadi tujuan final dalam
pemikiran Paulo Freire, sedangkan Naquib al-Attas adanya integrasi kehidupan
duniawi-ukhrawi menjadi tujuan final. Paulo Freire berpendapat bahwa konsep
manusia sebagai makhluk yang bebas atau merdeka, sedang Naquib al-Attas manusia
bebas, akan tetapi masih memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan dan manusia.
Berkaitan dengan nilai, Paulo Freire berpendapat bahwa humanistik bebas nilai,
sedangkan Naquib al-Attas bersifat terikat dengan dimensi spiritual transendental.
2. Relevansi dan Implikasi Pemikiran
Humanistik bagi Dunia Pendidikan Islam Masa Kini
Freire
menempatkan kesejatian fitrah manusia untuk merdeka dari situasi yang menindas
karena eksploitasi kelas, dominasi gender, dan hegemoni budaya. Jadi, Freire telah
berusaha mengembalikan pendidikan sebagai tempat bagi harkat kemanusiaan yang
diarahkan kepada pembebasan manusia. Sedangkan faktor penting dalam proses ini
adalah kesadaran. Pendidikan bagi Freire haruslah berorientasi pada pengenalan
realitas diri manusia dan dirinya sendiri baik secara subyektif dan obyektif
dalam fungsi yang dialektis. Selain itu, pendidikan baginya adalah untuk
pembebasan dan bukan untuk dominasi.
Naquib
al-Attas telah menempatkan kesejatian fitrah manusia untuk selalu berikhtiyar dari
keterkungkungan dualisme (dikotomi) kehidupan dengan tetap memperhatikan
tanggungjawab terhadap Tuhan dan kehidupan. Manusia baginya harus menjadi khalifatullah.
Manusia utuh bagi Naquib al-Attas adalah manusia yang menempatkan kesadaran
akan tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan sesama manusia.
Jadi,
meskipun ada keterkaitan antara pemikiran humanistik Paulo Freire dengan Naquib
al-Attas dalam dunia pendidikan Islam, pemikiran humanistik Naquib al-Attas
nampaknya lebih relevan daripada pemikiran humanistik Paulo Freire terutama
jika dikaitkan dengan problema pendidikan Islam masa kini.
Dengan
demikian, pemikiran Naquib al-Attas mengandung implikasi yang sangat dalam bagi
dunia pendidikan Islam. Sebab, jika dalam proses pendidikan Islam ditanamkan
tentang “kebebasan” yang syarat akan “nilai Ilahiyah”, tentu akan membawa
implikasi yang positif dalam proses pendidikan Islam yaitu manusia yang ideal
atau Insan Kamil.
3. Aktualisasi Pemikiran Humanistik bagi
Dunia Pendidikan Islam Masa Kini
Melihat
berbagai problematika umat Islam berkaitan dengan dunia pendidikan Islam di era
modern ini, setidaknya ada tiga hal yang perlu dikemukakan di sini. Pertama,
dibutuhkan perumusan serta internalisasi etika yang dibangun berdasarkan
percikan agama yakni umat Islam yang religius dan modern. Sikap dan gairah
berprestasi, terbuka, disiplin, menghargai akal sehat, dan bertanggungjawab
merupakan prinsip-prinsip yang harus ditegakkan. Budaya rihlah, semangat
mengajar dan menggali ilmu pengetahuan yang dulu membudaya dalam sejarah Islam
harus dibangun kembali.
Kedua,
upaya penciptaan ilmu yang kondusif terhadap aktualisasi terhadap sistem nilai
dalam rangka memusatkan manusia sebagai aktor perubahan merupakan sebuah
keniscayaan; conditio sine quanon. Upaya ini harus diiringi dengan
adanya keseimbangan antara konsep khalifatullah dan Abd Allah yang
diupayakan semaksimal mungkin dalam dunia pendidikan Islam.
Ketiga,
upaya-upaya
pengembangan masyarakat dengan misi pembebasan dan pemberdayaan umat perlu
ditegakkan secara kontinu, terpadu dan bertanggungjawab. Dalam kontek inilah
perlu ditegakan sikap kritis, yakni pendidikan Islam yang mampu melahirkan
sikap berani menyuarakan kebenaran.[9]
E.
Konsep
Humanisme Religius dalam Pendidikan Islam
Istilah pendidikan humanis-religius mengandung dua konsep
pendidikan yang ingin diintegrasikan, yaitu pendidikan humanis dan pendidikan
religius. Pengintegrasian dua konsep pendidikan ini dengan tujuan untuk dapat
membangun sistem pendidikan yang dapat mengintegrasikan keduanya. Pendidikan
humanis yang menekankan aspek kemerdekaan individu diintegrasikan dengan
pendidikan religius agar dapat membangun kehidupan individu (sosial) yang memiliki kemerdekaan,
tetapi dengan tidak meninggalkan (sekuler) nilai-nilai keagamaan yang diikuti
masyarakat atau menolak nilai keTuhanan (atheisme).
Pendidikan humanis-religius merupakan
sebuah konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya
humanisme ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab atas ungkapan Hablun
Min Allah dan Hablun Min An-Nas.[10]
Apabila
dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka humanisme religius dalam
pendidikan merujuk pada adanya unsur “memanusiakan manusia” dalam pendidikan,
sekaligus menjiwainya dengan nilai-nilai luhur dari agama. Jadi, seluruh
aktivitas pendidikan dijiwai oleh semangat untuk mengembangkan seluruh potensi
manusia agar menjadi manusia yang sempurna sekaligus manusia yang dijiwai oleh
nilai-nilai agama.
Pendidikan
yang humanis-religius mengakomodasi gagasan untuk mengembangkan seluruh
potensi manusia sekaligus membimbingnya sesuai dengan nilai-nilai agama. Di
Indonesia, nilai-nilai agama yang dimaksud adalah semua agama yang dianut oleh
bangsa Indonesia. Sementara dalam dunia Islam, pendidikan humanis-religius merupakan
pendidikan yang dilandasi dan dijiwai oleh ajaran-ajaran Islam.
Humanisme
dalam pendidikan artinya proses pendidikan yang mengembangkan potensi manusia
sebagai makhluk sosial dan makhluk religius, tidak hanya berfokus pada salah
satu, karena mengingat manusia adalah abdullah dan khalifatullah yang
diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengembangkan yang dia miliki.[11]
Setidaknya
ada beberapa hal pokok yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan
Islam dengan paradigma humanistik, yakni common sense (akal sehat),
individualis menuju kemandirian, dan first for knowledge.
1.
Common Sense (akal
sehat)
Tujuan
penciptaan manusia diantaranya adalah menjadi seorang khalifah sebagai wakil
Tuhan di bumi. Penyebab menjadi kholifatullah fil ardl adalah
kemampuan Nabi Adam a.s dalam memanfaatkan akal sehat secara proporsional.
Kelebihan manusia dibanding mahluk lainnya adalah kemampuan berfikirnya. Dalam
pandangan Islam, kelebihan manusia lainnya adalah tugas yang diembannya,
potensi-potensi dasarnya, dan kemungkinankemungkinan untuk berkembang untuk mewujudkan
tugas manusia. Dalam Islam, al-alim lebih utama dan al-abid yang
notabene dibedakan dari akal sehatnya. Dalam ayat yang sangat populer diajarkan
bahwa orang-orang yang berilmu ditinggikan derajatnya beberapa tingkat.
2.
Individualisme
menuju kemandirian
Pengembangan
manusia menjadi individu yang saleh, insan kamil, dengan berbagai keterampilan
dan kemampuan serta mandiri adalah sasaran utama pendidikan Islam. Ada yang
salah dalam mengartikan individualism yang diartikan egoisme, selfish,
annaniyah, dan lebih mementingkan diri sendiri. Self-reliance atau kemandirian
adalah tujuan utama konsep individualisme. Dalam Islam, individualisme bukanlah
larangan. Jika penekanannya pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi, justru
menjadi seruan dalam Islam. Bahwa semua anggota badan manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya di depan Sang Pencipta, penafsiran sebagai tugas
pendidikan dalam melembagakan tangung jawab pribadi, sosial, dan keagamaan.
Konsep
individualisme dalam Islam berangkat dari tangung jawab dan tugas mulia
individu, keluarga, masyarakat, dan negara secara luas serta masyarakat
internasional. Kesalehan yang dilengkapi dengan kemampuan pribadi untuk
menggunakan segala kemampuannya dalam menegakkan keadilan, serta menciptakan
kemaslahatan. Dengan demikian kesalehan dalam konsep individualisme Islam
adalah pribadi yang beriman dan bertakwa, dinamis, progresif, serta tanggap
terhadap lingkungan, perubahan, dan perkembangan.
3.
First For
Knowledge
Islam
adalah agama yang dengan jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi
khusus. Karena ilmu merupakan pancaran cahaya kehidupan manusia yang dapat
menerangi dan mengarahkan jalan hidupnya ke arah yang lurus. Allah akan
mengangkat manusia yang beriman dan berilmu diantara manusia yang mulia. Islam
mendorong pengikutnya untuk mengajar ilmu pengetahuan dengan segala
kemampuannya meskipun jauh di negeri Cina. Ajaran normatif tentang semngat
mencintai ilmu terbukti dalam sejarah Islam, khususnya dari abad ke 7 M sampai
11 M.[12]
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses
pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah
keberadaannya. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan
perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan
kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran.
Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif
menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses
“isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.[13]
F.
Biografi
Abu Hasan Al-Mawardi
Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin
Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia lahir di Basra pada tahun 364 H/975 M, dan
wafat di Bagdad pada tahun 450 H/1058 M. Ia adalah seorang pemikir Islam yang
terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar
pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Sungguhpun demikian, ia termasuk
penulis produktif, cukup banyak bukunya dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari
ilmu bahasa, sastra, tafsir sampai dengan ketatanegaraan.
Al-Mawardi dibesarkan di Bagdad, dan dari ulama-ulama
terkemuka di wilayah tersebut ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama
Islam. Diantara guru-gurunya adalah; al-Hasan Ibnu Ali al-Hambali, Muhammad
Ibnu Adi al-Muqri, Muhammad ibnu al-Ma’ali al-Asdi, Ja’far ibnu Muhammad ibnu
al-Fadl al-Baghadi, dan Abu Hamid al-Isfiraini. Gurunya yang terakhir ini amat
berpengaruh pada diri al-Mawardi. Pada gurunya itulah Ia mendalami mazhab
Syafi’i dalam kuliah rutin yang diadakan di sebuah masjid yang terkenal dengan
masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.
Kedalaman ilmu dan ketinggian akhlak al-Mawardi telah
membuat Ia terkenal sebagai seorang panutan yang disegani dan berwibawa
dikalangannya, baik oleh masyarakat umum, maupun oleh pihak pemerintah. Oleh
sebab itu, Ia beberapa kali ditunjuk sebagai hakim kerajaan di Baghdad dalam
pemerintahan Abbasiyah. Dan pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423
H/1031 M) karir al-Mawardi meningkat, yaitu ia diangkat menjadi hakim agung
(qadi al-qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama dan pemerintahan.
Di samping itu ia juga mengajar, banyak ulama
terkemuka sebagai hasil dari bimbingannya. Diantaranya; Abu al-Ainain Kadiri
dan Abu Bakar al-Khattib. Disamping mengajar, kegiatan ilmiah yang ditekuninya
adalah mengarang. Banyak kitab-kitab berharga yang diwariskan dalam berbagai
bidang, seperti ushul fiqih, fiqih, hadits, tafsir, fiqih siyasah. Pada fiqih
siyasah ini namanyamenonjol karena bahkan sampai sekarang menjadi referensi
untuk ilmu politik dan pemerintahan menurut fiqih Islam.[14]
1.
Pandangan al-Mawardi tentang Negara
Mengutip Abdul Qadim Zalum, definisi
negara menurut al- Mawardi adalah alat atau sarana untuk menciptakan dan
memelihara kemaslahatan. Karena Islam sudah menjadi ideologi politik bagi
masyarakat dalam kerangka yang lebih konkret, bahwa Islam memerintahkan kaum
Muslimin untuk menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum
Islam. Masalah politik, ekonomi, sipil, militer, pidana, dan perdata diatur
jelas oleh Islam. Hal itu membuktikan bahwa Islam merupakan sistem bagi negara
dan pemerintahan, serta untuk mengatur masyarakat, umat, dan individu-individu.
2.
Pandangan al-Mawardi tentang Pemimpin dan
Negara
Al-Mawardi sangat memerhatikan secara
serius tentang kepemimpinan (imâmah atau khilâfah). Baginya,
pemimpin adalah cerminan dan kunci kesejahteraan masyarakat. Imâmah atau
khilâfah dilembagakan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah)
dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan imâmah
atau khilâfah adalah fardu kifayah berdasarkan ijmak ulama.31 Pandangan ini didasarkan atas realitas sejarah al-Khulafâ
al-Râsyidûn dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik dari Bani Umayyah
maupun Bani ‘Abbas. Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah usul fikih yang
menyatakan mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (suatu
kewajiban itu tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat itu juga
wajib hukumnya), juga kaidah amr bi syay amr bi wasâilihi (perintah
mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang
berhubungan dengannya). Sarana atau alat untuk menegakkan imâmah adalah
negara, sehingga pendirian negara juga wajib.
3.
Pandangan
al-Mawardi tentang Teori Kontrak Sosial
Teori ini adalah pembahasan mengenai
hubungan antara Ahl al-Ikhtiyâr dan kepala negara, yaitu hubungan antara
dua pihak peserta kontrak sosial atas dasar sukarela dan melahirkan kewajiban
dan hak bagi kedua belah pihak. Oleh karenanya, di samping kepala negara berhak
untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia juga
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya. Rakyat
wajib menaati khalifah selagi khalifah adalah sosok yang adil dan amanah
terhadap rakyat. Serta tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.
Namun jika sebaliknya, rakyat berhak menurunkan khalifah. Atas hal itu,
al-Mawardi menganggap bahwa kekuasaan kepala negara bukanlah sesuatu yang suci.[15]
[1] Ida
Nurjanah, Paradigma Humanisme Religius Pendidikan Islam, Jurnal Misykat,
Vol. 3, No. 1, Tahun 2018, hlm. 158-159.
[2] Ali
Syari’ati, Humanisme antara Islam dan Maszab Barat, diterjemahkan Afif
Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 39.
[3] Zainul
Arifin, Nilai Pendidikan Humanis-Religius, Jurnal An-Nuha, Vol. 1, No.
2, Tahun 2014, hlm. 64.
[4] Norma Pawestri, Humanisme
Sekuler dalam Drama Die Juden Karya Gotthold Ephraim Lessing,
Skripsi,
FBS UNY, Tahun 2013, hlm. 23-24.
[6] Yushinta
Eka Farida, Humanisme dalam Pendidikan Islam, Jurnal Tarbawi, Vo. 12,
No. 1, Tahun 2015, hlm. 110-111.
[7] Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistimologi Islam dalam
Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 68-71.
[9] Khusnul Mualim, Gagasan
Pemikiran Humanistik dalam Pendidikan (Perbandingan Pemikiran Naquib al-Attas
dengan Paulo Freire, Al-ASASIYYA: Journal of Basic Education,
Vol. 1, No. 2, Tahun 2017, hlm. 8-16.
[13] Fakhruddin,
Konsep Humanistik Ditinjau dari Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal
Kajian Kemanusiaan dan Kemasyarakatan, Vol. 1, No. 2, Tahun 2016, hlm. 154.
[14] Muhammad
Amin, Pemikiran Politik Al-Mawardi, Jurnal Politik Profetik, Vol. 4, No.
2, Tahun 2016, hlm. 121-122.
[15] Rashda
Diana, Al-Mawardi dan Konsep Kenegeraan dalam Islam, Tsaqafah Jurnal
Peradaban Islam, Vol. 13, No. 1, Tahun 2017, hlm. 164-170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar