- PENDAHULUAN
Filsafat merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang memiliki
dua sisi yaitu proses dan produk pemikiran. Filsafat memiliki banyak cabang
kajian yang mana salah satunya adalah filsafat islam. Filsafat islam adalah
salah satu cabang ilmu filsafat yang berusaha memecahkan masalah-masalah secara
sistematis dan logis melalui cara berfikir islami. Salah satu pembahasan dalam
filsafat islam adalah tentang filsafat jiwa yang banyak disampaikan oleh
tokoh-tokoh filosof muslim terkemuka, mulai dari Ibnu Sina, Al Farabi, Al
ghazali, dan lain sebagainya.
Dalam Islam, kajian tentang konsep jiwa sangat
diperhatikan karena jiwa merupakan unsur yang sangat penting dalam penggerakan
raga. Bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan bagian yang mampu mempengaruhi
aktivitas raga yang bersifat metafisis. Oleh karena itu, jiwa harus dikaji
dengan pemikiran yang mendalam oleh para ilmuwan. Jiwa dalam bahasa arab
disebut dengan nafs. Di dalam Al-quran kata nafs banyak
disebutkan yang mana tanpa disadari hal itu telah membahas banyak hal tentang
konsep jiwa, walaupun diperlukan pemahaman yang mendalam untuk mengkaji konsep nafs
tersebut. Berbeda dengan Islam, dunia barat kurang memberikan perhatian yang
lebih terhadap kajian tentang jiwa, karena mereka menganggap keberadaan jiwa
masih spekulatif.
Jiwa dalam perspektif pendidikan merupakan suatu hal
yang mampu untuk dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap
manusia. Jiwa menggerakkan potensi raga untuk melakukan perbuatan yang baik
maupun yang buruk sesuai dengan keadaan jiwa tersebut. Dengan adanya
pendidikan, maka jiwa akan diarahkan untuk berbuat suatu hal yang berdasar pada
kemanusiaan sesuai dengan ajaran Tuhan. Berdasarkan uraian di atas, makalah ini
akan menjelaskan lebih luas lagi mengenai pengertian dan pendapat para filosof
muslim mengenai filsafat jiwa.
- PEMBAHASAN
1. Pengertian
Jiwa
Nafs (jiwa) ditinjau dari segi
bahasa, berasal dari bahasa Arab, Nafsun (kata mufrad) jama’nya,
anfus atau Nufusun dapat diartikkan sebagai ruh, nyawa, tubuh
dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak. Dalam
bahasa Inggris Psycho diartikan jiwa atau mental jiwa. Menurut
bahasa Indonesia jiwa adalah roh manusia yang ada di tubuh dan menyebabkan
hidup, atau seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran
angan-angan dan sebagainya.
Secara istilah, kata jiwa dapat merujuk pada beberapa
pandangan ulama dan filosof muslim. Para filosof muslim-terutama al-Kindi,
al-Farabi dan Ibn Sina umumnya sepakat mendefiniskan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan
awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki kehidupan yang
energik.” Secara lebih rinci, yang dimaksudkan
‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia
dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa
merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik
material. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya
melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang bermacam-macam.
Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan yang energik’ adalah bahwa di dalam dirinya
terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.[1]
Kata
jiwa berasal dari bahasa al-Nafs.
Dalam kitab “Lisān
al-Arab”, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata nafs dalam Bahasa Arab digunakan dalam dua
pengertian yakni nafs dalam
pengertian nyawa,
dan nafs yang mengandung
makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi.
Setiap manusia memiliki dua nafs,
yaitu nafs akal dan
nafs ruh.
Hilangnya nafs akal
menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat
ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan
hilangnya kehidupan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) dipahami
sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam
al-Qur’an nafs tidak
selalu berkonotasi buruk.[2]
Nafs
mempunyai beberapa makna yaitu :
a.
Nafs yang
berkaitan dengan syahwat atau hawa. Hawa berasal dari bahasa Arab sebagaimana
disebutkan dalam QS. al-Nasiyat 79: 40. artinya dan adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.
Yaitu hawanya mata, telinga, mulut kemaluan otak dan lain-lain. Hawa-hawa atau syahwat
inilah selalu cenderung kepada asal kejadiannya yaitu saripati tanah, dengan
demikian nafs berarti fisik (tanah yang diberi bentuk). Dia akan bergerak
secara naluri mencari bahan-bahan materi asal fisiknya ketika kekurangan energi
atau unsur-unsur asalnya, maka ia akan segera mencari atau ia akan berkata saya
lapar, saya haus.
b. Nafs
yang berarti jiwa, jiwa mempunyai beberapa sifat yaitu; nafs lawwamah (pencela),
nafs mutmainnah (tenang), nafs ammarah bi al-Su (senantiasa
menyuruh berbuat jahat). Sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Fajr: 27-28,
al-Qiyamah: 2, QS. Yusuf: 53.[3]
Struktur kepribadian manusia terdiri atas jasmani,
rohani, dan nafsani. Struktur nafsani terbagi atas tiga macam,
yaitu kalbu, akal, dan nafsu. Struktur nafsani memiliki ciri-ciri :
1) Adanya
di alam jasad dan rohani, yang terkadang tercipta secara bertahap atau
berproses dan terkadang tidak.
2) Antara
berbentuk atau tidak, berkadar atau tidak bisa disifati atau tidak, yang
naturnya antara baik-buruk, halus-kasar, dan mengejar kenikmatan
rohani-syahwati.
3) Memiliki
energi rohaniah-jasmaniah.
4) Eksistensi
energi nafsani tergantung pada ibadah dan makanan bergizi.
5) Eksistensinya
aktualisasi.
6) Antara
terikat dan tidak mengenal
7) Dapat
menangkap antara yang konkret dan yang abstrak, satu bentuk atau beberapa
bentuk, yang substansinya antara abadi dan temporer.
8) Antara
dapat dibagi-bagi atau tidak.[4]
2. Filsafat
Jiwa Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husein ibn Abdullah ibn Sina.
Ia dilahirkan dalam bulan Safar tahun 370 H atau bulan Agustus tahun 980 M di
negeri Ifsyina, yaitu negeri kecil dekat Charmitan. Jadi, berarti ia bukan
keturunan Arab melainkan keturunan Persia. Ketika berusia 10 tahun, Ibn Sina
sudah hafal Alquran. Ia juga mengetahui sebagian besar cabang-cabang dari ilmu
pengetahuan Islam ditambah pula dengan ilmu nahwu.
Setelah
ia menguasai cukup banyak ilmu pengetahuan, kemudian ia mulai belajar
kedokteran (thabib) pada seorang guru yang beragama Kristen bernama 'Isa
ibn Yahya. Meski ada perbedaan agama, tidaklah menjadi penghalang baginya.
Malahan Nabi saw., menganjurkan: "Terimalah kebenaran itu dari manapun
datangnya, walaupun berasal dari orang fasiq atau kafir. Kemampuan Ibn
Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua- duanya sama beratnya.
Dikatakan orang bahwa pengaruh ilmunya pada peradaban dan kebudayaan Eropa
tidaklah terbatas. Buku karangannya Al-Qanun fi Al-Thib (Canon of
Medicine) dianggap orang, himpunan perbendaharaan ilmu kedokteran.[5]
Menurut
Ibnu Sina manusia memang tersusun dari dua unsur, yaitu tubuh dan jiwa.antara
keduanya tidak ada persamaan, unsur tubuh terbentuk dari berbagai unsur yang
memancar dari planet-plaanet. Sementara jiwa hanya terbentuk dari satu unsur,
yaitu dari Aql al-fa’al dan jiwa ini pada dasarnya merupakan abstransi
tersendiri dalam struktur tubuh manusia, manun selamanya bergantung pada tubuh.
Secara garis besar
pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi menjadi dua bagian :
a. Fisika,
didalamnya dibicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
1. Jiwa
tumbu-tumbuhan (al-nafs al-nabathiyat) mempunyai tiga daya, yaitu: makan,
tumbuh, dan berkembang biak. Jadi jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi
pada ketiga komponen itu saja.
2. Jiwa
binatang (al-nafs al-hayawaniyah) memiliki dua daya yaitu: gerak (almuharrikat)
dan mekap (al-mudrikat). Daya menangkap ini terbagi menjadi dua:
a. Menangkap
dari luar dengan panca indra
b. Menangkap
dari dalam dengan indra batin, yang terdiri dari:
1) Indra
bersama menerima segala apa yang di tangkap oleh indera luar.
2) Indera
representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
3) Estinasi
yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, seperti
keharusan lari bagi kambing ketika melihat srigala.
4) Indra
pemelihara (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indera
estinasi.
3. Jiwa
manusia (al-nafs al-nathiqah) yang mempunyai dua daya, yaitu: praktis
(al-amilat) dan teoritis (al-„alimat). Daya praktis hubungan dengan jasad,
sedangkan daya teoritis hubungan dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini
mempunyai 4tingkatan, yaitu:
a. Akal
materi yangsemata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih
walaupun sedikit.
b. Akal
al-makalat merupakan akal materi yang dilati untuk berfikir yang abstrak.
c. Akal
aktual yaitu akal malaikat yang sudah dapat berfikir tentang hal-hal yang
abstrak.
d. Akal
mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa
perlu daya upaya, akal inilah yang dapat berhubungan dan menerimah limpahan
ilmu pengetahuan dari akal aktif
Ibnu
Sina jiwa merupakan subtansi rohani yang tidak tersusun dari materi-materi
sebagaimana jasad, kesatuan antara kedanya bersifat accident. Hancurnya
jasad tidak membawa hancurnya jiwa. Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Sina
mengemukakan beberapa Argumen:
1. Jiwa
dapat mengetahui objek pikiran dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh jasad.
2. Jiwa
dapat mengetahui hal-hal yang abstrak dan zat yang tanpa alat. Sedangkan indera
manusia hanya dapat mengetahui yang konkret dengan alat.
3. Jasad
bisa merasakan lelah setelah memikul atau berkerja berat, bahkan dapat rusak.
Sedangkan jiwa digunakan untuk berfikir tentang masalah besar tidak membuatnya
menjadi lelah atau rusak.
4. Jasad
dan pengakatnya akan mengaalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya umur 50
tahun. Sebaliknya jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat. Karena jiwa bukan
bagian dari jasad dan keduanya merupakan subtansi yang berbeda.
A. Hubungan
jiwa dengan jasad.
Sebelum
Ibnu Sina, Aristoteles dan plato sudah membiarkan masalah ini. menurut
Aristoteles hubungan kebudayaan bersifat esensial. Sebaliknya, Plato hubungan
keduanya lebi bersifat accident, karena jiwa dan jasad adalah dua
subtansi yang berdiri sendiri. Ibnu Sina
dalam hal ini, nampaknya lebih sependapat dengan Palato, bahwa hubungan
keduanya lebih bersifat accident, binasanya jasad tidak mengakibatkan
binasanya jiwa.
Menurut
Ibnu Sina, selain eratnya hubungan keduanya juga antara keduanya saling
pengaruh mempengaruhi, saling bantu membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa,
adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain tidak akan
terciptanya jiwa bila tidak diciptakan jasad yang ditempatinya. Jika tidak
demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad
yang ditempati beberapa jiwa.
B. Kekekalan
jiwa.
Untuk mendasari
pendapatnya ini, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil:
1.
Dalil al-infishal,
yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat accident, masing-masing
unsur mempunyai subtansi sendiri, yang berbeda Antara yang satu dengan yang
lain. Karena jiwa bersifat kekal walaupun jasad binasa. Sedangkan jasad tidak
dapat hidup tanpa adanya jiwa.
2. Dalil
al-basarhat, yaitu jiwa adalah jauhar rohnya yang selalu hidup dan tidak
mengenal mati. Karena hidup (nyata0 meruakan sifat dari jiwa, maka mustahil
bersifat lawannya (mati). Karenanaya jiwa juga dinamakan jauhar basith yang
hidup selalu)
3. Dalil
al-musyabahat. Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia sesuai dengan
filsafat emanasi, bersumber dari akal Fa‟al (akal kesepuluh) bebagai pemberi
segala bentuk. Karena akal kesepuluh ini merupakan esensi yang berfikir, bersifat
azali dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya akan kekal sebagai mana
„illat (sebab)nya.
Dari
uraian di atas, memberikan satu pendapat dan penilaian bahwa secara eksplisit,
Ibnu Sina mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah roh
manusia saja. Pengingkaran kebangkitan jasmani inilah yang menimbulkan kritikan
tajam dari al-Ghazali, bahkan para filosof muslim yang berpendapat seperti itu
dihukum kafir olehnya. Pendapat ini
mengandung arti, bahwa pembalasan di akhirat nanti hanya disediakan untuk roh
semata, sedangkan jasad akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Padahal
manusia yang diberi beban agama adalah manusia yang tersusun dari roh dan
jasad. Sebenarnya terjadinya perbedaan dalam memahami ajaran dasar dalam Islam,
yang tidak akan membawa kepada kekafiran.
Uraian
di atas juga, mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada
peringkat yang paling tinggi. Ia disamping sebagai dasar berfikir, juga
mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di
atas juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Sina, jiwa manusia tidak hancur dengan
hancurnya jasad. Sedangkan jiwa tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia
akan hancur dengan matinya badan dan ia tidak akan dihidupkan kembali di akhirat.
Karena fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani, maka pembalasan untuk kedua
jiwa ini ditentukan di dunia ini juga.[6]
3. Filsafat
Jiwa Al-Farabi
Nama
aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al Farabi,
lahir di kota Wesij tahun 259 H /872, selisih satu tahun setelah wafatnya
filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita
Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi
dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani
pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan
filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni),
layak disematkan.
Beliau
termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa
buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah;
Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-Hākimain, karya
ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan
mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.[7]
Al-Farabi
menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan
berpikir. Menurut al-Farabi jiwa ada dalam tubuh manusia memancar dari akal ke
X, dan akan ke X ini pulalah memancar bumi, roh, api, udara, tanah. Dalam
persoalan jiwa ini al-Farabi mencoba melakukan sintesa antara pendapat Plato
dengan Aristoteles. Menurut Plato jiwa itu sesuatu yang berbeda dengan tubuh ia
adalah substansi rohani. Sedangkan menurut Aristoteles jiwa adalah bentuk
tubuh. Plato berpendapat bahwa jiwa tidak akan mati (abadi). Jiwa akan
menghadapi pengadilan dan berhak menerima siksa ataupun surga menurut baik
buruknya amal selama masih hidup. Setelah mati ia akan diberi kesempatan
memilih kondisi keberadaannya yang akan datang.
Dalam
hal ini al-Farabi mencoba mencari jalan kompromi antara kedua pendapat yang
berbeda tersebut. Menurut al-Farabi jiwa berupa substansi sekaligus berupa
bentuk substansi dalam dirinya dan bentuk dalam hubungannya dengan tubuh.
Jelaslah bahwa al-Farabi mengambil teori substansi dari Plato dan teori bentuk
dari Aristoteles. Bagi al-Farabi jiwa manusia dipancarkan dari akal ke X
manakala suatu tubuh sudah siap menerimanya hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam QS: al-Sajadah (32) : 7-9.
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ٧
|
|
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ
مَهِينٍ٨
|
|
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ۹
|
Artinya
: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-sebaiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya
dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) –Nya dan dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Hal
ini sebagai pertanda bahwa proses kehidupan ini berlangsung terus menerus
dengan segala keajaiban dan misteri yang terkandung di dalamnya atas perintah
Allah. Manusia dan ruhnya sama-sama diciptakan atas perintah-Nya yang sekaligus
mengungkapkan kebesaran penciptanya.
Al-Farabi mencoba untuk
memilah daya yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam, pertama daya gerak
seperti gerak untuk makan, gerka untukmelihat sesuatu dan gerak untuk
berkembang biak, kedua daya mengetahui seperti mengetahui dalam rasa dan
mengetahui dalam berimajinasi, ketiga daya berpikir yang dipilah-pilahkan
kepada akal praktis dan akal teoritis. Tentang akal praktis dan teoritis,
masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk
menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang sedangkan akal teoritis
berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.
Selanjutnya
akal teoritis dibagi dalam tiga macam bagian, pertama akal potensial atau akal
fisik. Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang ditangkap
dengan panca indra. Kedua akal aktual, akal biasa, akal ini dapat menangkap
makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga akal mustafad, akal yang
diperoleh. Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan sang Pencipta. Untuk
dapat berkomunikasi dengan sang Pencipta menurut al-Farabi seseorang harus
mempunyai jiwa yang bersih, kesucian jiwa. Kesucian tidak hanya diperoleh
melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat
diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus berpikir.
Menurut
al-Farabi filsafat dan moral sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia.
Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna, salah satu
indikasi kesempurnan jiwa ialah apabila sudah tidak lagi berhajat kepada
materi.
Al-Farabi
dalam kehidupannya sebagai seorang sufi dan filosof menyimpang jiwa kesufiannya
sangat mendalam dalam komunikasi dengan sang Pencipta dalam kezuhudan
kehidupan, ia menjadikan kesucian jiwa sebagai asas dalam berfilsafat yang
benar.
Menurut
al-Farabi kebahagiaan mengandung kelezatan yakni kelezatan jasmani dan akli.
Kelezatan jasmani hanya sebentar, mudah diperoleh dan cepat hilang. Sedangkan
kelezatan akli awet dan inilah tujuan hidup hakiki manusia. Untuk mencapai
tujuan tersebut manusia perlu mengembangkan daya piker yang benar mampu
membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah, serta mempunyai kemauan yang
keras.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa,
al-Farabi mengaitkan dengan falsafat negara utamanya, yakni jiwa yang kenal
dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini akan kembali ke
alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada
negara fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah tetapi ia tidak melaksanakan
perintah-Nya ia kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam
kesengsaraan. Jiwa yang hidup pada negara jahilah yakni jiwa yang tidak kenal
sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melaksanakan perintah Allah, ia
lenyap bagaikan jiwa hewan.[8]
4. Filsafat
Jiwa Al-Ghazali
Ibnu ‘Asakir mengatakan bahwa al-Imam Al-Ghazali
dilahirkan di kota Thuus pada tahun 450 H. di kota ini, sejak kecil ia
mempelajari ilmu fiqih, kemudian ia datang ke kota Naisabur dan memperdalam
pelajaran Imamul Haramain. Dia belajar dengan sungguh-sungguh dan mengerahkan
segala kemampuannya hingga berhasil lulus dalam masa yang relatif singkat. Dia
tumbuh dan menjadi pusat perhatian ulama sezamannya. Lalu dia melakukan
penelitian dan membimbing para murid di masa imam (guru) nya juga menulis.[9]
Menurut
al-Ghazali ruh adalah hakikat jauhar. Ia adalah bagian dari
sejumlah qudrah ilahiah dan merupakan urusan Tuhan. Adapun akal juga
memiliki dua makna, pertama, khizanah al-qalbi, gudang simpanan
ilmu, dan kedua daya mengetahui yang menjadi keistimewaan mansuia. Namun
al-Ghazali menyimpulkan bahwa ruh ,nafs, ‘aql dan qalb diartikan
satu dan itulah hakikat manusia yang sesungguhnya.
Selain
itu Harun Nasution menjelaskan bahwa sejalan dengan para filosof al-Ghazali
juga berpedapat bahwa ruh terbagi tiga, yaitu ruh tumbuh-tumbuhan, ruh
binatang dan ruh manusia. “Al-Ghazali membedakan antara ruh dengan
nafs”. Ruh terdapat pada tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Adapun
nafs hanya terdapat pada manusia saja. Tumbuh-tumbuhan dan binatang hanya mempunyai
ruh, tidak mempunyai nafs, sedangkan manusia mempunyai roh dan nafs.
“Kelihatannya ruh al-Ghazali berarti nyawa dan nafs berarti daya pikir.
Kalau manusia hanya mempunyai ruh maka perbuatannya hanya terbatas pada
perbuatan-perbuatan yang terdapat pada binatang. Kalau binatang mempunyai
mempunyai nafs maka binatang akan berakal dan berkewajiban seperti
manusia pula
Nafs
menurut
al-Ghazali mempunyai daya praktis yang berfungsi menggerakkan dan mengontrol manusia
dalam berbuat. Disamping itu nafs juga memiliki daya teoretis yang
berfungsi untuk menangkap pengetahuan yang tidak bersifat materi. Antara daya
praktis dan daya teoretis ini saling terkait. Kalau daya praktis berhasil menjalankan
tugasnya dengan baik maka daya praktis dapat memusatkan perhatian pada hal-hal
immateri dan mendekatkan diri kepada Tuhan dan taraf menusia juga semakin dekat
kepada kesempurnaan dengan cara menjalahkan ibadah sesuai dengan perintah
Tuhan. Itulah tujuan hidup manusia yang sesungguhnya.[10]
- KESIMPULAN
Menurut bahasa Indonesia jiwa adalah roh
manusia yang ada di tubuh dan menyebabkan hidup, atau seluruh kehidupan batin
manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran angan-angan dan sebagainya. Ibnu
Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Ia disamping
sebagai dasar berfikir, juga mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa
tumbuhan dan hewan. Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, al-Farabi mengaitkan dengan
falsafat negara utamanya, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan
perintah Allah, maka jiwa ini akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan
abadi dalam kebahagiaan.
Menurut
al-Ghazali ruh adalah hakikat jauhar. Ia adalah bagian dari sejumlah
qudrah ilahiah dan merupakan urusan Tuhan. Adapun akal juga memiliki dua
makna, pertama, khizanah al-qalbi, gudang simpanan ilmu, dan
kedua daya mengetahui yang menjadi keistimewaan mansuia. Namun al-Ghazali
menyimpulkan bahwa ruh, nafs, ‘aql dan qalb diartikan satu dan itulah
hakikat manusia yang sesungguhnya.
[1] St. Rahmatiah, Pemikiran
tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam, Jurnal Sulesana Vol. 11, No,
2, 2017. hlm. 32.
[2] Sahidi Mustafa, Konsep
Jiwa dalam al-Qur’an, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 2, No. 1, Februari 2018, hlm. 125.
[3] Fatimah Halim, Kajian
Kritis terhadap Pemikiran tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam, Jurnal
Al-Daulah, Vol. 1, No. 2, Juni 2013, hlm. 63.
[4] Rudi Ahmad Suryadi, Pendidikan
Islam : Telaah Konseptual mengenai Konsep Jiwa Manusia, Jurnal Pendidikan
Agama Islam-Ta’lim, Vol 14, No, 1, 2016,
hlm. 38.
[5]
Hadi Suprapto, Al-Farabi dan
Ibn Sina (Kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa Dengan Pendekatan Psikologi), Jurnal
Al-Hadi, Volume II, No 02, Edisi Januari
Juni 2017, hlm. 446.
[6] Herwansyah,
Pemikiran
Filsafat Ibnu Sina (Filsafat Emanasi, Jiwa dan Al Wujud),
Jurnal El-Fikr, Vol 1, No 1, 2017,
hlm. 59-65.
[7] M. Wiyono, Pemikiran Filsafat
Al-farabi, Jurnal Substantia, Vol. 18, No. 1, April 2016, hlm. 69-70.
[8] Fatimah Halim, Kajian Kritis
terhadap Pemikiran tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam, Jurnal
Al-Daulah, Vol. 1, No. 2, Juni 2013, hlm. 66-68.
[9] Imam Al-Ghazali, Ringkasan
Ihya’ ‘ulumuddin, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, Cet. IV, 2016), hlm. 3.
[10] Afrizal
M, Pemikiran Para Filosof Muslim tentang Jiwa,
Jurnal Pemikiran Islam,Vol. 39, No. 1,
Januari - Juni 2014, hlm. 15-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar