Entri yang Diunggulkan

SEJAUH MANA DIGITALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Senin, 09 Desember 2019

RAHN, ‘ARIYAH, HIWALAH


RAHN, ‘ARIYAH, HIWALAH



A.    Rahn (Penggadaian)

1.      Pengertian Rahn

Gadai atau al-rahn (الرهن) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan. Istilah hukum positif di indonesia rahn adalah apa yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan.
Al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn.[1]

2.      Dasar Hukum Rahn

Akad rahn diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil Al-Quran ataupun hadits Nabi SAW. begitu juga dalam ijma’ ulama’. Diantaranya :
firman Allah dalam Qs. Al-baqarah : 283

وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ
قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَعَلِيمٌ               
Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya".
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا
لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا
Artinya: "Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau".

3.      Rukun Rahn

Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara lain :
a.       Aqid, yaitu yang menggadaikan  dan yang menerima gadai.
b.      Akad dan ijab kabul.
c.       Aqid, yaitu yang menggadaikan  dan yang menerima gadai.
d.      Barang yang dijadikan jaminan (borg).
e.       Marhun bih (hutang)

4.      Syarat Rahn

a.      Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
b.      Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
c.       Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji hutang harus dibayar.
d.      Marhun bih (hutang)
Menyangkut adanya hutang, bahwa hutang tersebut disyaratkan merupakan hutang yang tetap, dengan kata lain hutang tersebut bukan merupakan hutang yang bertambah-tambah atau hutang yang mempunyai bunga, sebab seandainya hutang tersebut merupakan hutang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.

B.     Ariyah (Pinjam Meminjam)

1.      Pengertian ‘Ariyah

Wahbah Zuhailiyah mengemukakan bahwa lafal ‘ariyah adalah nama bagi sesuatu yang dipinjam, diambil dari kata ‘ara yang sinonimnya dzahaba wa ja’a artinya pergi dan datang. Imam Jauhari yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa kata ‘ariyah dinisbahkan kepada lafadz ‘ara (malu), karena sesungguhnya dalam mencari pinjaman tersebut ada rasa malu dan aib. Tetapi pendapat tersebut disanggah, karena dalam kenyataan Rasulullah pernah melakukannya. Andaikan meminjam adalah hal yang memalukan dan perbuatan aib maka sudah pasti Rasulullah SAW tidak akan melakukannya. ‘Ariyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya.[2]

2.      Dasar Hukum ‘Ariyah

Dalam kegiatan Pinjam-meminjam atau ariyah dianjurkan atau boleh (mandub). Dalam praktik ‘ariyah juga mendapatkan pengakuan dari syariah.
a.       Al-Quran
Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada surat al-maidah ayat kedua allah berfirman :

وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُم فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ                     
 “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
b.      Al-Hadits
Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara lain:
عَن اَبِي مَسعُودٍ اَنَ النَّبِي ص ل : قَالَ مَامِن مُسلِمٍ يُقْرِضُ مُسلِمًا قَرضًا مَرَّتَينِ اِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَامَرَّة
Dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti shodaqoh”.

3.      Rukun ‘Ariyah

Jumhur ulama termasuk Syafi’iyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu :
a.     Orang yang meminjamkan (mu’ir).
b.    Orang yang meminjam (musta’ir).
c.     Barang yang dipinjamkan (mu’ar).
d.    Sighat (akad).

4.       Syarat ‘Ariyah

Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan di atas, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang yang dipinjamkan dan sighat.
a.       Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Orang yang meminjamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi : Baligh, berakal, tidak majhur ‘alaih (oros atau pailit) yaitu orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan dipinjamkan.
b.      Syarat orang pinjam
Orang yang meminjam harus memiliki memenuhi syarat-syarat    sebagai berikut :
1)   Orang yang meminjam harus jelas.
2)   Orang yang meminjam harus memiliki hak tasharruf (mengelola dan membelanjakan) atau memiliki ahliyatul ada’ (cakap bertindak hukum).
c.       Syarat-syarat barang yang di pinjam
Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1)   Barang tersebut bisa diambil manfaatnya baik pada masa sekarang maupun nanti.
2)   Barang yang dipinjam harus berupa barang yang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’.
3)   Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh.
d.      Syarat sighat
Sighat ‘ariyah disyaratkan harus menggunakan lafadz yang berisi pemberian izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang dimiliki oleh orang yang meminjamkan, baik lafadz tersebut timbul dari peminjam atau dari orang yang meminjamkan.  [3]

C.     Hiwalah (Pengalihan Hutang)

1.      Pengertian dan Dalil Hiwalah

Hiwalah adalah pengalihan pembayaran hutang dari suatu pihak kepada pihak lain di mana pihak tersebut mempunyai keterkaitan hutang di antara mereka. Para ulama madhab memberikan definisi hiwalah dengan corak yang berbeda antara lain :
Ibn Abidin (Hanafiyah) : pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada yang berhutang lainnya (al-muhal ‘alaih) sedangkan Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan hiwalah adalah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak lain. Sedangkan Kamal bin Humman (Hanafiyah) menjelaskan bahwa hiwalah adalah : pengalihan kewajiban membayar hutang dari pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai.
Dengan pemahaman di atas dapat dikatakan bahwa hutang dapat dibayarkan oleh orang yang menghutangi atau boleh orang yang mempunyai kewajiban membayar hutang kepada yang meminjamkan dan kemudian memberikan hak tersebut untuk dibayarkan kepada orang lain. Konsep pengalihan seperti ini merupakan sebuah keringanan yang diberikan syariat karena itu merupakan motivasi untuk membayar kewajiban hutang baik dari segi pelunasan hutangnya maupun pihak yang diharapkan dapat membantu.[4]
Para ulama sepakat bahwa dasar hukum bolehnya akad hiwalah adalah hadits Nabi Saw.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مطل     الغني ظلم فاذا أتبع احدكم على ملي فليتبع   
Barang siapa yang sengaja menangguhkan pembayaran hutang (padahal ia mampu) merupakan suatu kezaliman, dan apabila salah seorang kamu dipindahkan  kepada orang kaya maka hendaklah menerimanya.

2.      Rukun dan Syarat Akad Hiwalah

Rukun dan syarat hiwalah  menurut jumhur ulama :
a.       Sighat atau akad
Sighat atau akad harus jelas.
b.      Al-Muhil (orang yang brerhutang, pihak pertama)
Al-Muhil haruslah orang yang mempunyai kapasitas hukum untuk bertindak dan harus ridha untuk dipindahkan hutangnya kepada pihak lain. Oleh karena itu tidak diperkenankan bagi mereka yang belum baligh, gila atau disafih (idiot).
c.       Al-Muhil Lah (orang yang dihutangi, pihak kedua)
Al-Muhil Lah harus cakap hukum dan setujui dengan pemindahan hutang tersebut. Menurut madhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki diisyaratkan bagi pihak kedua adanya persetujuan untuk melakukan hiwalah dengan pihak pertama. Namun madhab Hanbali menyatakan yang diperlukan bukan saja persetujuan melainkan pemaksaan kepada pihak kedua atau ketiga sekiranya tidak menyetujui akad hiwalah yang dimaksud.
d.      Al-Muhil Alaih (orang yang berhutang kepada pihak pertama)
Al-Muhil Alaih harus cakap hukum dan menerima pengalihan hutang tersebut. Menurut madhab Hanafi diperlukannya persetujuan untuk sahnya akad. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanafilah menyebutkkan bahwa pihak ketiga merupakan objek akad, oleh karena itu dengan sendirinya akad itu terjadi tanpa harus secara formal dilakukan persetujuan dari pihak ketiga tersebut.  
e.       Al-Muhil Bih (hutang itu sendiri)
Al-Muhil Bih dalam bentuk yang jelas dan pasti, serta diketahui kadar dan jatuh tempo pembayarannya dan kualitas hutang di antara pihak harus sama.



[1] Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keungan Syari’ah, cet 1, (Yogyakarta : Safira Insani Press, 2009), hlm.106-107.
[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 447.
[3] Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta : PT Gramedia, 2002), hlm.92.
[4] Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah (Sejarah, Hukum, dan Perkembangannya), (Banda Aceh : Yayasan Pena Banda Aceh, 2014), hlm. 130-131.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar