Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

HUMANISME PENDIDIKAN


HUMANISME PENDIDIKAN




A.    Pengertian Humanisme Pendidikan

Kata humanisme memiliki banyak pengertian, dilihat dari sisi kebahasaan, istilah humanisme ini berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia. Adapun secara terminologis, humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik nonfisik) secara penuh.
Dari penjelasan di atas, berarti humanisme adalah aliran kefilsafatan yang menempatkan manusia sebagai subjek penting dengan memberi kebebasan untuk bisa mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki, mengingatkan kembali akan eksistensinya, kedudukan serta tanggung jawab dalam kehidupannya. Dalam proses inilah keberadaan agama menjadi penting untuk direfleksikan, sebab umumnya diyakini bahwa agama pun menyimpan cita-cita serupa.[1]
Himpunan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang disepakati bersama, bisa dikemukakan dalam arti yang luas dalam istilah humanisme. Humanisme ialah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Ia memandang manusia sebagai makhluk mulia dan prinsip-prinsip yang disarankannya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk spesies manusia.[2]
Pendidikan humanistik bermakna menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Konsepsi ajaran humanistik menjelaskan bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Pendidikan humanis sebagai pemikiran pendidikan telah berkembang dengan mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan dari dua aliran, yaitu : progresivisme dan ekstensialisme.
Prinsip pendidikan humanis yang diambil dari prinsip progresivisme adalah pendidikan berpusat pada anak (student centered), guru tidak otoriter berfokus pada keterlibatan dan aktivitas siswa dan aspek pendidikan yang demokratis dan kooperatif. Di sisi lain prinsip pendidikan humanis yang mengacu pada pandangan pada eksistensialisme menekankan pada keunikan siswa sebagai individu, setiap siswa dipandang individu yang memiliki keunikan yang berbeda dengan siswa lain. Pendidik humanis yang mengikuti pandangan eksistensialisme akan memberikan kebebasan atau kemerdekaan dalam diri individu, siswa membangun dirinya menjadi seperti apa yang diinginkan.[3]

B.     Latar Belakang Humanisme

Sejarah awal humanisme dapat kita lihat dari hiruk-pikuk di Eropa pada abad ke14. Saat itu wacana agama mulai dianggap mengekang melalui konsep-konsep doktrin dan akhlak yang didasari ketakutan atas dosa, dan kemurkaan Tuhan. Ironis adalah ketika wacana teologis semakin disucikan, sementara perlakuan terhadap manusia justru semakin tidak manusiawi (terjadi pula praktik inkuisisi yang dilakukan gereja). Para pemuka agama begitu mudah marah atas praktik-praktik pembangkangan dan segala sesuatu yang dianggap penyimpangan agama, sementara mereka menyelesaikan masalah itu dengan tindakan yang kejam dan sewenang-wenang yang justru dianggap sebagai perjuangan kesalehan.
Semangat keagamaan yang menggebu namun justru melupakan nilai-nilai kehidupan bersama, kemanusiaan dan bahkan hakikat dasar agama itu sendiri ini akhirya menggerakan kaum literati dan kaum terpelajar mulai berfikir untuk mengambil sikap kritis dan mandiri. Mereka beranggapan bahwa ajaran Yunani kuno di mana rasionalitas dan kebebasan manusia pernah dijunjung tinggi merupakan acuan ideal dalam kehidupan.
Merekapun mengembangkan gerakan kesadaran intelektual yang kembali mengacu kepada visi humanisme Yunani klasik, Paideia. Paidea adalah suatu sistem pendidikan Yunani kuno dengan visi mengupayakan manusia ideal (manusia yang mengalami keselarasan jiwa dan badan, atau suatu kondisi dimana manusia mencapai kebahagiaan) yang juga merupakan akar purba dari humanisme.
Gerakan humanisme di Eropa sendiri diawali dengan humanisme Reinaisance yang saat itu terjadi di Italia. Gerakan ini bermaksud membebaskan individualitas dari belenggu agama dan feodalisme, serta menekankan pengembangan kemanusiaan melalui studi kesusasteraan Yunani dan Latin kuno juga menekankan dimensi sekuler dari pengalaman manusia namun bukan sebagai kekuatan transformasi dan reformasi sosial.
Berbeda dengan humanisme Reinaisance di Italia, di Jerman gerakan ini terus menekankan perhatian pada kehidupan agama, namun dengan pendekatan yang lebih individualistik juga subyektif dan akhirnya menghasilkan reformasi Protestan yang diikuti transformasi dan reformasi sosial juga.[4]

C.    Jenis-Jenis Humanisme Modern

1.      Humanisme Sekuler
Humanisme sekuler yang berawal dari gerakan sekulerisme ini mengurus dan mengelola kehidupan ini tanpa mengaitkannya dengan urusan-urusan religius, adikodrati dan keakhiratan, melainkan mengarahkan diri pada konteks duniawi saja. Sekulerisme awalnya dicetuskan sebagai sistem etika dan filsafat formal oleh J. Holoyake tahun oleh 1846 di Inggris. Dasar pemikirannya adalah kebebasan berfikir sebagai hak manusia demi kepentingan manusia sendiri.
Humanisme sekuler sendiri tidak selalu menekankan bahwa kebaikan hidup di dunia ini adalah kebaikan yang juga benar-benar nyata. Usaha untuk memperoleh kebaikan hidup adalah dengan melakukan kebaikan pula. Ketika manusia masih hidup di duniapun manusia sebenarnya bisa mendapatan kehidupan yang baik. Manusia tidak seharusnya hidup dalam kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan keserakahan, melainkan harus hidup untuk memajukan kehidupannya dengan bijaksana dan penuh belas kasih. Humanisme sekuler tidak selalu menentang agama namun tidak juga menentang adanya cahaya kebenaran, kebaikan, dan adanya bimbingan dari kenyataan real di alam ini
Humanisme sekuler meyakini bahwa semua orang pada dasarnya mampu menggali pengalaman hidupnya sendiri dan menarik banyak pelajaran, nilai dan makna yang penting dari petualanganya. Petualangan yang akan membawa pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang luhur mengenai kebenaran, kebaikan, keindahan, kematangan, kesucian, dan sebagainya
Menurut Praja salah satu prinsip dasar humanisme sekuler adalah toleransi. Dengan ciri ini, maka kita bisa melihat bahwa penganutnya tidak akan keberatan untuk bekerjasama dengan kaum theis, maupun atheis. Agama dalam pandangan humanisme sekuler hanyalah berkenaan dengan eksistensi pribadi, sehingga tidak seharusnya menimbulkan pertumpahan darah, kefanatikan, dan sebagainya. Maka menurut pandangan humanisme sekuler, sudah seharusnya agama menjadi kebebasan hak inidividu, dengan toleransi agama sebagai solusi konflik.
Kebanyakan penganut humanisme sekuler mengklaim bahwa mereka telah berhasil dengan sukses mengembangkan sistem moral yang tidak bergantung pada wahyu Tuhan. Ini dilandaskan pada pemikiran seperti:
a)      Sistem moral dan etika dapat dikembangkan melalui perjanjian berlawanan, mirip seperti undang-undang dan kebutuhan social.
b)      Hal ini dapat didasari oleh keperluan secara keseluruhan, yang dimiliki manusia seperti kelangsungan hidup, keamanan, pemenuhan kebutuhan pribadi dan cinta.
c)      Manusia adalah makhluk sosial yang dapat mencapai hal besar dengan kerjasama.
d)     Manusia akan dengan senang hati mengikuti suatu undang-undang kemanusiaan karena itu efektif dan berguna untuk memenuhi kebutuhan diri, dengan perasaan alami kekhawatiran kasih sayang dan simpati yang beriringan, diterima oleh orang lain, tanpa kecaman dan penolakan, tidak diperlukan sistem hukuman dan penghargaan dalam melaksanakan suatu undang-undang seperti itu.
Sebagai penganut humanisme sekuler, mereka menolak konsep Tuhan personal dan mempertimbangkan manusia sebagai otoritas tertinggi. Keyakinan ini tentunya sebagai berikut.
a)    Berharganya dan bermartabatnya setiap individu adalah nilai humanis yang utama.
b)   Sebuah penolakan alam semesta dibuat dalam mendukung teori evolusi dan alam semesta mematuhi hukum alam.
c)    Penolakan terhadap kitab undang-undang dan moral Illahi dan mendukung undang-undang yang dikembangkan atas dasar manusia.
d)   Keyakinan bahwa tanggung jawab penuh untuk masa depan dunia, sistem politiknya, ekonomi nya dll adalah di tangan manusia. Tidak ada Tuhan di surga, yang akan melakukan intervensi dan dapat menyimpan bencana.[5]
2.      Humanisme Religius
Dalam humanisme religius, agama dimaknai secara fungsional. Fungsi agama ialah untuk melayani kebutuhan personal atau kelompok sosial. Oleh karena itu, Islam merupakan agama yang menjadikan manusia sebagaimana adanya, atau lebih tepatnya, Islam selaras dengan fitrah manusia. Manusia menurut pandangan Islam yang akan menjadi dasar pijakan bagi sebuah pendidikan Islam yang humanis, yang meliputi hakikat wujud manusia dan potensi insaniah manusia.[6]
a)      Tujuan Hidup Manusia
Al-Quran menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas. Yaitu nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Pendeknya, tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.
Tujuan hidup ini pada gilirannya akan bersingguangan dengan tujuan pendidikan Islam, sebab pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan hidup Muslim merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.
b)      Kedudukan dan Tugas Manusia
Kedudukan manusia menurut Al-Quran adalah khalifah Allah di bumi. Pengertian khalifah dalam hal kedudukan manusia adalah pengganti. Jadi khalifah Allah berarti pengganti Allah. Menurut Hasan Langgulung manusia selaku khalifah Allah di bumi mempunyai beberapa karakteristik seperti. Pertama, manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri. Kedua, manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat pilihan antara yang benar dan yang salah.
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan (al-asma al-husna) menurut perintah dan petunjuk-Nya. Satu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan oleh manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas sesuai dengan watak keterbatasan manusia.


c)      Potensi Insaniah Manusia
Untuk melaksanakan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali Tuhan dengan berbagai potensi (fitrah) sebagai anugerah. Berdasarkan hal tersebut, para ahli filsafat memberikan beberapa predikat kepada manusia antara lain:
1)   Homo Sapiens (makhluk yang mempunyai budi pekerti).
2)   Homo Religius (makhluk yang beragama).
3)   Homo Planemanet (makhluk yang terdiri dari unsur rohaniah-spiritual).
4)   Homo Education (makhluk yang dapat menerima pendidikan).[7]
Terlepas dari itu semua, pemikiran humanisme yang berdasarkan agama sebenarnya menghendaki agar kaum agama mempunyai perhatian dalam menciptakan tata sosial moral yang adil. Dalam Islam, pandangan tentang humanisme dapat dieksplorasi dengan pemaknaan agama pada nilai-nilai manusiawi.
Segala kebutuhan manusia dan masyarakat adalah tujuan dari pembelaan agama. Secara vertikal dan transendental, bisa saja pengamalan agama berorientasi pada Tuhan, namun secara horizontal, imanental dan humanistik, yaitu beragama untuk manusia dan demi memenuhi harapan kemanusiaan.
Humanisme dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep hablum minannas, manusia sebagai agen tuhan di bumi atau khalifatullah yang memiliki seperangkat tanggung jawab baik sosial atau lingkungan. Humanisme religius menurut Rahman adalah shock theraphy terhadap ketidakseimbangan paradigmatik yang berkembang dalam dunia pendidikan Islam.
Persamaan kedua humanisme dari sudut pandang filsafat, tak jarang menuai ketidaksepakatan pula dalam definisi agama dan filsafat praktis. Definisi agama digunakan oleh humanis religius secara fungsional, karena humanisme agama adalah keyakinan di dalam aksi. Lain halnya dengan humanisme sekuler yang melakukan pemberontakan terhadap agama karena mereka menganggap bahwa agama tidak bisa diharapkan untuk mengadvokasi masalah kemanusiaan, bahkan agama sering menimbulkan masalah kemanusiaan.
Meskipun terdapat adanya silang pendapat antara humanisme religius dan humanisme sekuler namun sebenarnya tetap bisa diselesaikan. Manusia adalah makhluk yang berakal, Allah menganugerahkan akal dan pikiran kepada manusia agar bisa digunakan dengan baik untuk mendapatkan kebenaran dalam hidup. Menanggapi permasalahan di atas, Abdurrahman Mas‟ud menyebutkan “Kalau kita bisa mengembalikan nilai kritis dan substansi dasar agama, seperti dalam nilai-nilai Islam al-adlah (keadilan), al-musawah (egalitarian), asyuro (musyawarah), dan alkhuriatul ikhtiar (kebebasan memilih) dalam kontek khifdhul mal (perlindungan harta), khifdhul nafs (perlindungan jiwa), khifdhul din (perlindungan agama), khifdhul „aql (perlindungan akal), dan khifdhul nazl (perlindungan keturunan), niscaya tidak ada sengketa antara humanisme religius dan sekuler.[8]

D.    Pemikiran Humanistik Pendidikan Naquib Al-Attas dan Paulo Freire

1.    Pemikiran Humanistik
Persamaan pemikiran humanistik antara Naquib al-Attas dan Paulo Freire adalah menghidupkan pengalaman “demokrasi” dalam dunia pendidikan. Gerakan humanistik Naquib al-Attas dan Paulo Freire dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Artinya, pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas manusia.
Adapun persamaan pemikiran humanistik antara Paulo Freire dan Naquib al-Attas ialah:
a)    Masing-masing pemikiran muncul dalam latar belakang sosio-kultural yang kurang bahkan tidak manusiawi.
b)   Mensosialisasikan konseptualisasi dasar perjuangannya bagi upaya membebaskan manusia.
c)    Menekankan pada faktor manusia dan struktur sosial sebagai elemen yang harus diubah.
d)   Memandang manusia sebagai entitas merdeka yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan artikulasi kesadarannya dalam memaknai kehidupannya baik yang bersifat pribadi maupun sosial.
e)    Bersinggung secara erat dalam dimensi historis dan tematis.
Sedangkan perbedaan dalam pemikiran humanistik antara Paulo Freire dengan Naquib al- Attas yaitu: dasar dari pemikiran humanistik menurut Paulo Freire terletak pada realitas empirissemata, sedangkan Naquib al-Attas wahyu sekaligus realitas. Adapun tujuannya bahwa kehidupan duniawiyah menjadi tujuan final dalam pemikiran Paulo Freire, sedangkan Naquib al-Attas adanya integrasi kehidupan duniawi-ukhrawi menjadi tujuan final. Paulo Freire berpendapat bahwa konsep manusia sebagai makhluk yang bebas atau merdeka, sedang Naquib al-Attas manusia bebas, akan tetapi masih memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan dan manusia. Berkaitan dengan nilai, Paulo Freire berpendapat bahwa humanistik bebas nilai, sedangkan Naquib al-Attas bersifat terikat dengan dimensi spiritual transendental.
2.    Relevansi dan Implikasi Pemikiran Humanistik bagi Dunia Pendidikan Islam Masa Kini
Freire menempatkan kesejatian fitrah manusia untuk merdeka dari situasi yang menindas karena eksploitasi kelas, dominasi gender, dan hegemoni budaya. Jadi, Freire telah berusaha mengembalikan pendidikan sebagai tempat bagi harkat kemanusiaan yang diarahkan kepada pembebasan manusia. Sedangkan faktor penting dalam proses ini adalah kesadaran. Pendidikan bagi Freire haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri baik secara subyektif dan obyektif dalam fungsi yang dialektis. Selain itu, pendidikan baginya adalah untuk pembebasan dan bukan untuk dominasi.
Naquib al-Attas telah menempatkan kesejatian fitrah manusia untuk selalu berikhtiyar dari keterkungkungan dualisme (dikotomi) kehidupan dengan tetap memperhatikan tanggungjawab terhadap Tuhan dan kehidupan. Manusia baginya harus menjadi khalifatullah. Manusia utuh bagi Naquib al-Attas adalah manusia yang menempatkan kesadaran akan tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan sesama manusia.
Jadi, meskipun ada keterkaitan antara pemikiran humanistik Paulo Freire dengan Naquib al-Attas dalam dunia pendidikan Islam, pemikiran humanistik Naquib al-Attas nampaknya lebih relevan daripada pemikiran humanistik Paulo Freire terutama jika dikaitkan dengan problema pendidikan Islam masa kini.
Dengan demikian, pemikiran Naquib al-Attas mengandung implikasi yang sangat dalam bagi dunia pendidikan Islam. Sebab, jika dalam proses pendidikan Islam ditanamkan tentang “kebebasan” yang syarat akan “nilai Ilahiyah”, tentu akan membawa implikasi yang positif dalam proses pendidikan Islam yaitu manusia yang ideal atau Insan Kamil.
3.    Aktualisasi Pemikiran Humanistik bagi Dunia Pendidikan Islam Masa Kini
Melihat berbagai problematika umat Islam berkaitan dengan dunia pendidikan Islam di era modern ini, setidaknya ada tiga hal yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, dibutuhkan perumusan serta internalisasi etika yang dibangun berdasarkan percikan agama yakni umat Islam yang religius dan modern. Sikap dan gairah berprestasi, terbuka, disiplin, menghargai akal sehat, dan bertanggungjawab merupakan prinsip-prinsip yang harus ditegakkan. Budaya rihlah, semangat mengajar dan menggali ilmu pengetahuan yang dulu membudaya dalam sejarah Islam harus dibangun kembali.
Kedua, upaya penciptaan ilmu yang kondusif terhadap aktualisasi terhadap sistem nilai dalam rangka memusatkan manusia sebagai aktor perubahan merupakan sebuah keniscayaan; conditio sine quanon. Upaya ini harus diiringi dengan adanya keseimbangan antara konsep khalifatullah dan Abd Allah yang diupayakan semaksimal mungkin dalam dunia pendidikan Islam.
Ketiga, upaya-upaya pengembangan masyarakat dengan misi pembebasan dan pemberdayaan umat perlu ditegakkan secara kontinu, terpadu dan bertanggungjawab. Dalam kontek inilah perlu ditegakan sikap kritis, yakni pendidikan Islam yang mampu melahirkan sikap berani menyuarakan kebenaran.[9]

E.     Konsep Humanisme Religius dalam Pendidikan Islam

Istilah pendidikan humanis-religius mengandung dua konsep pendidikan yang ingin diintegrasikan, yaitu pendidikan humanis dan pendidikan religius. Pengintegrasian dua konsep pendidikan ini dengan tujuan untuk dapat membangun sistem pendidikan yang dapat mengintegrasikan keduanya. Pendidikan humanis yang menekankan aspek kemerdekaan individu diintegrasikan dengan pendidikan religius agar dapat membangun kehidupan individu (sosial) yang memiliki kemerdekaan, tetapi dengan tidak meninggalkan (sekuler) nilai-nilai keagamaan yang diikuti masyarakat atau menolak nilai keTuhanan (atheisme).
Pendidikan humanis-religius merupakan sebuah konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisme ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab atas ungkapan Hablun Min Allah dan Hablun Min An-Nas.[10]
Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka humanisme religius dalam pendidikan merujuk pada adanya unsur “memanusiakan manusia” dalam pendidikan, sekaligus menjiwainya dengan nilai-nilai luhur dari agama. Jadi, seluruh aktivitas pendidikan dijiwai oleh semangat untuk mengembangkan seluruh potensi manusia agar menjadi manusia yang sempurna sekaligus manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai agama.
Pendidikan yang humanis-religius mengakomodasi gagasan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia sekaligus membimbingnya sesuai dengan nilai-nilai agama. Di Indonesia, nilai-nilai agama yang dimaksud adalah semua agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Sementara dalam dunia Islam, pendidikan humanis-religius merupakan pendidikan yang dilandasi dan dijiwai oleh ajaran-ajaran Islam.
Humanisme dalam pendidikan artinya proses pendidikan yang mengembangkan potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius, tidak hanya berfokus pada salah satu, karena mengingat manusia adalah abdullah dan khalifatullah yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengembangkan yang dia miliki.[11]
Setidaknya ada beberapa hal pokok yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan Islam dengan paradigma humanistik, yakni common sense (akal sehat), individualis menuju kemandirian, dan first for knowledge.
1.      Common Sense (akal sehat)
Tujuan penciptaan manusia diantaranya adalah menjadi seorang khalifah sebagai wakil Tuhan di bumi. Penyebab menjadi kholifatullah fil ardl adalah kemampuan Nabi Adam a.s dalam memanfaatkan akal sehat secara proporsional. Kelebihan manusia dibanding mahluk lainnya adalah kemampuan berfikirnya. Dalam pandangan Islam, kelebihan manusia lainnya adalah tugas yang diembannya, potensi-potensi dasarnya, dan kemungkinankemungkinan untuk berkembang untuk mewujudkan tugas manusia. Dalam Islam, al-alim lebih utama dan al-abid yang notabene dibedakan dari akal sehatnya. Dalam ayat yang sangat populer diajarkan bahwa orang-orang yang berilmu ditinggikan derajatnya beberapa tingkat.
2.      Individualisme menuju kemandirian
Pengembangan manusia menjadi individu yang saleh, insan kamil, dengan berbagai keterampilan dan kemampuan serta mandiri adalah sasaran utama pendidikan Islam. Ada yang salah dalam mengartikan individualism yang diartikan egoisme, selfish, annaniyah, dan lebih mementingkan diri sendiri. Self-reliance atau kemandirian adalah tujuan utama konsep individualisme. Dalam Islam, individualisme bukanlah larangan. Jika penekanannya pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi, justru menjadi seruan dalam Islam. Bahwa semua anggota badan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di depan Sang Pencipta, penafsiran sebagai tugas pendidikan dalam melembagakan tangung jawab pribadi, sosial, dan keagamaan.
Konsep individualisme dalam Islam berangkat dari tangung jawab dan tugas mulia individu, keluarga, masyarakat, dan negara secara luas serta masyarakat internasional. Kesalehan yang dilengkapi dengan kemampuan pribadi untuk menggunakan segala kemampuannya dalam menegakkan keadilan, serta menciptakan kemaslahatan. Dengan demikian kesalehan dalam konsep individualisme Islam adalah pribadi yang beriman dan bertakwa, dinamis, progresif, serta tanggap terhadap lingkungan, perubahan, dan perkembangan.
3.      First For Knowledge
Islam adalah agama yang dengan jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi khusus. Karena ilmu merupakan pancaran cahaya kehidupan manusia yang dapat menerangi dan mengarahkan jalan hidupnya ke arah yang lurus. Allah akan mengangkat manusia yang beriman dan berilmu diantara manusia yang mulia. Islam mendorong pengikutnya untuk mengajar ilmu pengetahuan dengan segala kemampuannya meskipun jauh di negeri Cina. Ajaran normatif tentang semngat mencintai ilmu terbukti dalam sejarah Islam, khususnya dari abad ke 7 M sampai 11 M.[12]
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.[13]

F.     Biografi Abu Hasan Al-Mawardi

Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia lahir di Basra pada tahun 364 H/975 M, dan wafat di Bagdad pada tahun 450 H/1058 M. Ia adalah seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Sungguhpun demikian, ia termasuk penulis produktif, cukup banyak bukunya dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari ilmu bahasa, sastra, tafsir sampai dengan ketatanegaraan.
Al-Mawardi dibesarkan di Bagdad, dan dari ulama-ulama terkemuka di wilayah tersebut ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Diantara guru-gurunya adalah; al-Hasan Ibnu Ali al-Hambali, Muhammad Ibnu Adi al-Muqri, Muhammad ibnu al-Ma’ali al-Asdi, Ja’far ibnu Muhammad ibnu al-Fadl al-Baghadi, dan Abu Hamid al-Isfiraini. Gurunya yang terakhir ini amat berpengaruh pada diri al-Mawardi. Pada gurunya itulah Ia mendalami mazhab Syafi’i dalam kuliah rutin yang diadakan di sebuah masjid yang terkenal dengan masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.
Kedalaman ilmu dan ketinggian akhlak al-Mawardi telah membuat Ia terkenal sebagai seorang panutan yang disegani dan berwibawa dikalangannya, baik oleh masyarakat umum, maupun oleh pihak pemerintah. Oleh sebab itu, Ia beberapa kali ditunjuk sebagai hakim kerajaan di Baghdad dalam pemerintahan Abbasiyah. Dan pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M) karir al-Mawardi meningkat, yaitu ia diangkat menjadi hakim agung (qadi al-qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama dan pemerintahan.
Di samping itu ia juga mengajar, banyak ulama terkemuka sebagai hasil dari bimbingannya. Diantaranya; Abu al-Ainain Kadiri dan Abu Bakar al-Khattib. Disamping mengajar, kegiatan ilmiah yang ditekuninya adalah mengarang. Banyak kitab-kitab berharga yang diwariskan dalam berbagai bidang, seperti ushul fiqih, fiqih, hadits, tafsir, fiqih siyasah. Pada fiqih siyasah ini namanyamenonjol karena bahkan sampai sekarang menjadi referensi untuk ilmu politik dan pemerintahan menurut fiqih Islam.[14]
1.      Pandangan al-Mawardi tentang Negara
Mengutip Abdul Qadim Zalum, definisi negara menurut al- Mawardi adalah alat atau sarana untuk menciptakan dan memelihara kemaslahatan. Karena Islam sudah menjadi ideologi politik bagi masyarakat dalam kerangka yang lebih konkret, bahwa Islam memerintahkan kaum Muslimin untuk menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam. Masalah politik, ekonomi, sipil, militer, pidana, dan perdata diatur jelas oleh Islam. Hal itu membuktikan bahwa Islam merupakan sistem bagi negara dan pemerintahan, serta untuk mengatur masyarakat, umat, dan individu-individu.
2.      Pandangan al-Mawardi tentang Pemimpin dan Negara
Al-Mawardi sangat memerhatikan secara serius tentang kepemimpinan (imâmah atau khilâfah). Baginya, pemimpin adalah cerminan dan kunci kesejahteraan masyarakat. Imâmah atau khilâfah dilembagakan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan imâmah atau khilâfah adalah fardu kifayah berdasarkan ijmak ulama.31 Pandangan ini didasarkan atas realitas sejarah al-Khulafâ al-Râsyidûn dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik dari Bani Umayyah maupun Bani ‘Abbas. Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah usul fikih yang menyatakan mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban itu tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat itu juga wajib hukumnya), juga kaidah amr bi syay amr bi wasâilihi (perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengannya). Sarana atau alat untuk menegakkan imâmah adalah negara, sehingga pendirian negara juga wajib.
3.      Pandangan al-Mawardi tentang Teori Kontrak Sosial
Teori ini adalah pembahasan mengenai hubungan antara Ahl al-Ikhtiyâr dan kepala negara, yaitu hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atas dasar sukarela dan melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak. Oleh karenanya, di samping kepala negara berhak untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya. Rakyat wajib menaati khalifah selagi khalifah adalah sosok yang adil dan amanah terhadap rakyat. Serta tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan. Namun jika sebaliknya, rakyat berhak menurunkan khalifah. Atas hal itu, al-Mawardi menganggap bahwa kekuasaan kepala negara bukanlah sesuatu yang suci.[15]



[1] Ida Nurjanah, Paradigma Humanisme Religius Pendidikan Islam, Jurnal Misykat, Vol. 3, No. 1, Tahun 2018, hlm. 158-159.
[2] Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam dan Maszab Barat, diterjemahkan Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 39.
[3] Zainul Arifin, Nilai Pendidikan Humanis-Religius, Jurnal An-Nuha, Vol. 1, No. 2, Tahun 2014, hlm. 64.
[4] Norma Pawestri, Humanisme Sekuler dalam Drama Die Juden Karya Gotthold Ephraim Lessing, Skripsi, FBS UNY, Tahun 2013, hlm. 23-24.
[5] Ibid., hlm. 30-33.
[6] Yushinta Eka Farida, Humanisme dalam Pendidikan Islam, Jurnal Tarbawi, Vo. 12, No. 1, Tahun 2015, hlm. 110-111.
[7] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistimologi Islam dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 68-71.
[8] Ida Nurjanah, Op. Cit., hlm. 160-164.
[9] Khusnul Mualim, Gagasan Pemikiran Humanistik dalam Pendidikan (Perbandingan Pemikiran Naquib al-Attas dengan Paulo Freire, Al-ASASIYYA: Journal of Basic Education, Vol. 1, No. 2, Tahun 2017, hlm. 8-16.
[10] Zainul Arifin, Op.Cit., hlm. 69-70.
[11] Ida Nurjanah, Op. Cit., 160-165.
[12] Yushinta Eka Farida, Op. Cit., hlm. 116-118.
[13] Fakhruddin, Konsep Humanistik Ditinjau dari Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal Kajian Kemanusiaan dan Kemasyarakatan, Vol. 1, No. 2, Tahun 2016, hlm. 154.
[14] Muhammad Amin, Pemikiran Politik Al-Mawardi, Jurnal Politik Profetik, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, hlm. 121-122.
[15] Rashda Diana, Al-Mawardi dan Konsep Kenegeraan dalam Islam, Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam, Vol. 13, No. 1, Tahun 2017, hlm. 164-170.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar