Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

FILSAFAT JIWA


FILSAFAT JIWA




  1. PENDAHULUAN
Filsafat merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang memiliki dua sisi yaitu proses dan produk pemikiran. Filsafat memiliki banyak cabang kajian yang mana salah satunya adalah filsafat islam. Filsafat islam adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang berusaha memecahkan masalah-masalah secara sistematis dan logis melalui cara berfikir islami. Salah satu pembahasan dalam filsafat islam adalah tentang filsafat jiwa yang banyak disampaikan oleh tokoh-tokoh filosof muslim terkemuka, mulai dari Ibnu Sina, Al Farabi, Al ghazali, dan lain sebagainya.
Dalam Islam, kajian tentang konsep jiwa sangat diperhatikan karena jiwa merupakan unsur yang sangat penting dalam penggerakan raga. Bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan bagian yang mampu mempengaruhi aktivitas raga yang bersifat metafisis. Oleh karena itu, jiwa harus dikaji dengan pemikiran yang mendalam oleh para ilmuwan. Jiwa dalam bahasa arab disebut dengan nafs. Di dalam Al-quran kata nafs banyak disebutkan yang mana tanpa disadari hal itu telah membahas banyak hal tentang konsep jiwa, walaupun diperlukan pemahaman yang mendalam untuk mengkaji konsep nafs tersebut. Berbeda dengan Islam, dunia barat kurang memberikan perhatian yang lebih terhadap kajian tentang jiwa, karena mereka menganggap keberadaan jiwa masih spekulatif.
Jiwa dalam perspektif pendidikan merupakan suatu hal yang mampu untuk dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia. Jiwa menggerakkan potensi raga untuk melakukan perbuatan yang baik maupun yang buruk sesuai dengan keadaan jiwa tersebut. Dengan adanya pendidikan, maka jiwa akan diarahkan untuk berbuat suatu hal yang berdasar pada kemanusiaan sesuai dengan ajaran Tuhan. Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan menjelaskan lebih luas lagi mengenai pengertian dan pendapat para filosof muslim mengenai filsafat jiwa.  
  1. PEMBAHASAN
1.      Pengertian Jiwa
Nafs (jiwa) ditinjau dari segi bahasa, berasal dari bahasa Arab, Nafsun (kata mufrad) jama’nya, anfus atau Nufusun dapat diartikkan sebagai ruh, nyawa, tubuh dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak. Dalam bahasa Inggris Psycho diartikan jiwa atau mental jiwa. Menurut bahasa Indonesia jiwa adalah roh manusia yang ada di tubuh dan menyebabkan hidup, atau seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran angan-angan dan sebagainya.
Secara istilah, kata jiwa dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama dan filosof muslim. Para filosof muslim-terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina umumnya sepakat mendefiniskan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki kehidupan yang energik.” Secara lebih rinci, yang dimaksudkan ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik material. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang bermacam-macam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan yang energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.[1]
Kata jiwa berasal dari bahasa al-Nafs. Dalam kitab “Lisān al-Arab”, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata nafs dalam Bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, yaitu nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam al-Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi buruk.[2]
Nafs mempunyai beberapa makna yaitu :
a.       Nafs yang berkaitan dengan syahwat atau hawa. Hawa berasal dari bahasa Arab sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nasiyat 79: 40. artinya dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Yaitu hawanya mata, telinga, mulut kemaluan otak dan lain-lain. Hawa-hawa atau syahwat inilah selalu cenderung kepada asal kejadiannya yaitu saripati tanah, dengan demikian nafs berarti fisik (tanah yang diberi bentuk). Dia akan bergerak secara naluri mencari bahan-bahan materi asal fisiknya ketika kekurangan energi atau unsur-unsur asalnya, maka ia akan segera mencari atau ia akan berkata saya lapar, saya haus.
b.      Nafs yang berarti jiwa, jiwa mempunyai beberapa sifat yaitu; nafs lawwamah (pencela), nafs mutmainnah (tenang), nafs ammarah bi al-Su (senantiasa menyuruh berbuat jahat). Sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Fajr: 27-28, al-Qiyamah: 2, QS. Yusuf: 53.[3]
Struktur kepribadian manusia terdiri atas jasmani, rohani, dan nafsani. Struktur nafsani terbagi atas tiga macam, yaitu kalbu, akal, dan nafsu. Struktur nafsani memiliki ciri-ciri :
1)      Adanya di alam jasad dan rohani, yang terkadang tercipta secara bertahap atau berproses dan terkadang tidak.
2)      Antara berbentuk atau tidak, berkadar atau tidak bisa disifati atau tidak, yang naturnya antara baik-buruk, halus-kasar, dan mengejar kenikmatan rohani-syahwati.
3)      Memiliki energi rohaniah-jasmaniah.
4)      Eksistensi energi nafsani tergantung pada ibadah dan makanan bergizi.
5)      Eksistensinya aktualisasi.
6)      Antara terikat dan tidak mengenal
7)      Dapat menangkap antara yang konkret dan yang abstrak, satu bentuk atau beberapa bentuk, yang substansinya antara abadi dan temporer.
8)      Antara dapat dibagi-bagi atau tidak.[4]
2.      Filsafat Jiwa Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husein ibn Abdullah ibn Sina. Ia dilahirkan dalam bulan Safar tahun 370 H atau bulan Agustus tahun 980 M di negeri Ifsyina, yaitu negeri kecil dekat Charmitan. Jadi, berarti ia bukan keturunan Arab melainkan keturunan Persia. Ketika berusia 10 tahun, Ibn Sina sudah hafal Alquran. Ia juga mengetahui sebagian besar cabang-cabang dari ilmu pengetahuan Islam ditambah pula dengan ilmu nahwu.
Setelah ia menguasai cukup banyak ilmu pengetahuan, kemudian ia mulai belajar kedokteran (thabib) pada seorang guru yang beragama Kristen bernama 'Isa ibn Yahya. Meski ada perbedaan agama, tidaklah menjadi penghalang baginya. Malahan Nabi saw., menganjurkan: "Terimalah kebenaran itu dari manapun datangnya, walaupun berasal dari orang fasiq atau kafir. Kemampuan Ibn Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua- duanya sama beratnya. Dikatakan orang bahwa pengaruh ilmunya pada peradaban dan kebudayaan Eropa tidaklah terbatas. Buku karangannya Al-Qanun fi Al-Thib (Canon of Medicine) dianggap orang, himpunan perbendaharaan ilmu kedokteran.[5]
Menurut Ibnu Sina manusia memang tersusun dari dua unsur, yaitu tubuh dan jiwa.antara keduanya tidak ada persamaan, unsur tubuh terbentuk dari berbagai unsur yang memancar dari planet-plaanet. Sementara jiwa hanya terbentuk dari satu unsur, yaitu dari Aql al-fa’al dan jiwa ini pada dasarnya merupakan abstransi tersendiri dalam struktur tubuh manusia, manun selamanya bergantung pada tubuh.
Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi menjadi dua bagian :
a.       Fisika, didalamnya dibicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
1.    Jiwa tumbu-tumbuhan (al-nafs al-nabathiyat) mempunyai tiga daya, yaitu: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi pada ketiga komponen itu saja.
2.    Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah) memiliki dua daya yaitu: gerak (almuharrikat) dan mekap (al-mudrikat). Daya menangkap ini terbagi menjadi dua:
a.    Menangkap dari luar dengan panca indra
b.   Menangkap dari dalam dengan indra batin, yang terdiri dari:
1)   Indra bersama menerima segala apa yang di tangkap oleh indera luar.
2)   Indera representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
3)   Estinasi yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat srigala.
4)   Indra pemelihara (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indera estinasi.
3.      Jiwa manusia (al-nafs al-nathiqah) yang mempunyai dua daya, yaitu: praktis (al-amilat) dan teoritis (al-„alimat). Daya praktis hubungan dengan jasad, sedangkan daya teoritis hubungan dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai 4tingkatan, yaitu:
a.    Akal materi yangsemata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
b.    Akal al-makalat merupakan akal materi yang dilati untuk berfikir yang abstrak.
c.    Akal aktual yaitu akal malaikat yang sudah dapat berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
d.   Akal mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya, akal inilah yang dapat berhubungan dan menerimah limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif
Ibnu Sina jiwa merupakan subtansi rohani yang tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad, kesatuan antara kedanya bersifat accident. Hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa. Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Sina mengemukakan beberapa Argumen:
1.      Jiwa dapat mengetahui objek pikiran dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh jasad.
2.      Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak dan zat yang tanpa alat. Sedangkan indera manusia hanya dapat mengetahui yang konkret dengan alat.
3.      Jasad bisa merasakan lelah setelah memikul atau berkerja berat, bahkan dapat rusak. Sedangkan jiwa digunakan untuk berfikir tentang masalah besar tidak membuatnya menjadi lelah atau rusak.
4.      Jasad dan pengakatnya akan mengaalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya umur 50 tahun. Sebaliknya jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat. Karena jiwa bukan bagian dari jasad dan keduanya merupakan subtansi yang berbeda.
A.    Hubungan jiwa dengan jasad.
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan plato sudah membiarkan masalah ini. menurut Aristoteles hubungan kebudayaan bersifat esensial. Sebaliknya, Plato hubungan keduanya lebi bersifat accident, karena jiwa dan jasad adalah dua subtansi yang berdiri sendiri.  Ibnu Sina dalam hal ini, nampaknya lebih sependapat dengan Palato, bahwa hubungan keduanya lebih bersifat accident, binasanya jasad tidak mengakibatkan binasanya jiwa.
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan keduanya juga antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi, saling bantu membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain tidak akan terciptanya jiwa bila tidak diciptakan jasad yang ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad yang ditempati beberapa jiwa.
B.     Kekekalan jiwa.
Untuk mendasari pendapatnya ini, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil:
1.    Dalil al-infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat accident, masing-masing unsur mempunyai subtansi sendiri, yang berbeda Antara yang satu dengan yang lain. Karena jiwa bersifat kekal walaupun jasad binasa. Sedangkan jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
2.    Dalil al-basarhat, yaitu jiwa adalah jauhar rohnya yang selalu hidup dan tidak mengenal mati. Karena hidup (nyata0 meruakan sifat dari jiwa, maka mustahil bersifat lawannya (mati). Karenanaya jiwa juga dinamakan jauhar basith yang hidup selalu)
3.    Dalil al-musyabahat. Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia sesuai dengan filsafat emanasi, bersumber dari akal Fa‟al (akal kesepuluh) bebagai pemberi segala bentuk. Karena akal kesepuluh ini merupakan esensi yang berfikir, bersifat azali dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya akan kekal sebagai mana „illat (sebab)nya.
Dari uraian di atas, memberikan satu pendapat dan penilaian bahwa secara eksplisit, Ibnu Sina mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah roh manusia saja. Pengingkaran kebangkitan jasmani inilah yang menimbulkan kritikan tajam dari al-Ghazali, bahkan para filosof muslim yang berpendapat seperti itu dihukum kafir olehnya.  Pendapat ini mengandung arti, bahwa pembalasan di akhirat nanti hanya disediakan untuk roh semata, sedangkan jasad akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Padahal manusia yang diberi beban agama adalah manusia yang tersusun dari roh dan jasad. Sebenarnya terjadinya perbedaan dalam memahami ajaran dasar dalam Islam, yang tidak akan membawa kepada kekafiran.
Uraian di atas juga, mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Ia disamping sebagai dasar berfikir, juga mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Sina, jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya jasad. Sedangkan jiwa tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan dan ia tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani, maka pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia ini juga.[6]
3.      Filsafat Jiwa Al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259 H /872, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan.
Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah; Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.[7]
Al-Farabi menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan berpikir. Menurut al-Farabi jiwa ada dalam tubuh manusia memancar dari akal ke X, dan akan ke X ini pulalah memancar bumi, roh, api, udara, tanah. Dalam persoalan jiwa ini al-Farabi mencoba melakukan sintesa antara pendapat Plato dengan Aristoteles. Menurut Plato jiwa itu sesuatu yang berbeda dengan tubuh ia adalah substansi rohani. Sedangkan menurut Aristoteles jiwa adalah bentuk tubuh. Plato berpendapat bahwa jiwa tidak akan mati (abadi). Jiwa akan menghadapi pengadilan dan berhak menerima siksa ataupun surga menurut baik buruknya amal selama masih hidup. Setelah mati ia akan diberi kesempatan memilih kondisi keberadaannya yang akan datang.
Dalam hal ini al-Farabi mencoba mencari jalan kompromi antara kedua pendapat yang berbeda tersebut. Menurut al-Farabi jiwa berupa substansi sekaligus berupa bentuk substansi dalam dirinya dan bentuk dalam hubungannya dengan tubuh. Jelaslah bahwa al-Farabi mengambil teori substansi dari Plato dan teori bentuk dari Aristoteles. Bagi al-Farabi jiwa manusia dipancarkan dari akal ke X manakala suatu tubuh sudah siap menerimanya hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS: al-Sajadah (32) : 7-9.
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ۝٧   
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ۝٨
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ۝۹

Artinya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-sebaiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) –Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Hal ini sebagai pertanda bahwa proses kehidupan ini berlangsung terus menerus dengan segala keajaiban dan misteri yang terkandung di dalamnya atas perintah Allah. Manusia dan ruhnya sama-sama diciptakan atas perintah-Nya yang sekaligus mengungkapkan kebesaran penciptanya.
Al-Farabi mencoba untuk memilah daya yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam, pertama daya gerak seperti gerak untuk makan, gerka untukmelihat sesuatu dan gerak untuk berkembang biak, kedua daya mengetahui seperti mengetahui dalam rasa dan mengetahui dalam berimajinasi, ketiga daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis. Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.
Selanjutnya akal teoritis dibagi dalam tiga macam bagian, pertama akal potensial atau akal fisik. Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang ditangkap dengan panca indra. Kedua akal aktual, akal biasa, akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga akal mustafad, akal yang diperoleh. Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan sang Pencipta. Untuk dapat berkomunikasi dengan sang Pencipta menurut al-Farabi seseorang harus mempunyai jiwa yang bersih, kesucian jiwa. Kesucian tidak hanya diperoleh melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus berpikir.
Menurut al-Farabi filsafat dan moral sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna, salah satu indikasi kesempurnan jiwa ialah apabila sudah tidak lagi berhajat kepada materi.
Al-Farabi dalam kehidupannya sebagai seorang sufi dan filosof menyimpang jiwa kesufiannya sangat mendalam dalam komunikasi dengan sang Pencipta dalam kezuhudan kehidupan, ia menjadikan kesucian jiwa sebagai asas dalam berfilsafat yang benar.
Menurut al-Farabi kebahagiaan mengandung kelezatan yakni kelezatan jasmani dan akli. Kelezatan jasmani hanya sebentar, mudah diperoleh dan cepat hilang. Sedangkan kelezatan akli awet dan inilah tujuan hidup hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia perlu mengembangkan daya piker yang benar mampu membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah, serta mempunyai kemauan yang keras.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, al-Farabi mengaitkan dengan falsafat negara utamanya, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada negara fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah tetapi ia tidak melaksanakan perintah-Nya ia kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Jiwa yang hidup pada negara jahilah yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melaksanakan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.[8]
4.      Filsafat Jiwa Al-Ghazali
Ibnu ‘Asakir mengatakan bahwa al-Imam Al-Ghazali dilahirkan di kota Thuus pada tahun 450 H. di kota ini, sejak kecil ia mempelajari ilmu fiqih, kemudian ia datang ke kota Naisabur dan memperdalam pelajaran Imamul Haramain. Dia belajar dengan sungguh-sungguh dan mengerahkan segala kemampuannya hingga berhasil lulus dalam masa yang relatif singkat. Dia tumbuh dan menjadi pusat perhatian ulama sezamannya. Lalu dia melakukan penelitian dan membimbing para murid di masa imam (guru) nya juga menulis.[9]
Menurut al-Ghazali ruh adalah hakikat jauhar. Ia adalah bagian dari sejumlah qudrah ilahiah dan merupakan urusan Tuhan. Adapun akal juga memiliki dua makna, pertama, khizanah al-qalbi, gudang simpanan ilmu, dan kedua daya mengetahui yang menjadi keistimewaan mansuia. Namun al-Ghazali menyimpulkan bahwa ruh ,nafs, ‘aql dan qalb diartikan satu dan itulah hakikat manusia yang sesungguhnya.
Selain itu Harun Nasution menjelaskan bahwa sejalan dengan para filosof al-Ghazali juga berpedapat bahwa ruh terbagi tiga, yaitu ruh tumbuh-tumbuhan, ruh binatang dan ruh manusia. “Al-Ghazali membedakan antara ruh dengan nafs”. Ruh terdapat pada tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Adapun nafs hanya terdapat pada manusia saja. Tumbuh-tumbuhan dan binatang hanya mempunyai ruh, tidak mempunyai nafs, sedangkan manusia mempunyai roh dan nafs. “Kelihatannya ruh al-Ghazali berarti nyawa dan nafs berarti daya pikir. Kalau manusia hanya mempunyai ruh maka perbuatannya hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang terdapat pada binatang. Kalau binatang mempunyai mempunyai nafs maka binatang akan berakal dan berkewajiban seperti manusia pula
Nafs menurut al-Ghazali mempunyai daya praktis yang berfungsi menggerakkan dan mengontrol manusia dalam berbuat. Disamping itu nafs juga memiliki daya teoretis yang berfungsi untuk menangkap pengetahuan yang tidak bersifat materi. Antara daya praktis dan daya teoretis ini saling terkait. Kalau daya praktis berhasil menjalankan tugasnya dengan baik maka daya praktis dapat memusatkan perhatian pada hal-hal immateri dan mendekatkan diri kepada Tuhan dan taraf menusia juga semakin dekat kepada kesempurnaan dengan cara menjalahkan ibadah sesuai dengan perintah Tuhan. Itulah tujuan hidup manusia yang sesungguhnya.[10]



  1. KESIMPULAN

Menurut bahasa Indonesia jiwa adalah roh manusia yang ada di tubuh dan menyebabkan hidup, atau seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran angan-angan dan sebagainya. Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Ia disamping sebagai dasar berfikir, juga mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, al-Farabi mengaitkan dengan falsafat negara utamanya, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan.
Menurut al-Ghazali ruh adalah hakikat jauhar. Ia adalah bagian dari sejumlah qudrah ilahiah dan merupakan urusan Tuhan. Adapun akal juga memiliki dua makna, pertama, khizanah al-qalbi, gudang simpanan ilmu, dan kedua daya mengetahui yang menjadi keistimewaan mansuia. Namun al-Ghazali menyimpulkan bahwa ruh, nafs, ‘aql dan qalb diartikan satu dan itulah hakikat manusia yang sesungguhnya.



[1] St. Rahmatiah, Pemikiran tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam, Jurnal Sulesana Vol. 11, No, 2, 2017. hlm. 32.
[2] Sahidi Mustafa, Konsep Jiwa dalam al-Qur’an, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 2, No. 1,  Februari 2018, hlm. 125.
[3] Fatimah Halim, Kajian Kritis terhadap Pemikiran tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam, Jurnal Al-Daulah, Vol. 1, No. 2, Juni 2013, hlm. 63.

[4] Rudi Ahmad Suryadi, Pendidikan Islam : Telaah Konseptual mengenai Konsep Jiwa Manusia, Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, Vol 14, No, 1, 2016,  hlm. 38.
[5] Hadi Suprapto, Al-Farabi dan Ibn Sina (Kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa Dengan Pendekatan Psikologi), Jurnal Al-Hadi, Volume II,  No 02, Edisi Januari Juni 2017, hlm. 446.
[6] Herwansyah, Pemikiran Filsafat Ibnu Sina (Filsafat Emanasi, Jiwa dan Al Wujud), Jurnal El-Fikr, Vol 1, No 1,  2017, hlm. 59-65.
[7] M. Wiyono, Pemikiran Filsafat Al-farabi, Jurnal Substantia, Vol. 18, No. 1, April 2016, hlm. 69-70.
[8] Fatimah Halim, Kajian Kritis terhadap Pemikiran tentang Jiwa (Al-Nafs) dalam Filsafat Islam, Jurnal Al-Daulah, Vol. 1, No. 2, Juni 2013, hlm. 66-68.
[9] Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ ‘ulumuddin, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, Cet. IV, 2016), hlm. 3.
[10] Afrizal M, Pemikiran Para Filosof Muslim tentang Jiwa, Jurnal Pemikiran Islam,Vol. 39, No. 1, Januari - Juni 2014, hlm. 15-16.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar